"Kamu dari mana?"
Pertanyaan itu bukan sebuah komando, tapi kakiku yang terbungkus sepasang stiletto merah seolah tahu mereka harus berhenti saat suara khas itu menyapa.
Mama tampak bangkit dari atas sofa ruang tamu tepat sesaat setelah aku membalik tubuh. Wanita itu sudah berumur 45 tahun, tapi deretan angka dan derasnya waktu yang mengalir tidak serta merta mengikis habis kecantikan yang dimilikinya. Aku tahu benar berapa biaya yang harus ia keluarkan demi merawat wajahnya agar terlihat beberapa tahun lebih muda dari usianya. Tubuh langsingnya merupakan hasil perpaduan diet ketat dan olahraga rutin yang ia jadwalkan bersama seorang pelatih pribadi profesional. Semua orang mengagumi penampilannya yang selalu terlihat menawan dan anggun dalam setiap kesempatan. Tak terkecuali diriku. Diam-diam aku menjadi pengagum rahasia mama sepanjang usiaku. Apapun yang mama kenakan, pasti terlihat bagus di mataku. Seperti sehelai blazer merah muda yang ia kenakan saat ini sebenarnya cukup menyita perhatianku. Benda itu tampak serasi dengan sepasang anting yang menggantung manja di kedua ujung telinganya.
"Apa kamu masih menemui laki-laki itu?" Mama melangkah perlahan dan berhenti beberapa jengkal di hadapanku. Sorot matanya seolah siap menghakimiku.
Aku mengulum senyum hambar. Harusnya tanpa bertanya pun ia sudah tahu jawabannya.
"Memangnya kenapa kalau aku menemuinya?"
Mama terdiam untuk menghela napas panjang.
"Hentikan semuanya, Lisa," ucap wanita itu jelas-jelas ingin memerintahku. "Mama sudah pernah mengatakan ini sebelumnya, kan?"
Tepat. Ingatanku juga terlalu bagus untuk hal satu ini. Namun, aku terlanjur memutuskan untuk mengabaikan perintah itu.
"Bagaimana jika aku tidak bisa berhenti?" pancingku seraya menarik salah satu ujung bibirku ke atas. Bermaksud menguji sampai di mana batas kesabaran wanita itu.
"Talisa!" Teriakan itu berbarengan dengan gerakan tangannya yang tiba-tiba melayang di udara dan mendarat di pipi kiriku. Menyisakan sensasi panas dan rasa sakit yang cukup menyiksa untukku. Namun, hebatnya aku masih bertahan di tempatku berdiri. Seolah tamparan itu bukan apa-apa, tak meninggalkan rasa sakit sama sekali untukku. "Apa kamu lupa jika laki-laki itu sudah beristri?"
"Tidak." Aku menyahut dengan suara tegas. Aku tidak pernah melupakan hal penting itu. Dan aku juga tidak bermaksud mengingkarinya. Namun, aku sangat membenci kenyataan itu. "Aku tahu itu," tandasku tegas.
"Tapi kenapa kamu masih menemuinya? Apa kamu sadar apa yang kamu lakukan? Kamu sudah menyakiti banyak orang... "
"Karena aku mencintainya, Ma."
Laki-laki yang kucintai dengan sepenuh hati adalah orang yang sangat dibenci mama.
"Talisa!" Mama berteriak memanggil namaku sekali lagi. Amarah terlihat jelas memuncak di kepalanya. Dan aku siap seandainya wanita itu menamparku sekali lagi. Dua tamparan tidak akan mampu membunuhku. "Apa kamu sadar apa yang kamu katakan?" Tatapan tak percaya menyorot lurus dari sepasang matanya. Ke arahku.
"Ya. Tentu saja."
Mama menarik napas panjang. Wajahnya terlihat gusar.
"Talisa... " Mama berjalan dua langkah sehingga jarak kami semakin dekat. "Mama mohon, hentikan semuanya. Berhentilah mengharapkan laki-laki yang sudah menikah."
"Bagaimana kalau dia juga mencintaiku?" Aku seperti sedang melakukan penawaran.
"Kamu tidak akan pernah bisa bahagia bersama laki-laki yang kamu rampas dari wanita lain."
"Bagaimana dengan papa?" tukasku dengan mengabaikan rasa hormat pada wanita yang sudah berjasa mengandung dan membesarkanku. Sejenak aku melupakan betapa besar pengorbanan yang ia lakukan untuk merawatku hingga menjadi seperti sekarang. "Pasti di suatu tempat sana, papa hidup dengan bahagia. Seandainya dia tidak bahagia, pasti akan mencari kita, kan?"
"Cukup Talisa!" Wanita itu menggertakkan giginya. Sepasang tangannya kulihat mengepal. Kuku-kukunya yang berwarna merah muda pucat seakan siap mencakar wajahku. Namun, ajaibnya aku tak merasa menyesal sama sekali telah melontarkan kalimat-kalimat yang melukai hatinya. Aku bicara kenyataan. "Sebaiknya kamu pergi ke kamarmu sekarang," suruhnya usai menghela napas dengan kasar. Ia mengalihkan wajah dari tatapanku yang terus menerus mengarah padanya. Ada sesuatu yang susah payah sedang ia sembunyikan dariku. Sepasang mata yang mulai mengabur karena selaput bening tipis menutupi indra penglihatannya.
Aku memang ingin segera beristirahat setelah seharian melakukan banyak aktifitas di luar rumah. Mama lah yang membuatku tertahan selama beberapa menit di ruang tengah hanya untuk berdebat tentang laki-laki itu.
Mama beranjak kembali ke tempat duduknya ketika aku memutuskan untuk melanjutkan langkah. Aku sempat meliriknya dan melihatnya tampak putus asa. Namun, stiletto merah yang membungkus kedua kakiku memaksa untuk terus melangkah. Anak tangga di depanku sudah menunggu sejak tadi.
Suara detak stiletto milikku mulai menapaki anak tangga dan memecah suasana hening di dalam ruangan. Seperti ingin merobek sepi yang kerap menghuni rumah kami. Mama masih membeku di tempatnya ketika aku telah berhasil menyelesaikan seluruh anak tangga. Ekspresi wajahnya muram, bagai langit yang dipenuhi dengan awan kelabu.
Aku dan mama hanya tinggal berdua saja, ditemani dua orang asisten rumah tangga dan seorang tukang kebun. Sebenarnya kami pernah memiliki seorang supir pribadi, tapi sekarang tidak lagi. Aku dan mama sama-sama lebih nyaman bepergian sendiri ketimbang diantar supir.
Mama dan papa sudah berpisah cukup lama. Wanita itu dicampakkan oleh suaminya ketika pernikahan mereka berumur tiga tahun. Kala itu aku masih berusia dua tahun. Aku masih terlalu kecil untuk mengetahui apa yang terjadi pada mereka berdua. Tidak ada yang tersisa dalam ingatanku tentang papa. Tak ada yang bisa kukenang darinya. Bisa dikatakan aku sama sekali tak mengenal sosok seorang ayah sepanjang hidupku. Karena mama memutuskan untuk tidak menikah di sisa umurnya setelah berpisah dari papa, sekalipun demi kepentinganku.
Mama membiarkanku tumbuh tanpa kasih sayang seorang ayah. Wanita itu berusaha menjalani peran sebagai seorang ibu dan ayah sekaligus. Tapi, mama bukan manusia sempurna. Ia tidak bisa mengambil alih peran ayah betapapun mama berupaya keras untuk melakukannya. Peran seorang ayah tak bisa digantikan dan sepertinya mama lupa akan hal itu.
Mama membenci semua laki-laki di dunia ini. Rasanya tidak adil jika mama melakukan hal itu hanya karena seorang laki-laki yang mencampakkannya, ia menaruh dendam pada seluruh keturunan Adam. Kecuali kakek. Namun, entah ini karma atau bukan, kurasa Tuhan telah menggariskan, aku jatuh cinta pada seorang laki-laki yang telah beristri. Dan ia jauh lebih tua dari usiaku. Bahkan laki-laki itu lebih pantas menjadi ayahku. Tapi aku tak bisa mencegah hatiku untuk mencintainya. Aku tak bisa menghentikan perasaanku sendiri. Aku mencintainya meski tahu apa yang kulakukan akan menyakiti orang-orang di sekitar laki-laki itu. Juga mama.
***
Nama laki-laki itu adalah Bram. Usia kami terpaut cukup jauh, sejumlah 18 tahun. Namun, deretan angka dan penampilan fisik bagiku bukan menjadi halangan untuk menyukai seseorang. Aku mengagumi laki-laki itu sejak pertama kali mengenalnya dalam sebuah acara pesta pernikahan putra relasi bisnis mama. Bram telah beristri dan memiliki dua orang putri. Dan lagi-lagi statusnya sama sekali tak membuatku mundur untuk menyukainya.
Bram sama seperti laki-laki seusianya. Sejumlah uban muncul di antara barisan rambut hitamnya. Kerutan halus kentara menghias bagian bawah mata dan keningnya. Ia adalah laki-laki dewasa yang hangat dan ketika bersama dengannya aku merasa nyaman. Bram seperti sebuah pohon besar yang rindang bagiku. Ia merupakan sandaran untuk jiwaku yang kesepian.
Namun, kenyataannya bukan hanya aku yang bersandar pada Bram. Ada tiga orang lagi yang bersandar padanya dan mereka lebih berhak memiliki laki-laki itu ketimbang aku. Dan aku sangat benci kenyataan itu. Aku muak sampai-sampai aku tak ingin terbangun lagi dari tidurku.
"Nona Lisa."
Suara seorang wanita dari balik pintu kamarku terdengar memanggil disertai ketukan pelan.
"Masuk," suruhku.
"Maaf, Nona." Gina, asisten rumah tangga kami menyeruak masuk usai membuka pintu kamarku tanpa suara. "Nyonya menyuruh Nona Lisa agar segera turun untuk sarapan," beritahunya dengan sopan.
"Katakan pada mama, aku tidak lapar," ucapku tanpa menoleh atau mengangkat kepala dari atas bantal sekalipun.
"Tapi Nona... "
"Bilang pada mama aku tidak lapar," tegasku sambil mengangkat tubuh dari atas tempat tidur. Kalimatku tadi sudah cukup jelas, tapi wanita itu memaksaku untuk mengulanginya kembali.
"Ba-baik, Nona," jawab Gina setengah ketakutan. Wanita itu mundur perlahan dan buru-buru keluar dari kamarku.
Mama sangat membenci Bram. Namun, aku sangat mencintai laki-laki itu dan membenci wanita yang menjadi istrinya. Aku selalu berharap mereka berpisah suatu hari nanti, tapi kenyataannya aku masih menunggu sampai saat ini. Bram selalu kembali kepada wanita itu. Dan setiap malam aku mesti terluka ketika pulang ke rumah. Aku merasa hampa tanpa Bram di sisiku.
"Sampai kapan kamu akan menjalin hubungan dengan laki-laki itu?"
Mama?
Aku tercengang melihat mama yang sudah berdiri di ambang pintu kamarku sedetik setelah Gina pergi. Wanita itu terlihat rapi dan cantik dengan setelan biru muda yang membalut tubuh langsingnya. Rambutnya digelung dengan rapi. Selembar syal sutra tampak melilit di leher jenjangnya.
"Kamu tidak berencana untuk menjalin hubungan dengan laki-laki itu selamanya, kan?" tanya mama setelah berjalan mendekat ke tempat tidurku dan menduduki tepiannya. Aroma parfum perpaduan beberapa jenis bunga menguar lembut menusuk indra penciumanku.
"Apa maksud mama?" Aku agak kesal mendengar pertanyaannya yang tak bisa kujawab.
Mama menarik napas dalam-dalam seolah isi paru-parunya kosong dan ia butuh lebih banyak oksigen ketimbang diriku.
"Kamu harus segera mengakhiri hubungan kalian," tandasnya setelah selesai mengisi paru-paru. Wanita itu menatapku seperti ingin mengintimidasi.
Aku tidak akan tercengang mendengar perintahnya. Kalimat ini sudah sering kudengar sebelumnya.
"Aku tidak bisa... "
"Talisa! Dengarkan mama!" Wanita itu menjangkau genggaman tanganku. "Kamu tahu, laki-laki itu hanya menjadikan kamu sebagai pengisi waktu luangnya. Dia memanfaatkanmu saat bosan. Kamu tidak lebih hanya sebagai mainannya, mengerti?"
Aku menepis tangan mama sesegera mungkin ketika kalimatnya telah selesai meluncur. Ia berhasil menusuk perasaanku.
"Dia mencintaiku, Ma."
"Tapi laki-laki itu punya keluarga, Lisa. Dia tidak akan melepaskan istri dan anaknya begitu saja, kamu tahu?"
"Aku tahu." Aku memang menyadari kenyataan itu sejak awal. Aku bukan prioritas utama dalam kehidupan Bram. Aku adalah prioritas ke sekian setelah istri dan anak-anaknya. Karena Tuhan sangat terlambat mempertemukan aku dan Bram. Kalau saja aku mengenal Bram sebelum wanita itu, kenyataan pasti berbeda.
"Mama mohon jangan menyia-nyiakan hidupmu, Lisa. Mama akan mencarikan pasangan yang jauh lebih pantas untukmu."
Aku mengulum senyum sinis mendengar mama mengatakan akan mencarikan pasangan yang jauh lebih pantas untukku.
"Kenapa mama tidak mencari pasangan untuk diri mama sendiri daripada mencarikan pasangan untukku?" tanyaku jelas ingin menjatuhkan harga dirinya. "Aku tahu mama sangat kesepian selama ini dan mama jauh lebih membutuhkan pendamping hidup daripada aku," tandasku tanpa memedulikan perasaannya. Aku dan mama sudah terlalu sering terluka, jadi kalimat seperti itu tidak akan membuatnya kembali mengorek luka lama.
"Mama tidak membutuhkan pendamping hidup. Mama hanya butuh kamu di sisi mama."
"Bagaimana kalau aku tidak bisa berada di sisi mama selamanya?" pancingku. "Mungkin suatu hari nanti aku akan menikah dan pergi dari rumah ini... "
"Mama senang jika kamu menikah suatu hari nanti. Asal jangan menikah dengan laki-laki yang sudah beristri," sambung mama.
"Ya ampun, Ma," ucapku seraya menderaikan tawa. Berapa kali ia harus menyinggung masalah itu. "Baiklah, aku akan membuat laki-laki itu menceraikan istrinya lalu menikahinya. Bagaimana? Mama tidak keberatan mempunyai menantu seorang duda, kan?"
"Astaga, Lisa," desis mama sambil melebarkan sepasang matanya yang telah terbingkai alat rias. Bulu mata palsunya terlihat dramatis ketika ia mengerjap. "Kamu sadar apa yang kamu katakan barusan?"
"Tentu saja. Bukankah mama tidak suka aku menjalin hubungan dengan laki-laki beristri?"
"Apa sebenarnya yang kamu pikirkan, Lisa? Apa kamu tidak berpikir bahwa kamu akan menyakiti hati wanita itu dan anak-anaknya? Kamu akan membuat wanita itu bernasib sama dengan mama. Anak-anaknya juga akan sama denganmu. Apa kamu tega melakukan itu, hah?" Mama agak meninggikan suara di penghujung kalimatnya.
"Tapi wanita itu bisa memilih, Ma. Dia akan bernasib sama seperti mama seandainya dia tidak menikah lagi. Tapi semuanya akan berbeda seandainya dia menikah dengan laki-laki lain. Dia tidak perlu menjalani hidup seperti yang mama alami. Anak-anaknya juga akan mempunyai ayah baru," ujarku dengan nada enteng.
"Apa kamu berpikir sesederhana itu?"
"Ya. Laki-laki itu bisa hidup bahagia denganku. Dan wanita itu juga bisa hidup bahagia dengan suami barunya."
"Hidup tidak semudah itu, Talisa," sahut mama setelah aku berhasil menutup mulut. "Perceraian akan selalu menyisakan luka dan trauma. Tidak akan mudah untuk mengobati luka dan memulai hidup baru kembali. Semuanya butuh waktu dan proses."
"Tapi kita bisa melewatinya dengan baik, kan? Mereka juga pasti bisa melakukannya."
"Kamu pikir seperti itu?"
"Ya," anggukku. Jika kami bisa, mereka pasti bisa melakukannya.
"Mama tidak pernah mendidikmu untuk menjadi perusak rumah tangga orang lain, kamu mengerti?" Mama menegaskan suaranya. "Mama harus berangkat sekarang," ucapnya seraya mengangkat tubuh dari atas tempat tidur dan bersiap keluar dari kamarku.
Namun, sebelum pergi wanita itu memberitahu bahwa sarapanku telah siap di meja makan.
***
Aku melihat kembali ke atas layar ponselku. Pukul 13.20. Laki-laki itu terlambat 20 menit dan aku masih menunggunya. Sebelumnya ia tak pernah terlambat seperti ini. Bram selalu memenuhi janjinya untuk makan siang berdua denganku. Namun, kali ini ia tak bisa menepati waktu yang dijanjikannya. Apakah terjadi sesuatu dengannya? Kenapa ia belum muncul?
Aku menimang ponsel di tanganku dengan perasaan cemas. Mestinya jika ia akan datang terlambat atau tak bisa memenuhi janjinya, Bram memberitahuku. Ia bisa menelepon atau memberi kabar lewat pesan singkat sehingga aku tidak perlu merasa gelisah seperti sekarang. Apakah aku harus meneleponnya lebih dulu?
"Maaf, aku terlambat."
Suara parau itu membuatku urung untuk mengusap layar ponsel yang terkunci. Laki-laki yang sudah membuatku cemas selama 20 menit terakhir itu tiba-tiba muncul dari belakang punggungku. Ia menepuk kedua pundakku pelan sebelum mengambil tempat duduk persis di hadapanku.
Aku mengulum senyum getir saat melihatnya mengambil buku menu dari atas meja. Seandainya Bram tahu betapa aku sangat khawatir tadi.
"Apa kamu sudah memesan?" tanya laki-laki itu dengan sepasang mata mengarah pada benda di dalam genggamannya.
Aku menggeleng pelan. "Apa terjadi sesuatu?" Aku bertanya.
Bram menutup buku menunya lalu menggeleng. "Tidak ada," jawabnya dengan ekspresi tenang, seolah tak pernah terjadi apa-apa. Mungkin memang tidak pernah terjadi apa-apa tadi. Hanya aku saja yang terlalu khawatir. "Tadi ada rapat di kantor dan sedikit kemacetan di jalan. Itu saja." Bahunya mengedik.
Itu saja? batinku. Bahkan aku hampir pingsan karena mencemaskannya.
"Harusnya kamu meneleponku," tandasku dengan suara lirih. Intensitas pertemuan kami yang sedikit, bagiku adalah momen-momen yang sangat berharga.
"Maaf, tidak seharusnya aku membuatmu cemas." Laki-laki itu mengulum senyum seraya meraih genggaman tanganku di atas meja. "Aku janji tidak akan membuatmu cemas lagi," ucapnya.
"Uhm." Aku mengangguk meski hatiku penuh dengan keraguan.
"Bagaimana kalau kita pesan steik?" tawar Bram demi mengalihkan topik pembicaraan serius di antara kami.
"Terserah," balasku. Selera makanku setengah menguap.
Bram memanggil seorang pelayan restoran dan melakukan pemesanan. Dua porsi steik beserta dua gelas jus jeruk.
"Bagaimana butikmu hari ini?" Laki-laki itu membuka obrolan ringan sembari menunggu pesanan kami dibuat.
"Baik. Penjualan masih bagus seperti biasa," balasku. Semoga Bram tidak tahu aku sedang bersusah payah untuk menata suasana hatiku. "Bram... "
"Ya?" Kening laki-laki itu mengerut sehingga membuat penampilannya terlihat beberapa tahun lebih tua. Tapi aku menyukai Bram apa adanya. Setua apapun penampilannya tak menyurutkan perasaanku pada Bram. "Ada apa?"
Aku menahan napas sejenak. Haruskah aku mengungkapkan semua hal yang menyesaki dadaku?
"Apa kamu mencintaiku?" Aku berusaha membuat suaraku jauh lebih pelan dari sebelumnya agar orang-orang di sekitar kami tak bisa mendengarnya. Aku sudah tidak peduli dengan pandangan nyinyir yang ditujukan kepadaku. Pelakor, selingkuhan, simpanan om-om setengah tua... Istilah semacam itu pasti pernah terlintas di benak mereka ketika melihat kami berdua. Aku yang menjalani semua ini dan aku pula yang akan menanggung resikonya.
"Kenapa tiba-tiba bertanya seperti itu?" Bram tergelak. Mungkin baginya aku terdengar kekanak-kanakan, tapi pengakuannya adalah sesuatu hal yang penting bagiku.
"Jawab saja," suruhku agak kesal.
"Tentu saja." Ia segera menyahut. "Aku mencintaimu, Talisa."
Seketika aku menarik napas lega. Sebagian beban yang menindih dadaku terlepas. Pernyataan cintanya sudah cukup membuatku bahagia. Aku tidak akan meminta apa-apa lagi darinya.
"Kenapa? Apa kamu ingin dibelikan sesuatu?" Bram mencecarku. "Tas? Sepatu? Mobil baru?"
Aku meledakkan tawa ketika Bram menawarkan barang-barang seolah-olah aku adalah wanita materialistis yang mencintai seorang laki-laki hanya demi mengejar kekayaan.
"Apa aku tampak seperti itu?"
"Tidak. Tapi kamu bisa meminta apapun dariku."
Tidak, Bram. Tidak semua hal bisa kamu berikan padaku. Dan aku tidak akan meminta lebih, kecuali cintamu.
"Tidak," Aku menggeleng dengan menyunggingkan senyum kaku. "kamu sudah memberiku banyak selama ini," tandasku mengingatkan. Sudah tidak terhitung berapa banyak rupiah yang mengalir ke dalam rekening pribadiku dari Bram. Juga barang-barang mewah yang ia hadiahkan untukku.
Pelayan datang.
Aku dan Bram sama-sama menahan diri untuk tidak bercakap-cakap selama pelayan itu menyajikan pesanan kami di atas meja.
"Silakan menikmati."
"Terima kasih."
"Semalam mama menamparku," ungkapku setelah pelayan itu menyelesaikan tugasnya lalu pergi dari meja kami.
Gerakan tangan Bram yang hendak mengiris daging sapi di atas piring terhenti seketika begitu mendengar pengakuanku. Laki-laki itu mengangkat dagu dan menatapku dalam-dalam. Ada secercah kesedihan terpancar dari sinar matanya. Aku pernah menyinggung perihal mama di depannya beberapa waktu lalu.
"Apa kamu baik-baik saja?"
"Kalau aku tidak baik-baik saja, aku tidak akan pernah ada dihadapanmu, Bram," ucapku. Aku memasang senyum terbaik di bibir. Rasanya menyenangkan melihat Bram mencemaskanku. Aku masih berarti baginya.
"Maksudku, apa kalian bertengkar?" Ia meralat pertanyaan.
"Sedikit," jawabku sambil mulai mengiris steik di atas piring. "Aku dan mama sudah biasa bertengkar, kamu tahu itu, kan?"
Bram tak merespon ucapanku dan melanjutkan mengiris steiknya.
"Bagaimana denganmu? Apa semua baik-baik saja?" Aku tahu Bram harus menyembunyikan hubungan kami dari wanita itu, jadi sesekali aku bertanya.
"Ya. Tidak ada masalah," jawabnya tanpa menatapku.
Oh. Aku bergumam dalam hati.
"Dia terlalu sibuk dengan urusannya sendiri," ujar Bram sambil mengunyah makanannya.
Laki-laki itu pernah bercerita tentang istrinya padaku di awal-awal perkenalan kami. Wanita itu adalah ketua arisan sosialita dan ia juga seorang instruktur senam. Jadwalnya padat sehingga tak memiliki banyak waktu untuk mengurus rumah dan keluarga. Bram terlihat kesepian kala itu.
"Apa steiknya enak?" tanya Bram membuyarkan lamunanku tentang istrinya.
"Lumayan." Meski restoran steik itu bukan restoran mewah, tapi menurutku makanan di sana lumayan enak. Pengunjung di tempat itu juga dari kalangan menengah ke bawah. Membuatku merasa cukup nyaman. Tidak akan ada yang mengenali aku maupun Bram di sana.
"Kalau begitu kita bisa makan lagi di sini kapan-kapan," usul Bram dan langsung kusambut dengan anggukan.
"Ya," sahutku senang.
"Apa kamu mau pergi setelah ini?"
"Kenapa? Apa kamu tidak sibuk hari ini?" Dengan melihat rona cerah di wajah Bram, aku bisa menebak apa yang sedang dipikirkannya.
"Ya. Kita bisa jalan-jalan atau nonton. Terserah kamu," tawarnya dengan seulas senyum menghias wajah.
"Benarkah?" sambutku dengan gembira. "Bagaimana kalau kita nonton?"
"Boleh."
"Baiklah. Aku akan segera menghabiskan makananku sekarang," ucapku bersemangat. Aku tak sabar ingin segera pergi ke bioskop bersama Bram.
"Pelan-pelan makannya, Talisa."
***
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!