#11

"Nona sudah pulang?"

Gina menyambut kedatanganku di depan pintu malam ini. Padahal biasanya ia tak pernah melakukan itu padaku.

"Apa Nona Lisa mau makan malam sekarang?" tawar gadis itu seraya mengikuti langkahku dari belakang. Suara stiletto merah milikku seperti berlomba dengan sepatu flat Gina saat kami berdua menapaki anak tangga menuju ke lantai dua.

"Apa kamu sudah menyelesaikan tugasmu?" tanyaku sambil melirik ke belakang pundak. Posisi Gina berada pada dua anak tangga di bawah kakiku.

Atas kesalahan informasi yang disampaikan Gina pagi tadi soal pengawal pribadi yang ia sangka sebagai laki-laki yang akan dijodohkan denganku, maka aku memberikan hukuman padanya. Aku menyuruh Gina untuk menuliskan kalimat 'aku tidak akan mengulangi kesalahan memberi informasi palsu pada Nona Talisa' sebanyak seribu kali.

"Ah, itu... "

"Kamu belum menyelesaikannya?" desakku dengan nada kesal. Aku berhenti sejenak setelah menuntaskan anak tangga terakhir untuk menatap ekspresi wajah Gina. Ia tak bisa berbohong tentang apapun dariku. Rautnya bisa terbaca dengan mudah olehku.

"Maaf, Nona. Tangan saya pegal... "

Huh.

Aku melanjutkan kembali langkahku usai mendengar pengakuan gadis itu yang sengaja tak dilanjutkannya. Gina menyebalkan.

"Saya janji akan menyelesaikannya besok, Nona!" Gina mengejar langkahku sampai ke dalam kamar. Ia pasti akan menyesal jika tak melaksanakan tugas yang kuberikan.

"Kamu tidak harus menyelesaikan tugas itu jika tidak mau," tandasku seraya meletakkan tas di atas nakas lalu menjatuhkan tubuh di tepi ranjang.

"Benarkah?" Sepercik harapan seketika tumbuh di balik tatapan Gina begitu mendengar pernyataanku.

"Ya, tapi aku akan memotong gajimu. Bagaimana? Kamu setuju?"

"Jangan, Nona. Saya akan menyelesaikannya besok... "

"Malam ini," sahutku meralat ucapannya.

"Baiklah, Nona." Gadis itu menjawab dengan suara pelan. Harapan yang tadi sempat tumbuh, kini telah layu.

"Apa mama sudah pulang?"

"Belum."

Aku sudah terbiasa mendengar jawaban yang sama. Sejak kecil aku selalu menghabiskan waktu di rumah sendirian. Mama terlalu sibuk dengan pekerjaannya dan pulang hampir tengah malam. Ketika aku berangkat ke sekolah, mama masih tidur. Kami jarang bertatap muka apalagi berbincang.

"Apa Nona ingin makan malam sekarang?" tawar Gina.

"Nanti saja. Aku mau mandi dulu," ucapku. Namun, aku tak segera bangun dari atas tempat tidur untuk melaksanakan niatku ke kamar mandi.

"Jadi... " Gina mencoba mengajakku bicara. "laki-laki itu pengawal pribadi Nona Lisa?" Gadis itu melengkapi pertanyaannya.

"Ya," sahutku malas.

"Pasti menyenangkan punya pengawal pribadi," decak gadis itu dengan sepasang mata berbinar. Ia pasti tidak tahu apa yang sedang ia bicarakan. "Nona seperti artis-artis luar negeri yang ke mana-mana dikawal seorang pengawal pribadi. Tapi sepertinya laki-laki itu lebih pantas jadi pacar Nona Lisa ketimbang jadi pengawal pribadi."

Aku memutar kepala mendengar kalimat Gina. Entah kenapa gadis itu terlalu banyak bicara malam ini. Apa ia sedang mengalihkan perhatianku agar melupakan perihal hukuman menulis kalimat 'aku tidak akan mengulangi kesalahan memberi informasi palsu pada Nona Talisa' atau ia memang sepolos itu?

"Kenapa dia lebih pantas jadi pacarku?" tanyaku sekadar ingin mengujinya.

"Karena dia tampan dan Nona Lisa cantik."

Aku mengembangkan senyum nyinyir di sudut bibir mendengar alasan klise yang baru saja meluncur dari bibir Gina.

"Tapi sayangnya dia bukan tipeku," tandasku dengan tegas.

"Benarkah?" Raut heran kentara jelas di wajah gadis itu. Mungkin pikirnya, semua wanita tertarik dengan laki-laki muda, tampan, dan memiliki postur atletis semacam pengawal pribadi yang di sewa mama untukku. "Kalau dia bukan tipe Nona Lisa, lalu seperti apa laki-laki yang Nona suka?"

Seperti Bram, batinku menjawab. Laki-laki dewasa yang hangat dan lembut, serta penuh perhatian.

"Kenapa kamu banyak bertanya malam ini, hah?" tanyaku setengah menghardik.

"Maaf, Nona." Gadis itu tampak canggung.

"Nanti selesaikan tugasmu di sini."

"Kenapa harus di sini, Nona?"

"Kamu tidak akan mengerjakan tugasmu kalau tidak diawasi. Pokoknya kamu tidak boleh tidur sebelum menyelesaikan tugasmu, mengerti?"

"Ba-baik, Nona."

"Aku mau mandi dulu."

Kenapa orang-orang selalu berpikir bahwa laki-laki tampan pantas bersanding dengan wanita cantik? Apakah paras bisa menjamin kebahagiaan? Rasanya aku tidak sependapat dengan mereka. Bagiku rasa nyaman jauh lebih penting dari sekadar paras apalagi usia.

"Makanannya sudah saya siapkan, Nona," ucap Gina seraya menunjuk ke atas meja. Gadis itu telah mengantarkan makan malam ke kamarku meski aku tidak menyuruhnya.

"Siapa yang menyuruhmu untuk mengantarkan makanan ke sini?" tanyaku seraya mengeringkan rambutku dengan selembar handuk kering begitu keluar dari kamar mandi.

"Nona kan harus makan malam kalau tidak ingin sakit maag-nya kambuh."

"Cepat kerjakan tugasmu," suruhku agar ia tak banyak bicara.

"Baik, Nona."

"Apa laki-laki itu sudah pulang?" tanyaku pada Gina seusai ingat sesuatu. Laki-laki itu, pengawal pribadiku, apa ia benar-benar akan mengawasiku selama 24 jam penuh?

"Maksud Nona, siapa?" Gina telah duduk di atas karpet dan bersiap mengerjakan tugasnya.

"Pengawal pribadiku," sahutku sambil mengawasi bayangan Gina dari pantulan cermin rias.

"Oh, tidak. Dia tidur di sini. Nyonya menyuruhnya agar menempati kamar di dekat dapur," ungkap Gina. Kamar itu adalah kamar tamu dan belum pernah sekalipun ditempati.

Mama benar-benar serius kali ini. Wanita itu ingin menghancurkan hubunganku dengan Bram. Ia sangat licik.

"Apa kamu tahu dari mana laki-laki itu berasal?"

"Tidak tahu, Nona."

"Kembalilah mengerjakan tugasmu sekarang."

"Baik, Nona." Gina mengambil selembar kertas dari tumpukannya di atas meja lalu bergegas menulis sesuai yang kuperintahkan.

Apa yang dilakukan Bram sekarang? batinku setelah meraih ponsel dan tak menemukan satupun notifikasi darinya. Menjalani hubungan seperti ini memang sangat melelahkan. Seperti sedang melakukan sebuah perjalanan panjang tanpa tujuan. Tak tahu kapan akan berakhir dan tak tahu ke mana akan pulang. Terlalu banyak jalan curam dan berliku yang harus kami lalui.

"Apa kamu... " Pertanyaanku tersendat di tenggorokan. Ketika aku menoleh ke arah Gina, gadis itu telah tertidur dengan kepala bertumpu pada meja. Tangannya masih menggenggam erat pulpen. Ia terlihat pulas. Membuatku urung untuk mengajukan sebuah pertanyaan padanya.

Aku meletakkan kembali ponsel ke tempatnya semula dan berjalan ke arah meja. Gina sudah susah payah mengantarkan makanan untukku. Ia juga menghangatkan makan malamku selagi aku mandi tadi.

"Maaf, Nona. Saya ketiduran." Tiba-tiba saja gadis itu terbangun. Suara denting senduk yang kupegang pasti membuat tidurnya terusik.

"Tidak apa-apa. Kembalilah tidur di kamarmu," suruhku. Ia pasti kelelahan setelah seharian mengerjakan tugas dariku.

"Tidak, Nona. Saya akan mengerjakan ini sampai selesai."

"Tidak apa-apa, tidurlah. Aku tidak akan memotong gajimu."

"Sungguh?" Sorot mata gadis itu menyiratkan sebuah tanda tanya.

"Kapan aku pernah bohong padamu?"

"Baiklah, Nona. Kalau begitu saya akan tidur setelah Nona selesai makan."

***

Terpopuler

Comments

Sulaiman Efendy

Sulaiman Efendy

KLO AKU LGSUNG KOMEN, EMOSI BANGET DGN WANITA SPERTI LISA, KBAHAGIAAN DIRI DIJADIKN TAMENG UNTUK RUSAK KBAHAGIAAN WANITA LAIN... APA YG LO LKUKN SAMA SAJA MKIN MMBUAT LUKA DI HATI MAMA LO...

2024-04-13

0

Eti Rochaeti

Eti Rochaeti

aq gak komen dulu Thor, masih gemes dg pemikiran Talisa, jadi mau baca aja dulu.🙏🏼🙏🏼🙏🏼

2021-07-22

1

Anonymous

Anonymous

lama2 tambah seru thor

2020-11-02

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!