#18

"Apa gaun pesananku sudah selesai? Aku sudah tidak sabar ingin segera mencobanya... "

Suara Nyonya Penny dari ujung telepon memaksaku membuka mata. Jam digital di ponselku menunjuk angka 06.03 dan wanita itu menelepon sepagi ini hanya untuk menanyakan gaun pesanannya. Harusnya ia lebih tahu waktu untuk menghubungi seseorang. Bukankah ia sudah bertanya tentang gaunnya kemarin?

"Maaf, Nyonya. Saya perlu menanyakannya lebih dulu pada pegawai saya... "

Suara tawa Nyonya Penny menggema di dalam gendang telingaku. "Tenang saja, aku bisa menunggu dua atau tiga hari lagi. Jangan khawatir, Talisa. Oh ya, aku akan mampir ke butik siang ini. Apa kamu akan ada di sana nanti?"

Sesungguhnya aku tidak berencana untuk datang ke butik hari ini setelah kemunculan istri Bram kemarin. Suasana hatiku sedikit berantakan dan tubuhku seperti menolak untuk diajak ke butik.

"Jam berapa kamu datang ke butik? Aku tidak mau saat aku ke sana kamu tidak ada, Talisa." Wanita itu mengoceh, mungkin karena ia merasa aku mendiamkannya.

"Uhm... " Butuh beberapa detik bagiku untuk memutuskan. "Mungkin agak sore," ucapku kemudian.

"Baiklah. Aku akan datang ke sana jam empat sore."

"Tapi, saya tidak bisa memastikan kalau gaun pesanan Nyonya sudah selesai seratus persen," ucapku sebelum wanita itu mengakhiri sambungan telepon. Aku hanya mengantisipasi agar Nyonya Penny tidak kecewa saat datang ke butik nanti dan mengetahui gaun pesanannya belum rampung.

"Tidak apa-apa. Lagipula pestanya masih dua minggu lagi. Aku hanya akan sekalian mampir. Kebetulan aku ada sedikit urusan di sekitar daerah itu," kata Nyonya Penny membuatku seketika bernapas lega. Tadinya aku takut ia akan kecewa karena gaun pesanannya belum selesai.

"Baiklah. Saya akan menunggu kedatangan Nyonya. Sampai jumpa... "

Aku melempar ponselku ke atas tempat tidur dan kembali menjatuhkan kepala ke bantal. Aku ingin melanjutkan tidur yang tadi sempat terusik oleh Nyonya Penny. Seharusnya aku mematikan ponsel saat tidur, sesalku sambil memejamkan mata.

Namun di saat aku berniat melanjutkan tidur kembali, samar-samar telingaku menangkap suara seseorang berbincang dari luar sana. Memang terdengar pelan dan tak begitu jelas, tapi tetap saja membuatku tak bisa tenang memejamkan mata.

Aku harus menyuruhnya diam, batinku sambil melompat dari atas tempat tidur lalu bergegas berjalan ke arah balkon. Selama ini aku memang tak pernah membuka tirai dan pintu yang mengarah ke balkon, tapi keadaan yang memaksaku untuk melakukannya. Sebab aku merasa tidak nyaman dengan pintu balkon yang terbuka dengan angin yang menerbangkan tirainya.

Jathayu dan Bik Inah?

Dari atas balkon aku mengarahkan pandanganku ke bawah dan menemukan kedua manusia itu sedang berbincang. Bik Inah tampak menggenggam sapu lidi di tangan dan Jathayu terlihat mengenakan kaus olahraga dan sehelai training panjang berwarna biru. Mereka tampak bicara dengan serius, bahkan Bik Inah seolah lupa jika halaman telah bersih. Dan Jathayu, ia tak terlihat berkeringat sama sekali. Apa mereka sedang membicarakanku?

Ah, aku menelan kembali suaraku saat keduanya mengakhiri perbincangan dengan tiba-tiba. Mungkin naluri mereka terlalu peka dengan kehadiranku di atas balkon. Atau mereka dengan sengaja mengakhiri perbincangan karena takut terdengar olehku? Padahal aku ingin menghardik mereka berdua tadi.

"Apa kamu mau jogging juga?!"

Tubuhku urung ketika hendak berbalik. Teriakan dari halaman jelas ditujukan untukku.

Aku mengulum senyum pahit sambil menggelengkan kepala. Berolahraga adalah kegiatan yang tidak pernah kulakukan selepas SMU. Aku gampang capek dan napasku pendek. Itulah kenapa aku sama sekali tidak suka berolahraga.

"Kamu perlu bergerak agar tubuhmu sehat!" Laki-laki itu berteriak lagi seolah-olah rumah ini adalah miliknya. Pasti mama telah berangkat, makanya ia berani meneriakiku seperti itu.

"Kamu sendiri saja!" Aku balas berteriak dan benar-benar membalik tubuh. Aku enggan untuk melayani laki-laki itu berdebat.

Mama memang mempekerjakan laki-laki itu sebagai pengawal pribadiku, tapi jika kupikir kembali sikapnya sedikit berlebihan. Contohnya tadi malam dan pagi ini. Sikap Jathayu sedikit lancang padaku. Apa mama memang memberinya 'kekuasaan' untuk mengaturku?

Alih-alih kembali ke atas tempat tidur, aku malah pergi ke dapur. Rasa haus mendadak menggerogoti kerongkonganku setelah berteriak pada Jathayu tadi.

Kulihat Bik Inah telah kembali ke dapur ketika aku membuka pintu kulkas.

"Sudah bangun, Nona? Mau dibuatkan sesuatu?" Bik Inah menegur ketika aku berhasil mengeluarkan sebuah botol air minum dari dalam kulkas.

"Aku belum lapar," sahutku sambil berjalan ke arah meja makan dengan membawa botol air minum.

"Mau roti panggang dengan selai nanas?" tawar wanita itu seolah tidak menggubris ucapanku.

"Terserah," sahutku. Karena wanita itu akan terus menawarkan makanan meski aku bilang tidak lapar.

"Bik Inah bicara apa dengan Jathayu di luar tadi?" tanyaku bermaksud menginterogasi.

"Kenapa? Apa Nona mencurigai kami sedang bergosip?" balas wanita itu seraya melirik ke arahku sementara tangannya sibuk mengeluarkan roti tawar dari dalam bungkus plastik.

Bik Inah terlalu pandai membaca situasi, batinku.

"Jawab saja, Bik," suruhku. "Apa kalian bicara tentangku?"

Namun, wanita itu malah meledakkan tawanya. Membuat hatiku semakin kesal.

"Untuk apa kami bicara tentangmu, Nona?" Bik Inah menoleh ke arahku sejenak sebelum mengoleskan selai nanas ke atas roti tawar.

"Lalu?" pancingku. Rasa penasaran belum lepas dari pikiranku.

"Kamu benar ingin tahu?" tanya wanita itu dengan mendelikkan matanya.

Aku sengaja tidak menjawab. Sejujurnya aku sangat ingin tahu, tapi enggan untuk menunjukkan keingintahuanku di depan Bik Inah. Wanita itu bahkan tidak sungkan untuk mengejekku.

"Kami bicara tentang pencuri yang membobol rumah di ujung gang semalam," ucap Bik Inah sejurus kemudian.

"Oh... benarkah?" Aku agak terkejut mendengar pengakuan wanita itu. Selama ini komplek perumahan yang kami tempati terbilang aman, tapi nyatanya tidak.

"Polisi mencurigai si supir berkomplot dengan para pencuri itu. Makanya sekarang dia menjadi buron," imbuh Bik Inah lagi. "Ini, makanlah." Ia meletakkan sebuah piring dengan roti tawar panggang dengan isi selai nanas ke hadapanku.

"Bagaimana kalau Jathayu juga pencuri seperti mereka?"

"Hush... " Bik Inah buru-buru mengibaskan tangan kanannya ke depan wajah. "jangan bicara sembarangan. Jathayu bukan orang seperti itu."

"Bagaimana Bibik tahu kalau dia bukan orang seperti itu?" Aku menggigit roti panggang buatan Bik Inah. Makanan itu akan segera berubah dingin dalam waktu sekejap. "Apa Bik Inah menyukainya? Atau jangan-jangan Bik Inah ingin menjadikan Jathayu sebagai menantu?"

"Hei, putriku masih sekolah, Nona. Mana mungkin aku akan menikahkannya," elak wanita itu sambil memutar tubuh. Sikapnya membuatku bertambah yakin kalau Bik Inah mengincar Jathayu untuk dijadikan menantu. "Lagipula Jathayu tidak akan menyukai putriku."

"Kenapa? Mereka belum pernah bertemu, kan?"

"Orang setampan Jathayu mana pantas mendapatkan putri seorang pembantu sepertiku? Dia pantas mendapatkan wanita secantik Nona Talisa," ujarnya.

"Apa?" Aku hampir tersedak mendengar pernyataan konyol Bik Inah soal Jathayu dan aku.

"Habiskan makanannya. Bibik mau mengambil pakaian kotor di kamar Nyonya... "

***

Terpopuler

Comments

Nunuk Prihatiningsih

Nunuk Prihatiningsih

Alur ceritanya bagus .mangat Thor

2021-03-11

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!