Tanpa mencuci wajah lebih dulu, aku bergegas menuruni anak tangga setelah menyambar jepit rambut dari atas nakas lalu menjepit mahkotaku dengan asal. Sebenarnya aku ingin terus berbaring di atas tempat tidur, tapi sinar matahari yang menerobos masuk ke dalam kamar membuatku tak bisa memejamkan mata. Harusnya aku mengganti gorden di kamarku dengan warna gelap , tapi aku terlalu sibuk dengan urusan butik dan belum sempat untuk melakukannya.
"Bisa aku minta segelas cokelat hangat?" pintaku pada Bik Inah yang sedang mengaduk isi panci. Ia adalah asisten rumah tangga kami yang bertugas memasak dan mengurus pakaian kotor. Ia datang ke rumah kami pagi-pagi sekali dan pulang sebelum petang tiba.
Wanita itu membalik tubuh begitu mendengar suaraku lalu mengangguk tanpa suara.
Oh.
Aku terkejut ketika akan melangkah ke meja makan sebab Jathayu telah lebih dulu berada di sana ditemani secangkir teh. Laki-laki itu menoleh sekilas.
"Apa mama sudah berangkat, Bik?" Aku melirik ke arah pintu kamar mama sebelum melangkah ke arah meja makan.
"Sudah," jawab Bik Inah tanpa menoleh. Wanita paruh baya yang sudah belasan tahun bekerja di rumah kami itu masih sibuk dengan peralatan memasak di hadapannya. "Katanya ada sidang hari ini," jelasnya .
"Bagaimana tidurmu semalam?" tegur Jathayu setelah aku berhasil meletakkan pantat di atas kursi yang berada di sebelah tubuhnya.
"Kenapa?" Aku balas bertanya. Ia sudah merampas ponselku semalam dan tiba-tiba bertanya seolah-seolah sedang peduli padaku.
"Ada lingkaran hitam di bawah matamu," ucapnya dengan tatapan menunjuk ke area yang baru saja ia sebutkan.
"Apa?" Aku tersentak. Laki-laki itu cukup jeli, batinku. "Aku tidur nyenyak semalam," ucapku berbohong. Bukan kali ini saja aku mengalami gangguan tidur. Dan semalam cukup parah.
"Apa insomniamu sudah sembuh?" Bik Inah meletakkan sebuah cangkir ke hadapanku. Aroma cokelat menguar bersama asap tipis yang mengepul dari dalam cangkir. "Kamu tidak minum obat tidur, kan?"
Bik Inah menatapku dengan memicing, mengisyaratkan kecurigaan. Wanita itu sudah mengenalku sejak kanak-kanak dan aku juga paham betul sifatnya.
"Sejak kapan aku minum obat tidur?" protesku tak terima.
"Kalau tidak minum obat tidur, kenapa harus marah-marah seperti itu?"
Aku menggeram dalam hati. Bik Inah dan Gina adalah dua kepribadian yang bertentangan. Wanita itu adalah komplotan mama.
"Aku tidak marah, Bik," sangkalku mencoba memberi pengertian.
"Kamu mau Bibik buatkan sarapan apa?" Bik Inah kembali memeriksa panci di atas kompor yang masih menyala. Aroma daging bisa kucium dari tempat dudukku.
"Aku tidak lapar."
"Heh," Wanita itu membalik tubuhnya dan menghardikku. "kamu sudah lupa bagaimana rasanya dilarikan ke rumah sakit karena sakit maag akut?"
Astaga! Bik Inah membongkar kelemahanku di depan Jathayu. Wanita itu terlalu jujur dan tak bisa mengendalikan perkataannya. Namun, aku tak bisa marah padanya. Bik Inah selalu bisa mendebatku dengan gampang.
"Aku baik-baik saja, Bik." Aku merasa baik-baik saja akhir-akhir ini.
"Buatkan sesuatu, Bik. Apa saja."
"Baik."
Aku menatap ke samping. Jelas-jelas Jathayu menyuruh Bik Inah tadi. Lagaknya seperti tuan rumah saja, batinku tak percaya.
"Kembalikan ponselku." Aku mengulurkan telapak tanganku ke arahnya.
"Setelah sarapan akan kukembalikan," sahutnya terkesan santai. Bahkan ia menyesap tehnya setelah berkata seperti itu.
Ia dan Bik Inah sama saja. Mereka berdua adalah komplotan mama.
"Makanlah." Bik Inah datang dan meletakkan sebuah piring di hadapanku berisi nasi dan beberapa irisan daging. Sayuran hijau dan irisan wortel terlihat menumpuk di salah satu sisi piring. "Kamu juga." Wanita itu mengambil satu piring lagi dan meletakkannya di depan Jathayu. Isi piringnya sama dengan kepunyaanku.
"Terima kasih. Apa Bibik sudah makan?"
"Bibik akan makan setelah menyelesaikan ini."
Huh. Mereka terlihat cukup akrab meski baru saling mengenal. Bik Inah juga bersikap sangat baik pada Jathayu dan begitu sebaliknya. Kenapa? Sekali aku tegaskan mereka adalah komplotan mama.
"Apa kamu akan ke butik hari ini?"
"Ya. Kenapa?" Aku menoleh untuk mencari tahu makna dari ekspresi wajah laki-laki itu, tapi tak bisa. Tidak ada yang bisa kubaca dari sana.
"Aku akan bersiap setelah ini."
"Apa kamu benar-benar ingin melakukan pekerjaan ini?" Aku sengaja meletakkan sendok di atas piring dan fokus pada laki-laki itu. "Apa mama membayarmu dengan gaji tinggi?"
Jathayu belum menjawab. Ia terdiam sesaat lalu menoleh padaku.
"Apa aku harus menjawab?"
"Ya. Karena aku bertanya padamu," tandasku. Perbincangan ini seharusnya sederhana dan mudah, tapi Jathayu membuatnya menjadi rumit. "Berapa banyak yang mama janjikan padamu?" ulangku untuk yang ke sekian kali.
"Cukup banyak."
"Berapa?" Jawaban laki-laki itu membuatku penasaran untuk mengajukan pertanyaan kembali.
"Aku tidak bisa mengatakannya."
Andai aku bisa melayangkan satu saja pukulan ke wajah laki-laki itu, batinku kesal.
"Lalu kenapa kamu mau melakukan pekerjaan ini?" Pertanyaan tentang gaji terpaksa kulewati. Namun, kali ini ia harus menjawab pertanyaanku.
"Karena melindungi orang lain adalah pekerjaanku."
Apa ia sedang berpikir jika dirinya adalah seseorang yang terlahir sebagai pahlawan super?
"Tapi kenapa harus aku yang kamu lindungi? Aku bisa menjaga diriku sendiri. Selama ini aku juga baik-baik saja meski tanpa seorang pengawal pribadi," ocehku.
"Kalau kamu tidak berhubungan dengan laki-laki tua itu, Nyonya tidak akan menyewa seorang pengawal pribadi, Nona Talisa." Bik Inah tiba-tiba mendekat dan menimpal ucapanku. Wanita itu juga sama menyebalkan dengan mama. Semua keburukanku sudah diketahuinya, termasuk hubunganku dengan Bram.
"Bik!"
"Itu kenyataan. Akui saja, Nona."
"Menyebalkan." Aku mendesis sambil membuang muka ke arah lain. Selera makanku kandas seketika.
"Berhentilah mengganggu laki-laki itu, Nona. Masih banyak pemuda lajang di dunia ini yang bisa kamu pilih." Bik Inah malah melanjutkan ceramahnya.
Aku mengulum senyum pahit. Tapi, aku hanya menyukai Bram, batinku.
"Aku akan mandi, jadi kamu juga harus bersiap-siap." Aku memutuskan untuk berhenti menyuap meski isi piringku masih tersisa separuh.
"Habiskan sarapanmu," suruh Jathayu saat aku telah berhasil mengangkat tubuh dari atas kursi. "Aku tidak akan mengembalikan ponselmu kalau kamu tidak mengahabiskan sarapanmu."
"Kamu mengancamku?" delikku tak percaya. Memangnya aku akan menderita tanpa ponsel itu? Bahkan aku bisa membeli ponsel beserta konternya jika aku mau. Nomor telepon Bram juga tersimpan rapi di dalam memori otakku.
"Untuk apa aku mengancammu?" balasnya dengan nada santai. "Aku hanya kasihan pada Bik Inah yang telah susah payah membuat sarapan untukmu."
"Kalau begitu makan saja sisaku," cetusku sambil berlalu dari ruang makan.
Pagi yang menguras emosi.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 90 Episodes
Comments