Bukan tetesan gerimis senja yang mengundang naluriku untuk menatap ke balik kaca butik yang tampak berkabut. Aku bukan salah satu penggemar hujan yang akan merasa bahagia ketika melihat tetes-tetes air berjatuhan dari langit. Hujan, mendung, dan langit biru sekalipun tidak akan berpengaruh pada suasana hatiku. Namun, sebuah pemandangan di luar sana memaksa wajahku untuk menoleh dan mengabaikan desain gaun untuk Nyonya Penny yang setengah jadi.
Seorang anak kecil tampak berjalan dengan riang di samping ayahnya yang sedang sibuk membawa payung untuk mereka berdua. Sementara tangan kanannya sibuk memegang gagang payung, tangan kiri sang ayah tampak menggenggam erat jemari kecil putri kecilnya. Meski sebagian tetesan air hujan tak bisa mereka hindari, keduanya terlihat bahagia. Senyum senang tak henti menghias wajah ayah dan anak itu.
Kebahagiaan tak bisa ditukar dengan materi.
Bahagia itu sederhana.
Ungkapan-ungkapan itu sudah kerap kudengar. Mungkin juga aku pernah membacanya di buku atau majalah. Aku tak bisa mengingatnya dengan baik. Lalu apa arti bahagia untukku? Apakah untuk meraih kebahagiaan itu, aku harus merampas kepunyaan orang lain?
"Maaf, Nona Lisa."
Jika saja suara itu tidak mengusik kebisuanku, mungkin air mata sudah merembes membasahi pipiku. Aku benci larut dalam kesedihan seperti ini.
"Ada apa?" Aku mengalihkan pandangan dari balik kaca ke arah Eka yang sedang berdiri kaku di depan meja kerjaku. Anak kecil dan ayahnya yang tadi kulihat sedang berjalan di bawah guyuran air hujan sudah tak terjangkau oleh tatapan mataku.
"Nyonya Penny menelepon. Dia bertanya apakah desain gaun pesanannya sudah jadi," jelas Eka agak terbata.
Astaga. Bukankah baru kemarin wanita itu memesan gaunnya?
"Katakan padanya desainnya belum selesai."
"Nyonya Penny bilang agar Nona mengirimkan gambar desain gaunnya... "
"Bilang padanya kalau gambarnya belum selesai. Kamu mengerti?" geramku. Aku butuh waktu untuk menyelesaikan gambar desainku, terlebih lagi saat suasana hatiku sedang buruk seperti sekarang. Dua hari terakhir aku dan mama berdebat masalah Bram. Seolah perdebatan itu akan berakhir jika aku dan Bram berpisah. Tapi, aku ingin akhir yang bahagia. Bukan perpisahan seperti yang mama harapkan. Dan pemandangan di bawah hujan yang sempat kulihat beberapa menit lalu berhasil mengoyak sanubariku. Terus terang aku iri dengan mereka. Masa kecil yang indah tak akan pernah bisa kumiliki selamanya. Waktu yang terlewati tak pernah bisa diulang.
"Tapi, Nona. Nyonya Penny ingin Anda mengirimkan gambar desainnya meski belum selesai."
"Apa?" Aku agak terkejut mendengar pengakuan Eka. Tak biasanya Nyonya Penny menjadi pemaksa seperti ini. "Kalau begitu kirimkan gambar ini padanya," suruhku seraya mendorong kertas bergambar desain gaun pesta yang dipesan Nyonya Penny. Hanya ada goresan pensil di sana dan aku belum sempat menorehkan setitik warna pun karena pemandangan hujan di luar tadi menghentikan segenap kreatifitasku.
Eka menatap nanar ke atas meja. Gadis itu tampak gugup dan seperti bimbang untuk menentukan pilihannya.
"Tunggu apa lagi? Ambil gambarnya sekarang!"
"Ba-baik, Nona," jawab gadis itu tergagap. Ia buru-buru merogoh ponsel dari dalam saku celana panjangnya lalu mengambil foto gambar desain gaun milik Nyonya Penny di atas meja. "Sudah, Nona."
"Uhm."
Setelah selesai mengambil gambar, Eka berbalik lalu dengan tergopoh-gopoh pergi dari hadapanku.
Mengesalkan.
"Apa aku mengganggu?"
Suara lain menyapa gendang telingaku tepat di saat aku menggerutu di dalam hati. Bukan suara asing, aku pernah mendengarnya beberapa kali.
Ketika aku menoleh ke arah sumber suara berasal, sesosok tubuh seorang wanita tampak berjalan dari arah pintu masuk butik. Wanita itu tampak anggun dengan setelan resmi berwarna abu-abu. Rambut panjang bergelombang yang dicat dengan warna cokelat gelap membuatnya terlihat energik dan bersemangat. Tas bermerk seharga puluhan juta tampak menggantung di tangan kirinya. Penampilannya terlihat sempurna dengan jam tangan dan stilletto berwarna hitam.
Dokter Sabrina?
"Apa kamu sedang sibuk?" tegur wanita itu sambil meletakkan tas tangannya di atas meja kerjaku lalu mengambil tempat duduk di kursi yang telah tersedia tanpa kupersilakan terlebih dulu.
"Apa mama yang menyuruhmu untuk datang?" Aku ganti bertanya karena pertanyaannya tak ingin kujawab.
"Kebetulan aku lewat, jadi aku mampir sebentar." Dokter Sabrina menjawab dengan nada santai. Mama pasti sudah mengirimkan sejumlah uang ke dalam rekening milik Dokter Sabrina, sehingga wanita itu mau repot-repot menyambangi tempat kerjaku di saat hujan seperti ini. Apalagi jarak dari rumah sakit dan butikku cukup jauh. "Kamu tidak datang tadi. Apa kamu sedang sibuk?" Kalimatnya lebih jujur ketimbang sebelumnya.
"Aku memang tidak berencana untuk datang," tandasku.
"Makanya aku mampir ke sini," sahutnya seperti tak ingin kalah dariku. "Oh ya, bagaimana kabarmu?" Ia beralih menanyakan kabar.
"Apa aku tampak sedang tidak baik?"
Dokter Sabrina mengulas senyum tipis di bibir merah mudanya.
"Ya, kamu terlihat sangat baik."
"Apa yang ingin kamu dengar dariku?" Aku ingin segera mengusir wanita itu dari hadapanku secepatnya. Kehadirannya benar-benar membuatku merasa sangat tidak nyaman. Padahal tempat ini adalah kepunyaanku, tapi aku merasa seperti terintimidasi dengan keberadaannya. "Memang benar apa yang dikatakan mama kalau aku mencintai laki-laki seperti itu. Dia jauh lebih tua dariku dan... sudah beristri. Tapi aku sama sekali tidak pernah menganggap laki-laki itu sebagai ayahku. Aku menyukainya sebagaimana seorang wanita menyukai seorang laki-laki. Lalu apa yang membuatku tampak tidak waras?"
Dokter Sabrina setengah tersenyum mendengar celotehanku. Mungkin aku terlalu jujur dan terbuka, tapi yang jelas aku ingin wanita itu segera pergi dari sini.
"Sangat wajar jika seorang wanita menyukai seorang laki-laki. Menurutku jatuh cinta bukanlah sebuah kejahatan, tapi... " Dokter Sabrina memutus kalimatnya dengan sengaja. Ia menatapku seperti memberi isyarat agar aku menyelesaikan kalimatnya dengan pemikiranku sendiri.
"Karena laki-laki itu sudah beristri, maka aku tidak boleh mencintainya, begitukah?" Aku menyambung tanpa berpikir panjang. "Bagaimana kalau dia bercerai? Apa aku boleh mencintainya? Apa aku bisa menikah dengannya?"
"Kamu ingin membuat laki-laki itu menceraikan istrinya?"
"Tadinya aku berpikir, aku merasa cukup bahagia dengan hubungan yang kami miliki. Tapi, setelah berbincang denganmu dan bertengkar dengan mama semalam, aku berubah pikiran."
"Maksudnya?" Kalimatku memancing rasa penasaran wanita di hadapanku.
Aku mengurai senyum atas kemenangan kecil yang telah kuraih karena berhasil menerbitkan tanda tanya dalam hati wanita itu.
"Aku akan membuat mereka bercerai," tandasku dengan setengah berbisik.
"Apa?!" Dokter Sabrina tercengang usai mendengar rencana gilaku. Aku yakin pernyataanku ini akan sampai di telinga mama secepatnya.
Aku melepaskan tawa sedetik kemudian karena merasa kasihan melihat wanita itu dengan ekspresi kaget yang masih melekat di wajahnya.
"Tenang saja, Dok. Aku tidak serius," ucapku masih dengan tawa di bibir. "Aku hanya bercanda."
Dokter Sabrina tak menyahut. Wanita itu berganti menekuk wajahnya dan menatap ke arah lain.
"Apa ada resep obat untukku?" Aku sengaja mempermainkan wanita itu.
"Tidak," jawab Dokter Sabrina tak bersemangat.
"Apa itu artinya perbincangan kita sudah selesai?"
Wanita itu menarik napas dan kembali menatapku dengan cermat.
"Akan lebih baik kalau kita bicara di kantorku. Di sini kurang nyaman... "
"Aku tidak akan pergi ke sana."
Dokter Sabrina terlihat ragu saat akan mengambil kembali tas tangan miliknya dari atas meja.
"Aku akan tetap menunggu."
Dasar wanita keras kepala, batinku saat Dokter Sabrina memutar tubuh dan mengayunkan langkah pergi setelah meraih tas tangannya dari atas meja kerjaku.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 90 Episodes
Comments
Sulaiman Efendy
SEMOGA SAJA LO GK DIMAKAN SI BRAM..
2024-04-13
0
Eti Rochaeti
lanjut Thor aq mau tau, kalau pelakor itu pemikirannya normal apa gak, harusnya. ada RS khusus untuk ngerawat para pelakor 😠😠😠
2021-07-22
2
Eti Rochaeti
kalau benar perkataan Talisa di realisasika, itu sih benar benar wanita yg gak punya hati, atau sdh hilang urat malunya. percuma jadi wanita intelek kalau iq jongkok.
2021-07-22
0