#09

"Berapa banyak gaji yang mama janjikan?"

Aku menatap ke arah spion tengah, tapi hanya sepasang mata milik laki-laki itu yang tampak. Wajahnya sama sekali tak bisa kulihat.

Tak ada jawaban. Hanya lirikan tajam yang kudapatkan. Aku merebahkan kepalaku ke jok belakang dan membuang napas kesal. Berandai-andai jika saja aku punya pilihan. Aku tidak bisa melepaskan Bram tanpa alasan. Namun, aku juga tak mau seseorang mengawasiku selama 24 jam penuh seperti parasit.

"Apa kamu sangat butuh uang?" Aku masih bersandar, tapi kembali menatap spion tengah. "Kenapa kamu mau jadi pengawal pribadi? Kamu tahu aku bukan orang terkenal, jadi pasti akan sangat membosankan mengawal orang sepertiku," celotehku tak jelas. Aku tidak berharap ia akan menjawab setelah tahu selain tak punya ekspresi, laki-laki itu juga bisu. Aku bahkan belum mendengar suara keluar dari mulutnya sejak keluar rumah hingga naik mobil menuju ke butik.

"Apa kamu tahu jalan ke butik?" Aku yakin mama sudah memberitahu laki-laki itu dan sebenarnya aku sama sekali tidak cemas. Dan kesalahanku adalah masih bertanya padanya meski tahu ia tidak akan menjawab pertanyaanku.

Aku mengeluarkan ponsel dari dalam tas dan memeriksa notifikasi yang masuk, berharap salah satunya berasal dari Bram. Namun, harapanku sia-sia. Hanya ada dua notifikasi dari Nyonya Penny dan beberapa dari pelanggan tetap butik yang bertanya koleksi terbaru yang kubuat.

Apa Bram tahu kalau aku sangat merindukannya?

Mungkin perasaan ini terdengar konyol dan tidak wajar seperti kata Risa semalam. Namun, aku tidak pernah merasa bahwa mencintai seseorang adalah sebuah kekonyolan hanya karena perbedaan usia yang terpaut cukup jauh. Jika cinta yang kurasakan pada Bram adalah sebuah kekonyolan, maka ini adalah kekonyolan yang indah. Dan aku memastikan ini bukanlah sebuah obsesi. Kerinduanku pada papa rasanya sudah habis terkikis oleh waktu. Aku tak berharap lagi akan bertemu dengannya suatu hari nanti.

"Kita sudah sampai."

Suara itu membangunkanku dari termenung. Aku tersadar mobil yang kutumpangi telah menepi dan berhenti tepat di depan butik. Aku benar, mama telah memberitahu padanya lokasi butik.

Aku buru-buru turun dari mobil tanpa meninggalkan sepenggal kalimat pun. Toh, laki-laki yang tadinya kuanggap bisu, nyatanya bisa bicara. Namun, ia tak menggubris setiap pertanyaanku dan aku menjadi kesal padanya.

Aku bergegas melangkah ke meja kerjaku begitu sampai di dalam butik. Rancangan gaun milik Nyonya Penny harus kuselesaikan saat ini juga sebab aku sudah bosan dikejar-kejar pertanyaan olehnya.

"Apa Nyonya Penny menelepon?" tanyaku sebelum menjatuhkan tubuh di atas kursi. Dini yang sedang mengganti pakaian pada tubuh manekin, menghentikan sesaat aktifitasnya lalu menoleh kepadaku.

"Tidak, Nona."

"Baiklah." Aku segera mengambil buku desainku dan bertekad menyelesaikan gaun untuk Nyonya Penny. Harusnya aku tak membutuhkan waktu lama untuk melakukan hal ini sebab gaun pesanan Nyonya Penny tak membutuhkan banyak detail, tapi suasana hatiku benar-benar tidak mendukung. Dan kali ini aku harus memaksakan diri untuk menyelesaikannya sebelum wanita itu menelepon untuk ke sekian kali.

"Apa Nona punya pacar?"

Aku menaikkan dagu mendapat teguran dari salah satu karyawanku. Eka, tampak berdiri tak jauh dari meja kerjaku dan ekspresi wajahnya menyiratkan keingintahuan.

"Siapa?"

Eka mengisyaratkan sesuatu padaku melalui gerakan kedua matanya yang melirik ke arah luar butik.

Oh. Aku hampir lupa telah meninggalkan laki-laki asing itu di luar tanpa memberitahunya apa yang harus ia lakukan. Ia terlihat berdiri tak jauh dari mobilku sembari mengawasi sekeliling. Lagaknya seperti pengawal pribadi sungguhan. Apa ia akan menunggu di luar selama aku bekerja?

"Bukan. Dia bukan pacarku," jawabku sambil meneruskan kembali pekerjaanku. "Teruskan saja pekerjaanmu."

"Baik, Nona."

Pengawal pribadi? Huh! Sangat menggelikan. Mama benar-benar serius ingin membuatku berpisah dari Bram. Pertama, wanita itu mengirim seorang psikiater padaku dan sekarang ia bersusah payah menyewa seorang pengawal pribadi untuk mengawasi gerak gerikku selama 24 jam penuh. Kenapa ia tidak sekalian mengurungku di dalam kastil tanpa pintu agar aku tak bisa menemui Bram? Apa mama pikir perasaanku pada Bram akan berubah meski ia melakukan segala cara untuk memisahkan kami? Tidak!

Oh, Bram. Andai kamu tahu apa yang terjadi padaku sekarang...

Aku bangkit dari kursi setelah beberapa waktu berlalu. Desain gaun untuk Nyonya Penny telah selesai dan aku harus mencari bahan-bahan di dalam gudang untuk diberikan pada tukang jahit.

"Nona, ada telepon!"

Pasti Nyonya Penny, dugaku. Belum-belum aku sudah merasa kesal dibuatnya.

Eka mendekat dengan langkah tergopoh-gopoh. Gadis itu mengulurkan ponselku yang tadi kutinggalkan di atas meja kerja.

"Dari Nyonya Penny?" tanyaku seraya memilih kain yang akan kugunakan sebagai bahan gaun untuk wanita itu.

"Tidak ada namanya."

Aku meraih ponselku setelah menemukan kain yang kumaksud. Sebaris nomor yang sangat kukenal tertera di atas layar ponsel. Aku sengaja tak menyimpannya karena beberapa alasan yang tak bisa kujelaskan.

"Halo?" Jantungku berdebar tak keruan, padahal aku belum mendengar si penelepon menjawab salam sapaku.

"Apa kabar, Sayang?"

Senyumku seketika merekah setelah mendengar suara itu. Bram menelepon! Mungkin nyanyian kerinduanku terdengar olehnya.

"Aku merindukanmu, Bram." Aku menutup pintu gudang setelah Eka pergi.

"Aku juga."

"Apa kita bisa bertemu hari ini? Bagaimana kalau kita makan siang di restoran steik?" Biasanya laki-laki yang menawarkan sebuah pertemuan atau makan siang, tapi aku tak bisa menunggu Bram menawariku lebih dulu. Kerinduanku terlalu lama bertumpuk di dalam dada. Ada beberapa hal yang juga ingin kukeluhkan padanya.

"Maaf, Talisa. Aku tidak bisa. Hari ini ada peluncuran produk baru di perusahaan. Akan ada banyak acara di sini. Mungkin lain kali kita bisa pergi."

Mengecewakan. Aku sudah terlalu sering dikecewakan seperti ini, tapi aku selalu tahu diri. Aku bukan prioritas dalam hidupnya. Suka atau tidak, aku harus menerimanya.

"Apa kamu kecewa?"

"Aku baik-baik saja... "

"Maafkan aku."

Aku menutup sambungan telepon meski Bram belum mengakhiri pembicaraan kami. Ia sibuk. Sementara aku selalu dipaksa untuk mengerti situasinya. Aku sudah terlalu sering untuk bersabar.

Namun, sampai kapan aku harus bersabar untuk selalu menerima? Aku tak punya hati seluas samudera. Aku butuh Bram di sisiku. Meski tak bisa memiliki Bram seutuhnya, aku masih bisa menerima. Akan tetapi, aku tak bisa hidup seperti ini selamanya.

"Nona Talisa."

Pintu gudang didorong dari luar.

"Nyonya Penny menelepon... " beritahu Eka dengan nada pelan.

Nyonya Penny. Wanita itu terus menelepon seolah-olah ingin menghantui hidupku. Apa pentingnya selembar gaun itu baginya? Apa ia tidak tahu betapa sakitnya hatiku sekarang? Kenapa ia mesti menambah berat beban hidupku? Apa ia tidak bisa menunggu sebentar lagi sebelum aku mengirimkan desain gaunnya yang beberapa saat lalu telah kuselesaikan?

***

Terpopuler

Comments

Sulaiman Efendy

Sulaiman Efendy

BERHARAP TU PENNY ISTRI BRAM

2024-04-13

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!