#07

"Maaf, salon kami sudah tutup!"

Seorang gadis yang sebagian rambut panjangnya dicat merah langsung menyambutku dengan sebuah penolakan kasar. Dari wajahnya yang tampak berminyak dan letih, aku bisa menyimpulkan betapa sibuknya ia hari ini. Mungkin ia tak sempat membersihkan diri atau mencuci muka sekalipun karena terlalu banyak pelanggan yang datang ke salonnya.

"Lama tidak berjumpa," ucapku sambil mengulas senyum padanya. Tak peduli tatapan aneh dari sepasang matanya yang terbingkai riasan tebal. "Apa kamu lapar?" Aku mengangkat sebuah kantung belanjaan dari minimarket di ujung jalan untuk meraih sedikit simpatinya.

"Masuk," suruhnya masih dengan memasang wajah datar.

Namanya Risa. Ia adalah satu-satunya teman yang kumiliki dari kecil hingga dewasa. Mungkin karena jarak rumah kami yang tidak terlalu jauh, kami bisa berteman sampai sekarang.

"Apa pelangganmu banyak hari ini?" tegurku sambil meletakkan tas dan barang bawaanku di atas meja.

"Bisa dibilang iya," Risa menyahut tanpa menoleh. Ia menutup pintu lalu menurunkan semua tirai sebelum bergabung denganku di sofa panjang yang disediakan sebagai tempat duduk bagi pelanggan yang sedang menunggu giliran. "Aku belum makan dari siang," ungkapnya setelah menjatuhkan tubuh di atas sofa. Ia segera membongkar isi kantung belanjaanku dan mengeluarkan roti sobek dari dalamnya.

"Mestinya kamu mencari pegawai, Ris." Aku pernah mengusulkan ini beberapa waktu lalu, tapi Risa mengabaikannya.

"Aku takut tidak bisa membayar gaji karyawan," ucapnya tak begitu jelas karena mulutnya penuh dengan makanan.

Salon kecantikan milik Risa memang tergolong kecil. Bahkan gadis itu memutuskan untuk tidur di sana karena terlalu mencintai profesinya. Memiliki salon kecantikan adalah impiannya sejak SMU.

"Apa ada masalah?" Risa menatapku setelah menelan kunyahan dan meneguk minuman berperisa jeruk dari botol.

"Apa wajahku tampak bermasalah?"

"Bukannya kamu hanya akan datang ke sini saat ada masalah? Apa aku salah?" Bola mata Risa membulat. Ia sedang mencurigaiku sekarang.

"Apa aku seperti itu?"

"Ya."

"Tapi aku selalu mengecat kuku di sini, Risa. Kamu lupa?" Aku berusaha mengingatkannya.

"Apa kamu mau mengecat kuku malam-malam begini?"

"Tidak." Aku menggeleng dengan tegas.

"Lalu?"

Karena aku gagal bertemu dengan Bram, jawabku dalam hati. Aku sangat merindukannya hari ini, tapi aku tak bisa menghubungi laki-laki itu. Nomor yang biasa kami gunakan untuk berkomunikasi saat darurat, tidak aktif. Bram pasti sibuk. Aku berharap bertemu dengannya dengan sengaja mengambil jalur depan kantornya saat pulang, tapi usahaku tak membuahkan hasil sama sekali. Mungkin laki-laki itu masih bertahan di dalam gedung lantai tiga puluh tempatnya bekerja, atau Bram telah pulang ke rumah.

"Aku hanya ingin mampir, itu saja."

Terus terang aku tak bisa mengatakan pada Risa jika ia hanya pelampiasan rasa bosanku ketika rasa rinduku pada Bram terabaikan.

"Aku senang karena kamu datang di saat yang tepat." Roti sobek di atas meja telah tandas dan gadis itu melanjutkan makan malamnya dengan kripik kentang. Jika saja aku tahu ia belum makan dari siang, aku pasti akan membelikannya makanan berat. Nasi bakar di dekat butik lumayan enak.

"Apa kamu mau makan lagi? Kita bisa pesan pizza atau... "

"Nasi goreng!" Risa menyahut dengan cepat dan bersemangat.

"Baiklah." Aku segera mengeluarkan ponsel dari dalam tas dan segera menekan sejumlah angka pembuka kunci layar.

"Apa kamu masih menemui laki-laki itu?"

Jemariku berhenti bergerak dan masih terdiam di atas layar ponsel ketika Risa tiba-tiba memberi pertanyaan mengejutkan. Aku tidak menduga jika Risa akan membahas perihal Bram denganku.

"Mamamu kerap meneleponku," ungkap Risa membuatku tercekat. Genggamanku pada ponsel hampir terlepas.

"Mama?" tanyaku heran.

"Uhm." Risa mengangguk santai. "Saat kamu belum pulang ke rumah, mamamu selalu menelepon untuk bertanya padaku, apa kamu di sini atau tidak. Dan dia menceritakan semuanya, tentang hubunganmu dengan laki-laki itu."

Benarkah mama melakukan itu? batinku.

"Kalian harus putus secepatnya sebelum hal buruk terjadi, Talisa."

Jadi, mama berusaha memanfaatkan Risa untuk membuatku mengakhiri hubungan dengan Bram karena ia tak bisa mengubah pendirianku?

"Mama yang menyuruhmu?" Aku mengernyit padanya dan gelengan yang kudapati.

"Tidak. Aku tidak disuruh siapapun."

"Jadi kamu berada di pihak mama?"

"Bukan, Talisa. Aku tidak berada di pihak manapun. Aku berada di pihakku sendiri."

Senyum pahit terkulum di bibirku. Risa pasti sedang mengelabuiku. Jelas-jelas ia berdiri di pihak mama.

"Aku mencintainya, Ris." Aku tak ingin berdebat seperti yang kulakukan dengan mama.

"Ya ampun, Lisa. Kamu masih menyebut itu cinta?" Tawa Risa terlihat mengejek. "Dia terlalu tua untukmu dan itu tidak wajar. Meski kamu bilang kamu mencintainya, tapi itu sangat konyol. Kamu tahu kan, apa yang dipikirkan orang-orang terhadap pasangan beda usia?"

"Aku tidak peduli apa yang mereka pikirkan tentangku."

"Tapi bagaimana dengan mamamu? Kamu juga tidak ingin peduli?"

Aku terdiam dan tersudut oleh pertanyaan Risa.

"Segala keburukanmu adalah kegagalannya dalam mendidikmu, Lisa," ucap Risa memecah keheningan di antara kami. "Orang-orang akan menilai mamamu buruk jika kamu buruk, tak peduli sebaik apapun dirinya. Kamu bisa mencerna maksud ucapanku, kan?"

"Apa mencintai seseorang adalah tindakan kriminal?"

"Memang bukan." Risa menukas dengan segera. Percakapan kami akan berujung pada perdebatan. "Tapi merampas kebahagiaan orang lain adalah perbuatan buruk, Talisa. Kamu pernah mendengar soal karma?"

"Jadi, maksudmu aku akan mendapatkan karma kalau mencintai Bram?"

"Kamu sudah merebut Bram dari tangan istrinya, Lisa. Ingat itu."

"Aku tidak merebutnya, Ris. Kami saling mencintai dan aku tidak pernah menuntut Bram agar berpisah dari istrinya. Aku cukup bahagia dengan hubungan kami."

"Ya ampun, Talisa... " Gadis itu menepuk keningnya lalu bangkit dari atas sofa dan berjalan mondar mandir di dalam ruangan salon yang sempit. "Perselingkuhan adalah sebuah pengkhianatan. Apa kamu bisa membayangkan bagaimana perasaan wanita itu jika tahu suaminya berselingkuh? Atau... bayangkan jika Bram mempunyai wanita idaman lain selain kamu. Bagaimana perasaanmu? Apa kamu akan baik-baik saja? Tidak, kan?"

"Bram tidak akan seperti itu... "

"Atau jangan-jangan yang dikatakan mamamu benar?" Risa menatapku tajam setelah menghentikan gerakan kakinya. Ia memicing tajam ke arahku. "Kamu terobsesi dengan laki-laki itu karena... "

"Diam!" Aku melompat dari tempat dudukku dan segera menutup mulut Risa dengan telapak tangan. Aku sudah muak mendengar kalimat itu. Mama sangat keterlaluan!

"Apa kamu masih sahabatku, hah?" Risa melepaskan tanganku dengan paksa. Kemarahan jelas tampak di wajahnya, bertumpuk dengan rasa lelah. "Melihat sikapmu, kurasa mamamu benar. Kamu haus kasih sayang dari seorang ayah. Akui saja, Lisa."

"Kalian konyol!"

Aku buru-buru mengambil tasku dari atas meja dan pergi dari hadapan Risa dengan hati kesal. Mereka berdua sama saja. Mereka ingin aku tampak mengenaskan.

***

Terpopuler

Comments

Sulaiman Efendy

Sulaiman Efendy

BENAR2 WANITA MNJENGKELKN NI SI LISA... GK PNY OTAK... EGOIS SKALI JDI MANUSIA.

2024-04-13

0

Eti Rochaeti

Eti Rochaeti

apakah pantas Talita di sebut sebagai wanita, apakah hati Talita terbuat dari batu, hingga nasihat dari mamahnya dan sahabatnya sedikitpun tidak ada yg di terima semua mental, dia berpegangan teguh dg pendirian gak bener,😠😠😠

2021-07-22

1

linanda anggen

linanda anggen

Lisa keras kepala wkwkw

2020-11-01

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!