Aku melihat kembali ke atas layar ponselku. Pukul 13.20. Laki-laki itu terlambat 20 menit dan aku masih menunggunya. Sebelumnya ia tak pernah terlambat seperti ini. Bram selalu memenuhi janjinya untuk makan siang berdua denganku. Namun, kali ini ia tak bisa menepati waktu yang dijanjikannya. Apakah terjadi sesuatu dengannya? Kenapa ia belum muncul?
Aku menimang ponsel di tanganku dengan perasaan cemas. Mestinya jika ia akan datang terlambat atau tak bisa memenuhi janjinya, Bram memberitahuku. Ia bisa menelepon atau memberi kabar lewat pesan singkat sehingga aku tidak perlu merasa gelisah seperti sekarang. Apakah aku harus meneleponnya lebih dulu?
"Maaf, aku terlambat."
Suara parau itu membuatku urung untuk mengusap layar ponsel yang terkunci. Laki-laki yang sudah membuatku cemas selama 20 menit terakhir itu tiba-tiba muncul dari belakang punggungku. Ia menepuk kedua pundakku pelan sebelum mengambil tempat duduk persis di hadapanku.
Aku mengulum senyum getir saat melihatnya mengambil buku menu dari atas meja. Seandainya Bram tahu betapa aku sangat khawatir tadi.
"Apa kamu sudah memesan?" tanya laki-laki itu dengan sepasang mata mengarah pada benda di dalam genggamannya.
Aku menggeleng pelan. "Apa terjadi sesuatu?" Aku bertanya.
Bram menutup buku menunya lalu menggeleng. "Tidak ada," jawabnya dengan ekspresi tenang, seolah tak pernah terjadi apa-apa. Mungkin memang tidak pernah terjadi apa-apa tadi. Hanya aku saja yang terlalu khawatir. "Tadi ada rapat di kantor dan sedikit kemacetan di jalan. Itu saja." Bahunya mengedik.
Itu saja? batinku. Bahkan aku hampir pingsan karena mencemaskannya.
"Harusnya kamu meneleponku," tandasku dengan suara lirih. Intensitas pertemuan kami yang sedikit, bagiku adalah momen-momen yang sangat berharga.
"Maaf, tidak seharusnya aku membuatmu cemas." Laki-laki itu mengulum senyum seraya meraih genggaman tanganku di atas meja. "Aku janji tidak akan membuatmu cemas lagi," ucapnya.
"Uhm." Aku mengangguk meski hatiku penuh dengan keraguan.
"Bagaimana kalau kita pesan steik?" tawar Bram demi mengalihkan topik pembicaraan serius di antara kami.
"Terserah," balasku. Selera makanku setengah menguap.
Bram memanggil seorang pelayan restoran dan melakukan pemesanan. Dua porsi steik beserta dua gelas jus jeruk.
"Bagaimana butikmu hari ini?" Laki-laki itu membuka obrolan ringan sembari menunggu pesanan kami dibuat.
"Baik. Penjualan masih bagus seperti biasa," balasku. Semoga Bram tidak tahu aku sedang bersusah payah untuk menata suasana hatiku. "Bram... "
"Ya?" Kening laki-laki itu mengerut sehingga membuat penampilannya terlihat beberapa tahun lebih tua. Tapi aku menyukai Bram apa adanya. Setua apapun penampilannya tak menyurutkan perasaanku pada Bram. "Ada apa?"
Aku menahan napas sejenak. Haruskah aku mengungkapkan semua hal yang menyesaki dadaku?
"Apa kamu mencintaiku?" Aku berusaha membuat suaraku jauh lebih pelan dari sebelumnya agar orang-orang di sekitar kami tak bisa mendengarnya. Aku sudah tidak peduli dengan pandangan nyinyir yang ditujukan kepadaku. Pelakor, selingkuhan, simpanan om-om setengah tua... Istilah semacam itu pasti pernah terlintas di benak mereka ketika melihat kami berdua. Aku yang menjalani semua ini dan aku pula yang akan menanggung resikonya.
"Kenapa tiba-tiba bertanya seperti itu?" Bram tergelak. Mungkin baginya aku terdengar kekanak-kanakan, tapi pengakuannya adalah sesuatu hal yang penting bagiku.
"Jawab saja," suruhku agak kesal.
"Tentu saja." Ia segera menyahut. "Aku mencintaimu, Talisa."
Seketika aku menarik napas lega. Sebagian beban yang menindih dadaku terlepas. Pernyataan cintanya sudah cukup membuatku bahagia. Aku tidak akan meminta apa-apa lagi darinya.
"Kenapa? Apa kamu ingin dibelikan sesuatu?" Bram mencecarku. "Tas? Sepatu? Mobil baru?"
Aku meledakkan tawa ketika Bram menawarkan barang-barang seolah-olah aku adalah wanita materialistis yang mencintai seorang laki-laki hanya demi mengejar kekayaan.
"Apa aku tampak seperti itu?"
"Tidak. Tapi kamu bisa meminta apapun dariku."
Tidak, Bram. Tidak semua hal bisa kamu berikan padaku. Dan aku tidak akan meminta lebih, kecuali cintamu.
"Tidak," Aku menggeleng dengan menyunggingkan senyum kaku. "kamu sudah memberiku banyak selama ini," tandasku mengingatkan. Sudah tidak terhitung berapa banyak rupiah yang mengalir ke dalam rekening pribadiku dari Bram. Juga barang-barang mewah yang ia hadiahkan untukku.
Pelayan datang.
Aku dan Bram sama-sama menahan diri untuk tidak bercakap-cakap selama pelayan itu menyajikan pesanan kami di atas meja.
"Silakan menikmati."
"Terima kasih."
"Semalam mama menamparku," ungkapku setelah pelayan itu menyelesaikan tugasnya lalu pergi dari meja kami.
Gerakan tangan Bram yang hendak mengiris daging sapi di atas piring terhenti seketika begitu mendengar pengakuanku. Laki-laki itu mengangkat dagu dan menatapku dalam-dalam. Ada secercah kesedihan terpancar dari sinar matanya. Aku pernah menyinggung perihal mama di depannya beberapa waktu lalu.
"Apa kamu baik-baik saja?"
"Kalau aku tidak baik-baik saja, aku tidak akan pernah ada dihadapanmu, Bram," ucapku. Aku memasang senyum terbaik di bibir. Rasanya menyenangkan melihat Bram mencemaskanku. Aku masih berarti baginya.
"Maksudku, apa kalian bertengkar?" Ia meralat pertanyaan.
"Sedikit," jawabku sambil mulai mengiris steik di atas piring. "Aku dan mama sudah biasa bertengkar, kamu tahu itu, kan?"
Bram tak merespon ucapanku dan melanjutkan mengiris steiknya.
"Bagaimana denganmu? Apa semua baik-baik saja?" Aku tahu Bram harus menyembunyikan hubungan kami dari wanita itu, jadi sesekali aku bertanya.
"Ya. Tidak ada masalah," jawabnya tanpa menatapku.
Oh. Aku bergumam dalam hati.
"Dia terlalu sibuk dengan urusannya sendiri," ujar Bram sambil mengunyah makanannya.
Laki-laki itu pernah bercerita tentang istrinya padaku di awal-awal perkenalan kami. Wanita itu adalah ketua arisan sosialita dan ia juga seorang instruktur senam. Jadwalnya padat sehingga tak memiliki banyak waktu untuk mengurus rumah dan keluarga. Bram terlihat kesepian kala itu.
"Apa steiknya enak?" tanya Bram membuyarkan lamunanku tentang istrinya.
"Lumayan." Meski restoran steik itu bukan restoran mewah, tapi menurutku makanan di sana lumayan enak. Pengunjung di tempat itu juga dari kalangan menengah ke bawah. Membuatku merasa cukup nyaman. Tidak akan ada yang mengenali aku maupun Bram di sana.
"Kalau begitu kita bisa makan lagi di sini kapan-kapan," usul Bram dan langsung kusambut dengan anggukan.
"Ya," sahutku senang.
"Apa kamu mau pergi setelah ini?"
"Kenapa? Apa kamu tidak sibuk hari ini?" Dengan melihat rona cerah di wajah Bram, aku bisa menebak apa yang sedang dipikirkannya.
"Ya. Kita bisa jalan-jalan atau nonton. Terserah kamu," tawarnya dengan seulas senyum menghias wajah.
"Benarkah?" sambutku dengan gembira. "Bagaimana kalau kita nonton?"
"Boleh."
"Baiklah. Aku akan segera menghabiskan makananku sekarang," ucapku bersemangat. Aku tak sabar ingin segera pergi ke bioskop bersama Bram.
"Pelan-pelan makannya, Talisa."
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 90 Episodes
Comments
Sulaiman Efendy
ITU BKN ALASAN LO UNTUK BRSELINGKUH DN BRMAIN API..
2024-04-13
1
Sulaiman Efendy
ITU BKN ALASAN LO UNTUK BRSELINGKUH DN BRMAIN API..
2024-04-13
1
Anonymous
jangan-jangan.....
2020-11-02
1