#19

Ponselku masih bergeming di atas meja. Tak ada panggilan atau pemberitahuan yang membuatnya bergetar. Bahkan sejak kemarin tak ada satupun panggilan atau pesan dari Bram untukku. Dan sejak tadi aku terus memelototi benda itu seperti orang tidak waras! Oh, Tuhan... kenapa tiba-tiba perasaanku tak keruan seperti ini? Seakan-akan Bram sengaja mendiamkan aku dan membuatku gelisah. Setidaknya ia bisa menanyakan kabar atau sekadar menyapa agar aku tak merasa cemas. Apa jangan-jangan ia terlalu sibuk sehingga tak bisa mencuri waktu untuk memainkan ponselnya?

Nomor ponsel milik Bram yang biasa kami gunakan untuk berkomunikasi secara pribadi tidak aktif saat aku mencoba untuk menghubungi laki-laki itu. Sementara nomor satunya bernasib serupa. Apakah Bram sudah memblokirnya setelah perselingkuhan kami terungkap oleh istrinya?

Agh!

Tapi, berapa lama lagi aku harus diam dan menunggu? Aku bisa mati penasaran jika harus menunggu lebih lama lagi. Aku harus mencari tahu kabar Bram dan kelanjutan hubungan kami, batinku seraya mengangkat tubuh dari atas kursi dan menyambar tas serta ponselku. Jika mereka memutuskan untuk bercerai, mungkin itu akan jauh lebih baik bagiku. Namun, jika Bram memilih untuk mempertahankan rumah tangga mereka, maka bisa dipastikan aku akan hancur.

"Nona mau pergi?" Dini yang berdiri tak jauh dari pintu butik menebarkan tatapan heran padaku. "Bukannya Nona sedang menunggu Nyonya Penny?"

Nyonya Penny atau siapapun itu, aku tidak peduli. Aku harus bertemu dengan Bram dan memastikan jika hubungan kami baik-baik saja. Aku memang sedikit khawatir dengan ancaman wanita itu, tapi aku lebih khawatir jika harus kehilangan Bram.

"Kamu mau pergi?"

Suara yang akhir-akhir ini kerap menyapa telingaku, terdengar menghardik. Tadi aku terlalu bersemangat dan terburu-buru ingin segera pergi sehingga melupakan satu manusia itu. Jathayu. Laki-laki itu menghadang langkahku beberapa meter di luar butik.

"Jangan menghalangiku," ucapku penuh penekanan.

"Apa kamu ingin menemui laki-laki itu?" Jathayu seperti bisa membaca pikiranku. Atau gesturku terlalu mencurigakan untuknya? Tidak. Setiap gerak gerikku harus selalu dalam pengawasannya.

"Aku ada urusan mendadak. Biarkan aku pergi."

Jathayu mencekal lenganku sebelum mengatakan, "Jangan pergi."

Kejadian ini sama persis dengan peristiwa beberapa hari lalu. Saat aku nekad ingin melarikan diri untuk bertemu dengan Bram.

"Sekali ini saja, biarkan aku pergi," pintaku penuh harap.

"Nyonya sudah menyuruhku untuk menjauhkanmu dari laki-laki itu, Nona Talisa. Apa yang dilakukan mamamu adalah demi kebaikanmu. Dia tidak ingin kamu terluka."

"Aku akan lebih terluka kalau tidak bisa pergi sekarang, jadi lepaskan," ucapku dengan menahan geram.

"Tidak," tegas Jathayu. "Aku tidak akan membiarkanmu pergi."

"Kubilang lepaskan!" Aku tidak bisa menahan diri untuk tidak berteriak kali ini.

"Jangan berteriak padaku, Nona." Laki-laki itu menggeram marah mendengar teriakanku. "Sebaiknya kamu kembali ke dalam kalau tidak ingin kuseret paksa."

Oh. Ia membuatku melongo. Selain Bik Inah, orang kedua yang menurutku kasar adalah dirinya. Bahkan ia jauh lebih kasar dari Bik Inah.

"Apa kamu sedang mengancamku?" Aku balas menatap ke dalam sepasang mata elangnya yang sedari tadi mengarah ke wajahku.

"Ya, aku sedang mengancammu," balasnya tanpa rasa gentar sedikitpun.

"Apa mama memberimu hak untuk mengancamku seperti ini?"

"Ya. Mamamu menyuruhku untuk menjauhkanmu dari laki-laki itu meski harus memakai cara kekerasan sekalipun. Apa kamu sudah jelas sekarang?"

Jadi seperti itu? Mama rela melakukan apa saja untuk menjauhkanku dari Bram, meski harus menggunakan cara kekerasan sekalipun. Itu berarti mama tidak segan untuk menyakiti putrinya sendiri.

"Aku benci kalian berdua!"

"Aku tidak butuh kamu benci atau suka padaku. Aku hanya menjalankan tugas yang diberikan Nyonya." Laki-laki itu masih bisa membalas ucapanku.

"Lepaskan aku!"

"Aku tidak akan melepaskanmu sebelum kamu berjanji untuk tidak menemui laki-laki itu atau kamu akan menyesal, Nona."

Aku melenguh keras-keras. Sekarang aku tahu manfaat olahraga fisik dan ilmu bela diri. Kalau saja aku sedikit punya otot di kedua lenganku, mungkin aku bisa melepaskan diri dari laki-laki itu dengan mudah.

"Hei, Talisa!"

Ini adalah waktu yang tidak tepat. Di saat Jathayu masih bertahan untuk mencekal lenganku erat-erat dan membuatku tak berkutik, tiba-tiba Nyonya Penny memanggil namaku dengan suara cukup keras. Wanita itu baru saja turun dari mobilnya dan memaksaku untuk menoleh ke arahnya.

"Maaf, kalau aku mengganggu kalian," ucap wanita itu setelah sampai di depan kami. Ia tak terlihat canggung sama sekali. Bahkan senyum tipis sempat terkembang di bibirnya saat menatap Jathayu dan aku. "Apa kita bisa bicara sebentar?" Nyonya Penny menatapku sekilas lalu melirik tangan Jathayu yang masih mencekal lenganku.

"Tentu, Nyonya," sahutku sambil menepis tangan Jathayu dengan paksa. "Mari," ajakku.

Aku mengajak Nyonya Penny untuk masuk ke dalam butik sesaat kemudian.

"Maaf, Nyonya. Gaun pesanan Anda belum selesai. Mungkin besok... "

"Tidak apa-apa, Talisa." Wanita itu menepuk pundakku pelan. "Sebenarnya aku sudah tidak sabar ingin mencobanya, tapi aku masih bisa menunggu," kekehnya. Ia berhasil membuatku bernapas lega. Bahkan aku bisa mengembangkan senyum pasca kejadian menyebalkan tadi.

"Maafkan kami, Nyonya... "

"Kenapa mesti minta maaf segala? Aku tahu tukang jahit juga perlu istirahat," tandasnya. "Oh ya, aku sengaja mampir untuk memberikanmu ini." Nyonya Penny mengeluarkan sebuah amplop berwarna putih dengan selembar pita emas dari dalam tasnya lalu mengulurkannya ke hadapanku.

"Apa ini?" Aku menerima benda itu dari tangan Nyonya Penny.

"Itu undangan ulang tahun suamiku. Kuharap kamu bisa datang, Talisa."

"Oh, saya akan usahakan, Nyonya."

"Ajak dia sekalian," bisik Nyonya Penny seraya melirik keluar butik.

Hah? Aku tertegun, mencoba mencerna maksud kalimat wanita itu.

"Kalian akan berbaikan secepatnya, kan?" Nyonya Penny mengerling, sedang bibirnya mengukir senyum misterius. Aku benar-benar tak bisa membaca ekspresi wajah wanita itu. Kurasa ia salah paham dengan apa yang ia lihat tadi. "Dia pasti sangat mencintaimu, makanya dia marah seperti itu," ujarnya lagi.

"Kami tadi hanya... "

Kenapa aku harus menjelaskan situasi tadi pada Nyonya Penny?

"Cepatlah berbaikan dengannya," tukas Nyonya Penny seperti tak ingin memberiku kesempatan untuk bicara.

"Ya, Nyonya." Tanpa sadar aku mengiyakan ucapan wanita itu. Kenapa aku bisa melakukan kebodohan seperti ini?

"Maaf, Talisa. Aku tidak bisa lama-lama di sini. Aku harus pergi ke suatu tempat," pamit wanita itu terlihat buru-buru. Ia pasti sibuk mempersiapkan pesta kebun untuk suaminya minggu depan.

"Baiklah. Kalau gaunnya sudah selesai, saya akan menghubungi Nyonya."

"Kalau begitu, aku pergi dulu."

"Hati-hati di jalan, Nyonya!"

Wanita itu sudah salah paham padaku dan Jathayu. Tapi, bukan hanya Nyonya Penny yang akan salah paham jika melihat kejadian tadi. Semua orang akan berpikiran serupa dengannya.

Semua ini gara-gara Jathayu!

***

Terpopuler

Comments

Sulaiman Efendy

Sulaiman Efendy

GOOD THAYU, LO HRS PRTAHANKN KETEGASAN LO SPRTI JET LI DI FILM BODYGUARD FROM BEIJING..

2024-04-13

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!