#04

"Maaf, Nona. Penjualan kemarin... "

"Sangat tidak bagus." Aku menyambung kalimat yang diluncurkan Dini dengan segera setelah melihat hasil laporan penjualan kemarin. Aku menghempaskan map yang beberapa menit lalu ia sodorkan ke atas meja.

Gadis berusia 21 tahun itu menundukkan wajah. Dari gestur tubuhnya aku bisa membaca jika ia sedang ketakutan. Lebih tepatnya Dini takut terhadapku.

"Tidak apa-apa, Din." Aku mengurai senyum sehangat mungkin. Suasana hatiku sedang bagus saat ini karena setengah hari kemarin kuhabiskan bersama Bram. Usai makan siang, kami pergi ke bioskop, lalu sebelum pulang kami mampir di warung tenda pinggir jalan untuk mencicipi sate ayam. Tempat makan seperti itu tidak terlalu mencolok dan lumayan aman dari penglihatan orang-orang yang kemungkinan mengenalku atau Bram. Karena lingkup pergaulan Bram dari kalangan atas, sangat kecil kemungkinannya ia akan bertemu dengan teman atau staf kantornya di warung tenda pinggir jalan seperti itu.

Dini mengangkat dagunya sedikit lalu menatap ke arahku dengan ekspresi ragu. Hasil penjualan butik kemarin jauh dari target, tapi tidak apa-apa. Walaupun hanya terjual beberapa potong pakaian, masih ada sedikit pemasukan.

"Kamu ganti saja pakaian di manekin dengan yang baru," suruhku sejurus kemudian. Seharusnya memang seperti itu, pakaian yang dipajang pada manekin harus diganti setiap hari demi menarik minat pelanggan.

"Baik, Nona." Gadis itu menganggukkan kepala sebagai tanda hormat dan segera pergi untuk melaksanakan perintahku.

Astaga. Tiba-tiba saja aku merindukan Bram. Padahal kami sudah saling melepas rindu kemarin. Apa yang sedang dilakukannya? Apa ia sibuk hari ini?

Ponselku nihil notifikasi dari nomor Bram. Hanya ada beberapa chat dari pelanggan yang bertanya tentang pakaian pesanan mereka. Apa Bram bisa makan siang denganku hari ini?

Aku tidak bisa serta merta menekan nomor Bram kapan saja aku mau. Bram sibuk dan aku tidak pernah tahu apa yang ia lakukan, serta siapa saja yang berada di sekitarnya. Laki-laki itu harus menyimpan rahasia kami rapat-rapat sama seperti ia harus menyembunyikan aku dari sepengetahuan istri dan anak-anaknya. Hubungan cinta kami merupakan skandal besar untuknya.

Sejujurnya aku tidak suka dengan semua ini. Aku tak ingin bersembunyi selamanya dan harus bertemu dengan Bram diam-diam. Aku ingin memiliki laki-laki itu seutuhnya meski rasanya terlalu sulit. Entah sampai kapan hubungan ini akan bertahan.

Mama benar. Aku tidak bisa selamanya menjalani hubungan ini, tapi aku selalu mengingkari kenyataan yang ada. Aku terlalu takut untuk membayangkan bagian terburuk dari apa yang akan kuhadapi suatu saat nanti.

"Talisa! Kebetulan kamu ada di sini!"

Suara Nyonya Penny membangunkanku dari lamunan. Wanita itu sudah berdiri di depan meja kerjaku ketika aku tersadar dari pikiran tentang Bram dan masa depan yang entah akan seperti apa. Aku tidak siap dengan masa depan yang menyakitkan.

"Oh, Nyonya Penny." Aku bangun dari kursi untuk menyambut wanita berparas cantik tersebut. Ia adalah teman yang direkomendasikan mama dan sekarang telah menjadi pelanggan tetap butik. Wanita itu adalah istri seorang pejabat pemerintah, tapi tak pernah sungkan belanja di butik kecil milikku. "Apa ada yang bisa saya bantu?" tawarku seraya berjalan ke dekatnya.

"Aku ingin memesan gaun, bisa?" Ia tersenyum ramah seperti biasa.

"Tentu. Silakan duduk, Nyonya," suruhku dengan sopan. Pelanggan adalah raja. Setelah wanita itu duduk dengan nyaman, aku memberi isyarat pada Dini agar membawakan minuman untuk Nyonya Penny. "Gaun seperti apa yang Anda inginkan, Nyonya?"

"Uhm... " Nyonya Penny terlihat berpikir. "Aku akan mengadakan pesta kebun untuk merayakan hari ulang tahun suamiku bulan depan. Aku ingin sesuatu yang sederhana, tapi anggun. Dan tidak membosankan." Tangan wanita itu bergerak-gerak demi menggambarkan sesuatu yang melintas di dalam kepalanya.

"Bagaimana dengan gaun putih polos tanpa lengan dengan sedikit ornamen pada bagian bawah rok?" Aku memberi saran.

"Aku sudah terlalu tua untuk mengenakan pakaian tanpa lengan, Talisa." Wanita itu sedikit menekuk wajah.

"Tapi kulit Anda masih terlihat kencang, Nyonya. Tidak ada yang perlu Anda khawatirkan," ucapku. Nyonya Penny adalah teman mama dalam sebuah perkumpulan senam. Keduanya juga sering pergi melakukan perawatan kulit berdua, jadi apa yang mesti ia cemaskan? Deretan angka tak terlalu berpengaruh pada kecantikan fisik mereka berdua. Apalagi ditunjang dengan barang-barang bermerk keluaran luar negeri.

"Jangan terlalu memujiku," ucap wanita itu dengan tangan mengibas persis di depan wajah. Bibirnya terlihat melengkungkan seulas senyum bangga. Ia memang pantas dipuji karena tak semua wanita di dunia ini bisa memiliki apa yang dimiliki Nyonya Penny. Meski tak bisa membeli kebahagiaan, nyatanya uang bisa menunda penuaan dini. "Kamu terlalu berlebihan, Talisa. Aku tidak percaya diri jika harus memakai gaun seperti itu."

Aku menyembunyikan senyum di balik bibir.

"Bagaimana dengan lengan pendek transparan? Itu akan membuat Anda merasa lebih percaya diri, Nyonya," ucapku meralat hasil rancangan di dalam kepalaku. Aku sudah bisa membayangkan setengah gambar desain gaun itu di dalam benakku dan jika Nyonya Penny setuju, aku tinggal menuangkannya di atas kertas gambar.

"Boleh. Kalau begitu kamu buat saja gambar desainnya." Nyonya Penny mengangguk setuju.

"Apa pesta itu akan dihadiri banyak undangan?" tanyaku seraya meraih selembar kertas dan pensil. Aku akan menggambarkan desain mentahnya terlebih dulu.

"Tidak. Hanya keluarga besar dan beberapa teman. Aku juga akan mengundang kamu dan mamamu. Kuharap kalian punya waktu... "

"Terima kasih. Semoga kami bisa datang." Aku meliriknya sebentar di sela-sela menggoreskan ujung pensil ke atas kertas gambar.

"Kalau saja aku punya anak laki-laki, aku ingin sekali kamu menjadi menantuku, Talisa. Sayangnya aku tidak punya," ucap wanita itu membuat tanganku berhenti untuk menggambar.

Aku menatapnya dan mengulas senyum geli.

"Nyonya ada-ada saja," ucapku.

"Apa kamu sudah punya pacar? Kalau belum, aku bisa mencarikanmu pasangan. Kerabat suamiku banyak, siapa tahu ada yang cocok," ujar Nyonya Penny dengan berbisik. Seolah percakapan ini adalah rahasia di antara kami berdua. Mungkin juga ia ingin menjaga perasaanku.

"Sayang sekali, Nyonya. Aku sudah punya pacar." Aku balas berbisik padanya. Meski begitu, para karyawanku tidak akan berani untuk mencuri dengar apa yang kami bicarakan.

"Oh... sayang sekali." Nyonya Penny tampak sedikit menyesal. "Laki-laki itu sangat beruntung mendapatkan gadis seperti kamu. Aku sudah tak sabar menunggu undangan pernikahanmu disebar," ucapnya sambil tergelak senang.

Apa mungkin? batinku. Aku tak bisa melepaskan tawa seperti yang wanita itu lakukan. Menikah dengan Bram adalah hal paling mustahil, tapi aku tak pernah berhenti berharap agar impian itu bisa terwujud suatu hari nanti.

"Apa Nyonya suka?" Aku menyodorkan gambar desain yang kubuat selama beberapa menit berbincang dengannya. "Aku akan memperbaiki detailnya jika Anda setuju."

Nyonya Penny terdiam mencermati hasil gambarku. Keningnya mengerut tajam.

"Baiklah. Aku setuju," ucap Nyonya Penny sejurus kemudian.

***

Terpopuler

Comments

Sulaiman Efendy

Sulaiman Efendy

PACAR LO SUAMI ORG

2024-04-13

1

Sulaiman Efendy

Sulaiman Efendy

CURIGA PENNY ISTRI BRAM

2024-04-13

1

linanda anggen

linanda anggen

apa mungkin nyonya penny istrinya pak Bram?

2020-11-01

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!