Mereka bilang aku menyukai Bram karena aku haus kasih sayang dari sosok seorang ayah yang tak pernah kumiliki sejak usia dua tahun. Mereka juga bilang kalau perasaan itu hanyalah obsesi belaka. Memangnya apa yang mereka tahu tentang diriku? Apa mereka bisa merasakan apa yang kurasakan? Mereka tidak bisa membaca pikiranku dan hanya menyimpulkan dari apa yang mereka lihat. Dan mereka mempercayai kesimpulan yang mereka buat sendiri.
Kenapa aku harus menjalani hidup seperti ini? Kenapa hidupku berbeda dari orang lain?
Tetes-tetes air hujan yang mengalir di atas permukaan kaca jendela di samping tubuhku seperti sedang mengasihaniku sekarang. Tadi pagi sangat cerah. Siang hari pun terasa panas menyengat kulit. Namun, tiba-tiba saja sore ini hujan turun tanpa pemberitahuan. Awan kelabu berbondong-bondong memenuhi langit. Tak tahu mereka datang dari mana. Sesekali guntur terdengar dari kejauhan didahului kilat yang menyambar di sudut langit.
Wanita itu telah pergi beberapa jam yang lalu. Namun, segenap perkataannya masih terngiang dengan jelas di telingaku. Wajah, penampilan, suara, senyum getir yang menghias bibir berlapis lipstik tebal itu, dan keseluruhan gerak tubuhnya, juga masih kuingat dengan jelas di dalam benakku.
Aku tidak bisa mengelak dari kenyataan kalau aku telah mencuri perhatian Bram darinya, tapi sungguh aku belum siap menerima penghinaan seperti ini. Apa yang akan wanita itu lakukan jika aku tidak mengakhiri hubunganku dengan Bram?
Wanita itu bukan orang biasa. Dengan seluruh kekayaan yang dimilikinya, ia bisa melakukan apapun. Termasuk melakukan tindakan kriminal sekalipun tanpa mengotori tangannya secara langsung. Ia bisa menyewa seorang pembunuh bayaran atau seorang residivis untuk melukaiku.
"Kita sudah sampai."
Suara Jathayu menyadarkanku dari lamunan sepanjang perjalanan pulang. Mobil yang ia kemudikan telah berhenti tepat di depan teras rumah.
Aku buru-buru membuka pintu mobil dan segera turun ketika kesadaranku telah sepenuhnya pulih.
Aku tidak pernah sekalipun takut terluka atau sakit secara fisik. Satu-satunya hal yang kutakutkan saat ini adalah kehilangan laki-laki yang kucintai. Wanita itu bilang aku bisa mencari laki-laki yang pantas untukku, tapi aku tidak bisa memalingkan wajahku dari Bram. Mungkin orang lain menganggap aku tidak waras, tapi kenyataannya itulah yang kurasakan. Bagiku cinta adalah tentang rasa nyaman. Dan aku merasakan hatiku menghangat ketika bersama Bram.
Aku menjatuhkan tubuh di atas tempat tidur begitu sampai di kamar. Tas dan ponsel kuletakkan di atas nakas, sementara stiletto kesayanganku masih melekat membungkus kedua kakiku. Andai saja Gina ada di sini sekarang, gadis itu pasti akan dengan senang hati membukakan stiletto itu untukku. Namun, kamarku sepi. Bahkan tak ada yang menyalakan lampu di ruangan ini. Bik Inah terlalu sibuk di dapur dan mengurus rumah. Pekerjaannya bertumpuk sejak Gina mengambil cuti. Wanita itu juga akan pulang ke rumahnya sebentar lagi.
Sampai kapan aku akan menjalani hidup seperti ini? Aku bukan mama yang sanggup menjalani hari-harinya dengan menenggelamkan diri dalam lautan pekerjaan. Wanita itu akan merawat luka sepanjang hidupnya. Ia telah menutup pintu hatinya rapat-rapat dan tak ingin membukanya untuk siapapun. Namun, aku berbeda. Aku tak bisa kehilangan Bram. Aku tak bisa hidup tanpa laki-laki itu.
"Apa lampunya mati?"
Suara itu lagi, kesalku. Sejak tadi laki-laki itu terus menerus mengganggu lamunanku. Harusnya ia tidak sembarangan masuk ke dalam kamarku dan menekan saklar lampu tanpa seizinku. Aku jelas-jelas tidak mendengar suara apapun sebelum Jathayu menerobos masuk ke dalam kamar. Ah, agaknya tadi aku lupa membiarkan pintu kamarku terbuka.
"Lampunya bisa menyala... " Ia seperti berbicara pada diri sendiri. "Apa kamu tidur?" Lalu ia bertanya padaku.
"Pergilah. Aku lelah."
"Aku hanya ingin memberitahu kalau Bik Inah sudah pulang. Tapi sebelum pergi dia menyiapkan makan malam untukmu. Turunlah sebelum makanannya dingin."
"Aku tidak lapar. Pergilah."
"Kamu harus makan kalau tidak... "
"Kubilang pergilah!" Aku bangun dari bantal dan terpaksa meneriaki laki-laki itu. Kukira ucapanku sudah jelas, aku memintanya untuk pergi, tapi seolah-olah ia ingin membuatku naik darah.
"Wanita tidak pantas berteriak seperti itu."
Oh. Aku melongo mendengar balasan Jathayu.
"Aku juga tidak pantas untuk bahagia, benar, kan?"
Laki-laki itu bergeming menatapku. Sorot matanya tajam seolah ingin membunuhku. Ekspresi wajahnya tak berubah, tak bisa kubaca.
"Haruskah aku menyeretmu turun?" tanya Jathayu pelan, tapi bahasa yang ia gunakan terdengar sangat kasar. Jika Bik Inah yang berkata seperti itu aku tidak akan heran. Aku kerap mendengar wanita itu bicara sesuka hatinya. "Sebaiknya kamu turun sekarang dan makanlah. Kamu juga tidak mau sakit maag-mu kambuh, kan? Di luar masih hujan dan aku malas untuk pergi ke rumah sakit di saat seperti ini."
Apa?
Aku terperangah mendengarnya berani mengucapkan kalimat itu di depanku. Memang bukan aku yang membayar jasanya, tapi seharusnya ia menaruh sedikit rasa hormat terhadapku.
"Aku sudah bilang kan, aku tidak lapar... "
Jathayu tak merespon ucapanku. Laki-laki itu malah mendekat ke tempat tidurku.
"Kamu tahu, Bik Inah bekerja seharian membuatkan makanan itu untukmu? Dia mengiris sayuran, meracik bumbu-bumbu agar masakannya terasa sedap. Apa kamu tidak pernah berpikir untuk sedikit menghargai kerja kerasnya? Dia tidak butuh pujian masakannya enak atau hambar. Tapi dia akan sangat senang kalau kamu makan masakannya."
Astaga! Aku melongo mendengar ocehan Jathayu. Ia membuatku tertawa dalam hati.
"Apa kamu tidak waras, hah?" sindirku nyinyir. Laki-laki tanpa ekspresi itu baru saja menceramahiku seolah-olah ia tahu segalanya tentang Bik Inah dan masakannya.
"Aku hanya ingin melindungimu dari kelaparan, Nona Talisa. Mungkin sekarang kamu merasa tidak lapar, tapi nanti kamu akan kelaparan jika melewatkan makan malam. Aku sudah bilang kan, kalau di luar masih hujan... "
"Dan kamu malas untuk pergi ke rumah sakit," sahutku cepat, menyambung perkataannya yang masih kuingat.
"Jadi, apa kamu mau turun sendiri atau harus kuseret?" tanya Jathayu dengan nada kalem. Tapi kalimatnya terdengar kasar.
Aku mengembuskan napas jengah. Entah di mana mama memungut pengawal pribadi lancang itu, batinku.
"Baiklah, aku akan turun setelah ganti pakaian."
"Aku akan menunggu di depan pintu."
"Kamu takut aku tidak akan turun?" tanyaku sembari memicing ke arahnya. Aku mengendus sebuah kecurigaan dari kalimatnya.
"Ya, tentu."
Ia terlalu jujur. Dan aku membencinya.
"Aku akan turun. Aku janji," ucapku sejurus kemudian. Aku tidak mau diseret olehnya karena mengingkari janji. Orang yang bisa bicara kasar seperti dirinya, kemungkinan bisa melakukan hal yang sama kasarnya.
"Baiklah. Aku memberimu waktu lima menit."
Lima menit?
Apa-apaan ini? Ia ingin melakukan penawaran denganku?
"Lima belas menit," tawarku sebelum kaki Jathayu mencapai pintu.
"Sepuluh menit."
Aku tak sempat mengajukan penawaran kembali karena laki-laki itu sudah keburu menutup pintu kamarku.
Benar-benar tak bisa dipercaya!
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 90 Episodes
Comments
Sulaiman Efendy
GOOD THAYU, WANITA SPRTI LISA PRCUMA DI LEMBUTIN, GK ADA HATI & PRASAAN DIA, MKANYA HRS DIKASARI..
2024-04-13
0
Sulaiman Efendy
LO ITU YG TDK WARAS YG MNCINTAI PRIA TUA, UDH ITU SUAMI ORG LAGI..
2024-04-13
1
Sulaiman Efendy
LO PANTAS DIHINA.. SANGAT2 PANTAS, KLAKUAN LO LBH MURAH & LBH HINA DARI JALANG..
2024-04-13
1