Cafe bambu yang letaknya persis di seberang butik itu terlihat sepi. Hanya ada dua meja yang terisi pengunjung. Jujur ini adalah kali pertama aku mengunjungi tempat itu sejak cafe dibuka setahun lalu. Aku tidak suka kopi. Itulah alasan terbesarku tidak tertarik untuk berkunjung ke cafe atau tempat sejenis.
Cafe bambu didesain sederhana, tapi nyaman. Sesuai namanya, tempat itu dilengkapi dengan perabotan berbahan bambu. Mulai dari meja, kursi, sampai hiasan dinding, didominasi dari bahan bambu. Pada bagian sudut ruangan juga terdapat pohon bambu yang terbuat dari plastik untuk melengkapi konsep cafe mereka.
Jarak dari cafe dan butik hanya terpisah belasan meter, tapi perlu usaha untuk meyakinkan Jathayu agar laki-laki itu membiarkanku pergi tanpa dibebani rasa curiga. Lagipula seseorang yang mengajakku bicara bukanlah Bram atau laki-laki lain. Aku juga tidak punya niat untuk melarikan diri seperti beberapa hari yang lalu.
Wanita asing itu terlihat cantik dengan setelan gaun berwarna merah muda. Desainnya sederhana, tapi anggun. Aku tahu harga benda itu cukup mahal. Apalagi sepasang giwang yang menempel di kedua ujung telinganya. Kalung, cincin, tas, dan sepatu yang melengkapi penampilan wanita itu sudah cukup menunjukkan jika ia bukan orang biasa.
Wanita itu muncul tiba-tiba di butik beberapa saat lalu dan ia ingin mengajakku bicara secara pribadi. Cafe bambu adalah pilihannya karena tempat itu yang paling tepat untuk mengobrol. Lagipula dekat dengan butik.
Selama menunggu minuman kami dibuat, wanita itu memilih diam sambil sesekali menatapku di sela-sela kesibukannya memainkan ponsel. Sepertinya ia memang sengaja menunggu sampai dua gelas moccachino disajikan di hadapan kami oleh seorang pramusaji yang menggunakan selembar apron hijau tua.
Setelah pramusaji itu berlalu, barulah ia menyimpan kembali ponselnya di dalam sebuah tas kecil bermerk luar negeri.
"Sampai sejauh mana hubunganmu dengan suamiku?" tanya wanita itu sambil menatapku. Ia sudah memperhatikan keseluruhan penampilanku tadi, tapi kali ini tatapan matanya sedikit berbeda.
Aku tertegun. Pertanyaannya menjurus pada sesuatu yang sangat kuketahui, tapi sampai detik ini aku belum tahu identitas wanita itu. Mungkinkah ia...
"Aku istri Bram," tandas wanita itu memperkenalkan diri. Suaranya tegas dan gesturnya terlihat percaya diri.
Istri Bram?
Mendengar pengakuannya membuat jantungku seketika berdetak lebih keras dari sebelumnya. Tubuhku ikut menegang, kaku. Rasa takut menyergapku tiba-tiba.
"Apa Bram tidak memberitahumu tentangku?" Wanita itu bersuara kembali. Nada bicaranya cenderung tenang, bahkan seulas senyum terselip di bibirnya. "Kalau dia memberitahumu tentangku, pasti kamu akan terkejut saat melihatku pertama kali. Tapi kamu sama sekali tidak mengenalku tadi." Dengan gerakan anggun, istri Bram itu mengangkat cangkir lalu menyesap isinya perlahan. Wanita itu seperti menyerap habis segenap harga diriku.
Beberapa waktu lalu, aku merasa sangat bahagia. Rasanya seperti melayang di angkasa setelah menerima kejutan manis dari Bram. Namun, kemunculan wanita itu seketika membuatku jatuh terjun bebas ke jurang paling dalam.
"Sayang sekali," Wanita itu kembali berbicara. Tanpa sadar aku membiarkannya mendominasi pembicaraan tanpa sekalipun menyela. Aku tak punya alasan untuk membela diri. Kharisma wanita itu terlalu kuat untuk kutandingi. Meski usianya sudah tidak muda lagi, tapi sisa-sisa kecantikan masih tergambar jelas di wajahnya. Kulitnya terlihat masih kencang dan kerutan halus di bawah matanya tersamarkan oleh riasan. Tubuhnya tampak bugar dan harus kuakui wanita itu masih terlihat seksi. "wanita muda dan secantik dirimu harus jatuh cinta pada laki-laki seperti Bram. Sebenarnya apa yang membuatmu menyukai Bram? Apa kamu menginginkan uangnya? Seberapa banyak yang kamu inginkan darinya?" lanjut wanita itu.
"Anda salah jika menilaiku seperti itu, Nyonya," sahutku dengan suara tegas. Aku tidak bisa diam dan hanya mendengarnya bicara hal-hal yang tidak sesuai dengan kenyataan. Sebisa mungkin aku menghalau rasa takut dari dalam diriku. Setidaknya aku tidak bisa menunjukkan kelemahanku di depan istri Bram.
"Lalu apa yang benar?" pancing wanita itu masih dengan suara rendah. Diam-diam aku mengagumi pengendalian emosi wanita itu. "Kamu mencintainya dengan tulus tanpa mengharapkan sepeser pun darinya, begitukah? Siapa yang percaya kalau kamu tidak pernah mendapatkan apapun dari Bram?"
"Aku tidak pernah meminta apapun darinya." Kali ini aku memberanikan diri untuk membela diri. Meski seluruh dunia tahu posisiku di pihak yang salah, tapi aku mencintai Bram sepenuh hatiku. Bahkan aku tidak pernah meminta Bram agar menceraikan wanita itu.
"Mungkin kamu tidak pernah meminta apapun darinya. Tapi apa kamu sadar, kamu telah mencuri Bram dariku, Nona Talisa." Wanita itu menggeram. Rasa marah tampak berkobar di dalam matanya. Sementara kedua tangan wanita itu mengepal di atas meja.
"Jika kamu menjaga Bram baik-baik, dia tidak akan pernah berpaling darimu, Nyonya." Aku membalas perkataannya. Dalam sebuah perselingkuhan, kesalahan tidak selalu milik pihak ketiga, bukan?
Wanita itu mengukir senyum getir di bibirnya.
"Apa kamu merasa tindakanmu benar sampai kamu berani berkata seperti itu?"
Aku bergeming, tak berkutik. Istri Bram terlalu pandai berdebat. Ia tak perlu mengumbar emosi, tapi perkataannya benar-benar mencabik hati dan perasaanku.
"Sebenarnya apa yang kamu lihat dari Bram?" tanya wanita itu seakan tahu aku tidak akan menjawab pertanyaannya. "Dia sudah beristri dan mempunyai dua orang putri. Hidup kami sempurna sebelum kamu datang dan mengusik kebahagiaan rumah tangga kami. Kenapa kamu tidak mencari seorang laki-laki yang pantas untukmu dan bukan Bram? Dia diciptakan bukan untukmu. Mengertilah... "
"Bram mencintaiku," potongku dengan cepat. "Lebih tepatnya kami saling mencintai. Aku tidak peduli dengan semua kekurangan yang ada dalam diri Bram... "
"Itu bukan cinta." Wanita itu balas menukas. "Cinta tidak pernah seegois itu. Perasaan yang kamu rasakan pada Bram adalah sebuah ambisi. Kamu mengenyampingkan segalanya demi mendapatkan perhatian Bram. Kamu tidak pernah memikirkan perasaan orang-orang yang mencintai Bram."
"Bram bahagia saat bersamaku."
"Kebahagiaan macam apa yang kalian rasakan saat bersama?" Nada suara wanita itu mulai merangkak naik. "Itu bukanlah kebahagiaan yang sebenarnya, Nona. Dengar... sebaiknya mulai sekarang kamu menjauhi suamiku atau kamu akan menyesal telah mengabaikan perkataanku."
"Apa kamu sedang mengancamku?"
"Kamu sudah berani mengusik apa yang menjadi milikku, jadi kamu harus bersiap menerima risiko atas apa yang kamu lakukan. Camkan itu baik-baik." Wanita itu bergegas bangun dari kursi bambu lantas melangkah dengan langkah tergesa. Meninggalkan aku yang sedang tertegun merenungkan semua perkataannya.
Aku sadar yang kulakukan dengan Bram adalah sebuah perselingkuhan dan hal semacam ini akan menimbulkan masalah suatu hari nanti, tapi selama ini aku selalu menutup mataku. Aku terlalu takut untuk membayangkan perpisahan dengan Bram. Aku terlalu mencintai laki-laki itu dan tak ingin berpisah darinya.
Namun, dari mana wanita itu tahu identitasku?
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 90 Episodes
Comments
Sulaiman Efendy
TERNYATA BKN SI PENNY ISTRI BRAM...
2024-04-13
1
mom fausta
hati seorang istri itu lebih peka talisa....masalah identitas gampang di cari
2021-08-06
1