#05

"... dia hanya terobsesi dengan ayahnya, itu saja."

"..."

"Bagaimana mungkin Talisa mencintai orang yang jauh lebih tua darinya kalau dia tidak terobsesi dengan ayahnya? Bahkan laki-laki itu lebih pantas jadi ayahnya. Bukan... itu bukan cinta."

"..."

"Baiklah. Aku akan menyuruhnya untuk menemuimu besok."

"..."

"Sampai jumpa."

Aku berjalan ke dekat tempat duduk mama setelah wanita itu mengakhiri pembicaraannya di telepon. Tadi aku sengaja tidak menyela karena ingin mendengar apa-apa saja yang ia katakan pada lawan bicaranya di telepon. Aku memilih menunggu sampai ia menuntaskan perbincangannya.

"Apa itu Dokter Sabrina?" hardikku tak bermaksud untuk mengejutkan mama. Wanita itu tampak tertegun sampai-sampai tak menyadari kehadiranku di belakang punggungnya.

"Oh... " Wanita itu terlihat gugup beberapa saat sebelum akhirnya berdeham demi menutupi keterkejutannya. Ia pasti tak menduga akan kupergoki seperti ini. "Kamu sudah pulang?" Mama pura-pura mengalihkan pandangan dan bertanya.

"Apa yang mama katakan pada Dokter Sabrina?" Aku menyeret mama untuk kembali membahas apa yang ingin kudengar darinya. Dokter Sabrina adalah seorang psikiater dan jelas-jelas aku mendengar mama menyebutkan namaku saat berbincang di telepon beberapa menit lalu. "Apa mama mengatakan padanya kalau aku tidak waras karena mencintai laki-laki yang jauh lebih tua dan lebih pantas jadi ayahku? Aku terobsesi padanya karena tidak mempunyai ayah sejak kecil, begitu?"

"Talisa... "

"Ayolah, Ma." Aku mengembuskan napas kesal. "Aku baik-baik saja. Aku sadar apa yang kulakukan. Aku sudah 25 tahun... "

"Mama tahu." Mama memotong seolah-olah ia benar-benar tahu apa yang kurasakan. "Mama tidak pernah melarangmu mencintai siapapun, tapi jangan laki-laki yang sudah beristri. Kamu hanya terobsesi dengan laki-laki yang menua karena kamu tidak pernah mendapatkan kasih sayang seorang ayah sejak kecil. Kamu merasa nyaman karena kamu menjadikan laki-laki itu sebagai pengganti sosok ayah yang tidak pernah kamu miliki. Mama mohon, sadarlah Lisa... "

"Apa?" Aku membelalakkan sepasang mata mendengar kesimpulan yang baru saja mama utarakan. Itu adalah hasil pemikiran mama sendiri dan aku pastikan semuanya tidak benar. "Mama jangan mengada-ada. Aku mencintai Bram bukan sebagai pengganti sosok ayah yang tidak pernah kumiliki," sangkalku dengan menyelipkan seulas senyum pahit di bibir.

"Mama sudah membuat janji dengan Dokter Sabrina. Temuilah dia besok," suruh mama sambil mengangkat tubuh dari atas sofa ruang tengah. Tampak jelas jika ia ingin mengakhiri percakapan ini.

"Aku tidak mau," tegasku.

"Talisa," Mama melempar tatapan marah ke arahku. "Mama tidak mau kamu menjalani hidup seperti ini selamanya."

"Kenapa? Aku bahagia dengan kehidupanku yang sekarang," tandasku.

"Bahagia katamu?" Keningnya yang mulus dan putih mengerut ketika sepasang mata wanita itu menatapku. Sorot tak percaya jelas tersirat di matanya. "Apa kamu tahu apa arti kata bahagia, hah?"

"Ya, tentu saja." Bibirku seperti tanpa kendali. Ia menjawab dengan cepat meski otakku tak mengatakan demikian. "Aku bahagia dengan Bram."

"Apa dia juga merasa bahagia denganmu?" pancing wanita itu.

Aku terpojok. Sejujurnya aku tidak tahu persis perasaan Bram saat bersamaku. Laki-laki itu terlihat bahagia, tapi di sisi lain ia juga harus menyembunyikan hubungan kami dari istrinya.

"Kebahagiaan yang kalian rasakan hanyalah kebahagiaan semu, Talisa." Mama berucap demi menyadarkan kebisuanku. "Kamu tahu, kenapa sampai sekarang dia tidak menceraikan istrinya dan menikahimu? Karena laki-laki itu masih ingin mempertahankan istrinya dan kamu hanyalah mainannya. Saat dia sudah bosan denganmu, dia akan membuang kamu dan mencari mainan yang baru. Apa kamu pernah berpikir seperti itu?"

Seluruh tubuhku terasa kaku. Aliran darahku seolah berhenti ketika memikirkan kembali ucapan mama. Bram masih menginginkan wanita itu di sisinya. Ia lebih memprioritaskan wanita itu ketimbang aku. Mungkin juga Bram akan menyingkirkanku dari kehidupannya ketika telah bosan dan mencari wanita lain. Meski aku telah merasa cukup senang dengan apa yang kumiliki sekarang, tapi semua ini hanyalah sementara. Mungkin suatu hari nanti kebahagiaan ini akan terenggut paksa begitu saja. Aku akan kehilangan Bram dan juga seluruh kebahagiaanku.

"Itu tidak benar." Bibirku bergumam lirih. Tiba-tiba kepalaku terasa berat. Aku tidak bisa memaksakan otakku untuk bekerja lebih keras. Aku ingin menyangkal semua kemungkinan buruk meski semua itu bisa terjadi cepat atau lambat. "Bram tidak seperti itu. Mama jangan menakutiku."

"Mama tidak sedang menakutimu. Mama hanya bicara hal yang mungkin bisa saja terjadi padamu."

"Lalu bagaimana dengan papa?" Aku menoleh tajam ke arah mama. Aku menemukan sebuah celah untuk menyudutkannya. "Dia meninggalkan mama demi wanita itu, bukan sebaliknya. Itulah kenyataannya."

"Apa kamu ingin menjadi seperti wanita itu dan merampas kebahagiaan orang lain? Bagaimana jika wanita itu tahu kalau kamu menjalin hubungan dengan suaminya? Lantas bagaimana penilaian orang-orang terhadap keluarga kita? Apa kamu pernah berpikir sampai sejauh itu?" Mama mendekat dan mengguncang lenganku dengan sekuat tenaga seakan-akan ingin membangunkanku dari pingsan. "Sadarkan dirimu, Talisa. Kita pernah terluka karena ditinggalkan papa. Jangan menyakiti orang lain dengan luka yang sama. Mama tidak mau kamu menyakiti siapapun. Cukup mama saja yang terluka, jangan orang lain."

Perkataan mama membuat mataku merasa terdesak oleh sesuatu dari dalam. Wajahku terasa panas dan tubuhku menegang.

"Apa aku tidak boleh bahagia?" tanyaku dengan suara gemetar. Selaput bening menutupi kedua mataku. "Saat aku berumur dua tahun, papa pergi meninggalkan kita. Dan aku tumbuh tanpa kasih sayang seorang ayah. Sementara mama sibuk bekerja sampai-sampai tidak punya waktu untukku. Aku tumbuh sendirian tanpa kalian. Aku tidak punya teman. Aku kesepian. Lalu, saat aku menemukan kebahagiaan, dengan mudahnya mama menyuruhku untuk melepaskannya. Apa itu adil untukku? Katakan, Ma. Apa itu adil untukku?!" Suaraku meninggi di penghujung kalimat. Perlahan air mata menggenang di sudut pipiku.

Mama membeku di tempatnya berdiri. Sepasang matanya nanar mengawasi aliran air mata yang kian menderas membasahi wajahku.

"Aku tidak peduli apa yang dikatakan orang tentangku. Memangnya apa yang mereka ketahui tentangku?" Aku mengusap air mata, tapi kemudian pipiku basah kembali. "Mereka tidak pernah tahu apa yang kurasakan. Mereka tidak punya hak untuk menghakimiku. Ini kehidupanku... "

"Talisa, dengarkan mama... "

"Apa yang harus kudengar sekarang?" Aku berusaha menepis tangan mama yang ingin menjangkau pundakku. "Apa aku dilahirkan hanya untuk menanggung penderitaan? Apa itu yang ingin mama katakan?"

"Bukan seperti itu, Talisa."

Tanganku mengibas dengan cepat.

"Cukup!" Aku setengah berteriak. "Aku tidak mau mendengar apapun lagi. Aku lelah, Ma."

Aku tak lagi mendengar teriakan mama ketika menapaki anak tangga menuju ke lantai dua.

***

Terpopuler

Comments

Sulaiman Efendy

Sulaiman Efendy

GAK MIKIR PRASAAN MMANYA YG PRNH ALAMI KLUKAAN, LO GK MIKIR GHIBAHAN ORG KLO LO JDI PELAKOR & HANCURKN RMH TANGGA ORG LAIN..

2024-04-13

0

mom fausta

mom fausta

cari bahagia gk harus merusak kebahagiaan orang lain jg kali...

2021-08-06

1

Anonymous

Anonymous

bodoh banget.....merasa jd korban....

2020-11-02

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!