Hubungan ini sejatinya tidak pernah berjalan dengan baik. Disadari atau tidak, semua yang kujalani bersama Bram terlalu banyak hambatan dan pertentangan dari berbagai pihak. Hubungan kami mirip sebuah kejahatan yang harus dirahasiakan dari semua orang dan harus dihancurkan secepatnya. Tak ada satu pembenaran yang menyatukan kami mesti itu cinta sekalipun.
Pertanyaannya sekarang adalah apakah kami akan menjalani hubungan ini selamanya? Apakah kami akan terus bersembunyi seperti buronan penjahat?
Guyuran hujan yang tiba-tiba turun membuyarkan lamunan kecilku tentang Bram. Merenungkan semua ini tak akan pernah ada habisnya. Sekuat apapun aku bertahan, sekali waktu aku akan merasa terpuruk dan ingin menyerah. Namun, aku selalu mengumpulkan kembali segenap kekuatan dan bangkit.
Masa kecil yang kulalui tanpa secuil kebahagiaan, haruskah berlanjut hingga masa depan?
Bayangan anak dan ayah yang berjalan bersama di bawah payung tak tampak di balik kaca transparan butik. Pemandangan itu tak ingin kulihat lagi. Rasanya hatiku sudah cukup terluka saat itu.
"Apa tidak sebaiknya dia disuruh masuk, Nona?"
Aku menoleh setelah mengenyahkan lamunan dari kepalaku. Teguran Eka memaksaku menatap ke arah yang ditunjuk gadis itu.
Agh.
Pengawal pribadi sewaan mama tampak berdiri di teras butik demi menghindari tetesan air hujan. Setelan jasnya harus tetap kering atau ia akan memakai pakaian basah seharian ini.
"Biarkan saja," jawabku acuh. Mungkin terdengar tak berperasaan, tapi hatiku memang tidak ingin mempersilakan laki-laki itu agar masuk ke dalam butik. Di dalam ruangan memang terasa jauh lebih nyaman. Sementara di teras angin yang berembus setidaknya membawa sedikit tetesan hujan ke wajah dan setelan jasnya. Laki-laki itu tak akan bisa lolos dari terpaan hawa dingin yang dibawa air hujan.
"Tapi, Nona Lisa. Kasihan dia. Sejak tadi dia hanya berdiri di sana... "
Aku beralih menatap wajah Dini. Gadis itu berdiri tepat di sebelah Eka. Rautnya menggambarkan rasa simpati yang cukup dalam pada pengawal pribadiku.
"Kalau begitu kamu saja yang menyuruhnya masuk," ucapku jengah. Toh, air hujan tidak akan membunuhnya. Paling-paling hanya akan membuat laki-laki itu masuk angin.
Dini dan Eka malah saling berbagi tatap. Sikap mereka berdua persis seperti anak kecil yang sedang beradu rasa takut.
"Sebenarnya siapa dia? Kenapa dia terus menunggu di luar?" Eka mengajukan pertanyaan yang mungkin sejak aku datang tadi terus menghuni benaknya. Benak Dini juga.
"Pengawal pribadiku," jawabku jujur.
Kedua gadis itu tampak takjub mendengar pengakuanku. Mereka pasti tidak akan percaya pemilik butik sepertiku memiliki pengawal pribadi. Rasanya mama lebih pantas memiliki pengawal pribadi daripada aku. Profesi mama sebagai pengacara jauh lebih berisiko ketimbang seorang desainer pakaian sepertiku. Namun, ada hal yang menurutnya lebih mendesak dan memaksa mama agar menyewa seorang pengawal pribadi untuk mengawasiku.
"Kenapa masih berdiri di situ? Bukannya kalian kasihan padanya?" hardikku. Kelamaan melihat mereka berdua berdiri di dekat meja membuatku kesal.
Aku sudah tak ambil pusing ketika salah satu dari mereka mempersilakan pengawal pribadiku untuk masuk. Hujan di luar sore ini cukup deras. Mungkin bisa bertahan sejam lagi. Langit masih tampak abu-abu pekat.
"Bukankah aku tadi sudah bilang padamu, menjadi pengawal pribadi orang sepertiku akan sangat membosankan?" sindirku setelah laki-laki itu dipersilakan duduk di atas kursi panjang yang tersedia di dalam butik. Aku sengaja berdiri lalu menghampiri tempatnya. "Kenapa kamu tidak mencari pekerjaan lain yang lebih menantang? Menjadi pengawal pribadi pejabat pasti jauh lebih menarik."
Laki-laki itu menatapku. Masih tanpa ekspresi. Sepasang mata elangnya seolah ingin mencabik wajahku. Tatapannya benar-benar mengerikan.
"Aku sudah pernah menjadi pengawal pribadi pejabat dan artis. Tapi aku belum pernah mengawal seorang wanita biasa sepertimu," tandasnya seketika membuatku melongo. Ternyata bukan hanya tatapannya yang tajam, tapi lidahnya juga. Ya, Tuhan.
"Apa?" Aku mengulum senyum pahit. Lebih baik jika ia membisu seperti di dalam mobil tadi daripada bicara seperti itu. Membuatku kesal setengah mati. "Lalu kenapa kamu menjadi pengawal pribadiku sekarang? Apa pejabat dan artis itu memecatmu?" Aku memicing. Sementara kedua tanganku terlipat di depan dada.
"Pejabat itu sudah meninggal. Sedang artis itu sudah pensiun sekarang dan tidak membutuhkan pengawal pribadi lagi sekarang," tandasnya.
"Lalu kamu jadi pengangguran dan kebetulan mama menemukanmu, begitu?"
"Apa aku harus menjelaskan semuanya?" Ia malah balik tanya padahal sebelumya laki-laki itu menjawab pertanyaanku dengan lugas.
"Ya, tentu saja. Mereka berdua sudah menjadi penggemarmu sejak kamu datang ke sini," ucapku seraya melirik ke arah Eka dan Dini yang berjajar di sudut butik. Aku bisa melihat dengan jelas jika kedua karyawatiku itu menaruh simpati padanya. Karena ia terbilang cukup menarik. Postur tubuhnya yang tinggi dan kemampuan bertarungnya tidak perlu diragukan lagi.
Laki-laki itu melirik ke arah yang kumaksud. Wajahnya masih tak menggambarkan ekspresi apapun.
"Aku dibayar untuk mengawasimu selama 24 jam dan tidak untuk yang lain."
"Apa kamu robot?" Aku sengaja menaikkan ritme suaraku. "Apa kamu tidak lapar? Apa kamu tidak butuh istirahat? Mana mungkin kamu bisa mengawasiku selama 24 jam penuh?" Sejak keluar dari rumah hingga detik ini aku sama sekali tak melihatnya minum atau makan. Jika ia pingsan karena kelaparan, jangan pernah menyalahkan aku.
"Apa aku tampak seperti robot?"
"Ya." Aku sengaja menjawab dengan cepat. Laki-laki itu nyaris tanpa ekspresi. Bicaranya lugas dan terkesan irit. Bukankah itu mirip robot?
"Ini, Nona."
Eka mengulurkan sebuah botol air mineral padaku agar diberikan pada laki-laki itu.
"Dia tidak butuh makan dan minum. Biarkan saja," ucapku. Tiba-tiba terbersit pikiran untuk menyiksa laki-laki itu. Jika ia tidak betah berada di sampingku, maka tanpa perlu mendepaknya, laki-laki itu akan pergi dengan sendirinya. Menyewa seorang pengawal pribadi adalah sebuah pemborosan. Akan jauh lebih bermanfaat jika uang sebanyak itu disumbangkan ke panti asuhan atau yayasan sosial, bukan?
"Tapi, Nona... " Wajah Eka dipasang memelas. "kasihan dia... "
Aku melenguh keras-keras lalu membalik tubuh dan berjalan kembali ke tempat dudukku. Kepalaku sakit.
Diam-diam Eka memberikan botol air mineral dalam genggamannya kepada laki-laki itu setelah aku duduk dengan nyaman di kursi. Dan laki-laki itu tampak berterimakasih pada Eka. Lucu sekali. Mungkin setelah ini akan ada cinta lokasi di butikku. Tapi, aku tidak akan membiarkan itu terjadi. Sebab aku akan mendepak laki-laki itu jauh-jauh dari butik sebelum benih-benih cinta bertunas di hati mereka.
Hujan mulai menurun intensitasnya digantikan gerimis ringan. Sebentar lagi gelap akan turun.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 90 Episodes
Comments
Anonymous
aku udah sampe sini....lanjut
2020-11-02
1
Kosong (uninstall)
👍👍👍
2020-10-31
0
Taraaeee
keren
2020-10-30
0