Nama laki-laki itu adalah Bram. Usia kami terpaut cukup jauh, sejumlah 18 tahun. Namun, deretan angka dan penampilan fisik bagiku bukan menjadi halangan untuk menyukai seseorang. Aku mengagumi laki-laki itu sejak pertama kali mengenalnya dalam sebuah acara pesta pernikahan putra relasi bisnis mama. Bram telah beristri dan memiliki dua orang putri. Dan lagi-lagi statusnya sama sekali tak membuatku mundur untuk menyukainya.
Bram sama seperti laki-laki seusianya. Sejumlah uban muncul di antara barisan rambut hitamnya. Kerutan halus kentara menghias bagian bawah mata dan keningnya. Ia adalah laki-laki dewasa yang hangat dan ketika bersama dengannya aku merasa nyaman. Bram seperti sebuah pohon besar yang rindang bagiku. Ia merupakan sandaran untuk jiwaku yang kesepian.
Namun, kenyataannya bukan hanya aku yang bersandar pada Bram. Ada tiga orang lagi yang bersandar padanya dan mereka lebih berhak memiliki laki-laki itu ketimbang aku. Dan aku sangat benci kenyataan itu. Aku muak sampai-sampai aku tak ingin terbangun lagi dari tidurku.
"Nona Lisa."
Suara seorang wanita dari balik pintu kamarku terdengar memanggil disertai ketukan pelan.
"Masuk," suruhku.
"Maaf, Nona." Gina, asisten rumah tangga kami menyeruak masuk usai membuka pintu kamarku tanpa suara. "Nyonya menyuruh Nona Lisa agar segera turun untuk sarapan," beritahunya dengan sopan.
"Katakan pada mama, aku tidak lapar," ucapku tanpa menoleh atau mengangkat kepala dari atas bantal sekalipun.
"Tapi Nona... "
"Bilang pada mama aku tidak lapar," tegasku sambil mengangkat tubuh dari atas tempat tidur. Kalimatku tadi sudah cukup jelas, tapi wanita itu memaksaku untuk mengulanginya kembali.
"Ba-baik, Nona," jawab Gina setengah ketakutan. Wanita itu mundur perlahan dan buru-buru keluar dari kamarku.
Mama sangat membenci Bram. Namun, aku sangat mencintai laki-laki itu dan membenci wanita yang menjadi istrinya. Aku selalu berharap mereka berpisah suatu hari nanti, tapi kenyataannya aku masih menunggu sampai saat ini. Bram selalu kembali kepada wanita itu. Dan setiap malam aku mesti terluka ketika pulang ke rumah. Aku merasa hampa tanpa Bram di sisiku.
"Sampai kapan kamu akan menjalin hubungan dengan laki-laki itu?"
Mama?
Aku tercengang melihat mama yang sudah berdiri di ambang pintu kamarku sedetik setelah Gina pergi. Wanita itu terlihat rapi dan cantik dengan setelan biru muda yang membalut tubuh langsingnya. Rambutnya digelung dengan rapi. Selembar syal sutra tampak melilit di leher jenjangnya.
"Kamu tidak berencana untuk menjalin hubungan dengan laki-laki itu selamanya, kan?" tanya mama setelah berjalan mendekat ke tempat tidurku dan menduduki tepiannya. Aroma parfum perpaduan beberapa jenis bunga menguar lembut menusuk indra penciumanku.
"Apa maksud mama?" Aku agak kesal mendengar pertanyaannya yang tak bisa kujawab.
Mama menarik napas dalam-dalam seolah isi paru-parunya kosong dan ia butuh lebih banyak oksigen ketimbang diriku.
"Kamu harus segera mengakhiri hubungan kalian," tandasnya setelah selesai mengisi paru-paru. Wanita itu menatapku seperti ingin mengintimidasi.
Aku tidak akan tercengang mendengar perintahnya. Kalimat ini sudah sering kudengar sebelumnya.
"Aku tidak bisa... "
"Talisa! Dengarkan mama!" Wanita itu menjangkau genggaman tanganku. "Kamu tahu, laki-laki itu hanya menjadikan kamu sebagai pengisi waktu luangnya. Dia memanfaatkanmu saat bosan. Kamu tidak lebih hanya sebagai mainannya, mengerti?"
Aku menepis tangan mama sesegera mungkin ketika kalimatnya telah selesai meluncur. Ia berhasil menusuk perasaanku.
"Dia mencintaiku, Ma."
"Tapi laki-laki itu punya keluarga, Lisa. Dia tidak akan melepaskan istri dan anaknya begitu saja, kamu tahu?"
"Aku tahu." Aku memang menyadari kenyataan itu sejak awal. Aku bukan prioritas utama dalam kehidupan Bram. Aku adalah prioritas ke sekian setelah istri dan anak-anaknya. Karena Tuhan sangat terlambat mempertemukan aku dan Bram. Kalau saja aku mengenal Bram sebelum wanita itu, kenyataan pasti berbeda.
"Mama mohon jangan menyia-nyiakan hidupmu, Lisa. Mama akan mencarikan pasangan yang jauh lebih pantas untukmu."
Aku mengulum senyum sinis mendengar mama mengatakan akan mencarikan pasangan yang jauh lebih pantas untukku.
"Kenapa mama tidak mencari pasangan untuk diri mama sendiri daripada mencarikan pasangan untukku?" tanyaku jelas ingin menjatuhkan harga dirinya. "Aku tahu mama sangat kesepian selama ini dan mama jauh lebih membutuhkan pendamping hidup daripada aku," tandasku tanpa memedulikan perasaannya. Aku dan mama sudah terlalu sering terluka, jadi kalimat seperti itu tidak akan membuatnya kembali mengorek luka lama.
"Mama tidak membutuhkan pendamping hidup. Mama hanya butuh kamu di sisi mama."
"Bagaimana kalau aku tidak bisa berada di sisi mama selamanya?" pancingku. "Mungkin suatu hari nanti aku akan menikah dan pergi dari rumah ini... "
"Mama senang jika kamu menikah suatu hari nanti. Asal jangan menikah dengan laki-laki yang sudah beristri," sambung mama.
"Ya ampun, Ma," ucapku seraya menderaikan tawa. Berapa kali ia harus menyinggung masalah itu. "Baiklah, aku akan membuat laki-laki itu menceraikan istrinya lalu menikahinya. Bagaimana? Mama tidak keberatan mempunyai menantu seorang duda, kan?"
"Astaga, Lisa," desis mama sambil melebarkan sepasang matanya yang telah terbingkai alat rias. Bulu mata palsunya terlihat dramatis ketika ia mengerjap. "Kamu sadar apa yang kamu katakan barusan?"
"Tentu saja. Bukankah mama tidak suka aku menjalin hubungan dengan laki-laki beristri?"
"Apa sebenarnya yang kamu pikirkan, Lisa? Apa kamu tidak berpikir bahwa kamu akan menyakiti hati wanita itu dan anak-anaknya? Kamu akan membuat wanita itu bernasib sama dengan mama. Anak-anaknya juga akan sama denganmu. Apa kamu tega melakukan itu, hah?" Mama agak meninggikan suara di penghujung kalimatnya.
"Tapi wanita itu bisa memilih, Ma. Dia akan bernasib sama seperti mama seandainya dia tidak menikah lagi. Tapi semuanya akan berbeda seandainya dia menikah dengan laki-laki lain. Dia tidak perlu menjalani hidup seperti yang mama alami. Anak-anaknya juga akan mempunyai ayah baru," ujarku dengan nada enteng.
"Apa kamu berpikir sesederhana itu?"
"Ya. Laki-laki itu bisa hidup bahagia denganku. Dan wanita itu juga bisa hidup bahagia dengan suami barunya."
"Hidup tidak semudah itu, Talisa," sahut mama setelah aku berhasil menutup mulut. "Perceraian akan selalu menyisakan luka dan trauma. Tidak akan mudah untuk mengobati luka dan memulai hidup baru kembali. Semuanya butuh waktu dan proses."
"Tapi kita bisa melewatinya dengan baik, kan? Mereka juga pasti bisa melakukannya."
"Kamu pikir seperti itu?"
"Ya," anggukku. Jika kami bisa, mereka pasti bisa melakukannya.
"Mama tidak pernah mendidikmu untuk menjadi perusak rumah tangga orang lain, kamu mengerti?" Mama menegaskan suaranya. "Mama harus berangkat sekarang," ucapnya seraya mengangkat tubuh dari atas tempat tidur dan bersiap keluar dari kamarku.
Namun, sebelum pergi wanita itu memberitahu bahwa sarapanku telah siap di meja makan.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 90 Episodes
Comments
Sulaiman Efendy
UMUR LO 25 TH, SI BRAM 43, 18 TH MARGIN USIA LO.. KLO TIGA PULUHAN MSH WAJAR...
2024-04-13
0
Sulaiman Efendy
WANITA GOBLOK, SDHLH SUAMI ORG, SDH BRUMUR LAGI, SDH 43, BEDA 2 TH DGN MMA LO YG 45 TH, LO REALISTIS, SKRG MSH 43, 7 TH KMUDIAN SDH 50 TH, STENGAH ABAD, GMN RASANYA LO MAKING LOVE SAMA PRIA TUA.. KLO PNJG UMUR 10 TH KMUDIAN SDH 60 TH, EMANG ENAK BRCINTA DGN KAKEK2, CIUMAN DN BRTUKAR SALIVA SMA KAKEK2, SAKIT NI TOKOH LISA... TOKOH UTAMA KOQ INGIN JDI PELAKOR, PRIA TUA LGI.
2024-04-13
0
Eti Rochaeti
kok ada ya perempuan yg pikirannya seperti Talisa, apa dia nggak mikirin keadaan ibunya waktu di tinggal suaminya, kok dangkal banget ya, gemes aq dg cara pandangnya Talisa😠😠😠
2021-07-22
1