Hari ini Diandra akan pergi ke kota tempatnya dilahirkan untuk benar-benar menuntaskan segala permasalahan pelik yang ia tinggal kabur beberapa bulan lalu.
Kemarin dirinya juga sudah berada dibandara, namun ia mengundur keberangkatan karena permintaan Al yang memintanya ikut menyaksikan lelaki itu melamar sahabatnya, Naya. Dan dengan senang hati Diandra menyanggupinya. Naya sudah menjadi bagian penting dari hidup nya meski belum lama saling mengenal.
Tepat pukul 4 sore hari, Diandra kembali menginjakkan kakinya di kota penuh kenangan dan juga penuh luka itu. Berkali-kali ia menghela nafas seolah menguatkan dirinya untuk melakukan ini semua.
"Kamu bisa Di..kamu cuma harus selesaikan semuanya secepatnya dan kembali ke kehidupan kamu". Diandra bergumam menguatkan tekadnya yang sejujurnya belum sepenuhnya yakin dengan apa yang akan ia lakukan.
Tujuan pertamanya bukanlah rumah tempat dirinya dibesarkan. Namun taman pemakaman umum yang tak jauh dari rumahnya. Karena sudah pasti kakaknya dimakamkan disana.
" Tolong tunggu ya pak..saya akan membayar lebih nanti". Sopir taksi itu hanya tersenyum dan mengangguk.
Perlahan kakinya menapak kedalam area pemakaman, semakin dalam memasuki area pemakaman. Perasaannya semakin tidak menentu.
"Neng Dian???". Diandra menoleh, mendapati seorang lelaki paruh baya yang menghampirinya.
Diandra tersenyum melihat lelaki yang dulu menjadi guru ngajinya juga ada disana. Ya, hanya lelaki itu beserta istrinya yang memanggil dirinya dengan sebutan Dian.
" Mang Mail..apa kabar??". Diandra mencium punggung tangan lelaki itu.
"Alhamdulillah baik neng..kabar neng gimana atuh?? Mamang meuni lama nggak lihat neng Dian". Diandra tersenyum getir mendengar pertanyaan pak Mail.
" Dian kerja diluar kota mang.." Lelaki bernama Mail itu hanya mengangguk-angguk saja.
"Mau ke makam neng Dea??". Diandra mengangguk cepat. Beruntung ia bertemu dengan mang Mail, jadi ia tidak perlu pusing mencari makam sang kakak.
" Mamang antar ya.." Diandra kembali mengangguk antusias.
Pandangan Diandra semakin mengabur ketika langkahnya semakin mendekatkannya dengan gundukan tanah yang masih belum terlalu kering itu. Nisan kayu bertuliskan nama sang kakak yang semakin membuat kakinya seolah tak bertenaga.
"Disini neng.." Diandra menatap mang Mail dengan senyuman getir. Bahkan untuk sekedar mengucapkan terimakasih pun suaranya seolah tak mampu ia keluarkan.
"Mamang tinggal dulu ya..mamang yakin, neng Dian anak sholehah, anak kuat, anak baik dan pemaaf..mamang percaya sama neng". Diandra hanya mempu mengangguk. Matanya semakin buram karena desakan air mata yang sudah memenuhi kelopak matanya.
Tubuh yang sejak tadi coba ia pertahankan akhirnya rubuh juga disamping pusara makam sang kakak. Tangan bergetarnya perlahan terangkat mengelus nisan kayu itu. Lama ia diam dalam tangisannya, terus mengelus nisan bertuliskan nama Deanita.
" Kak..." Lirih Diandra dengan air mata yang sudah jebol dan membasahi wajahnya setelah lama diam dan memandangi gundukan tanah setengah basah itu.
"Kenapa kak??".
" Aku...aku nggak bener-bener pengen kakak pergi". Diandra terus mengelus nisan Dea.
"Aku nggak bener-bener serius sama semua ucapan aku".
"Aku bahkan udah coba merelakan semua yang terjadi meskipun belum sepenuhnya aku mampu. Tapi aku sedang berusaha kak.."
"Kenapa kakak pergi?? Aku hanya butuh waktu beberapa saat lagi kak.."
"Apa semua karena permintaan ku??". Diandra terus terisak, Sementara langit semakin gelap. Seolah tahu bahwa Diandra begitu hancur, tadinya ia berharap ibunya berbohong tentang berita meninggalnya sang kakak. Namun ternyata semua nyata. Kakaknya benar-benar telah tiada.
" Kenapa ya Allah..kenapa harus kakak". Diandra menengadah. Menatap langit yang ikut menumpahkan air, seolah paham jika Diandra tengah merasa amat sedih.
"Kenapa kakak turuti apa mau aku. Kenapa kakak pergi.."
"Harusnya kakak nggak ikuti ucapan aku".
Diandra terus meracau, berkali-kali mengumpati dirinya atas ucapan gila yang ia sampaikan pada sang kakak tepat sebelum dirinya pergi meninggalkan rumah.
Sungguh Diandra tak tahu akan sesakit ini ditinggalkan sang kakak. Jika tahu mungkin ia tak akan pernah berkata dan meminta Deanita untuk mati agar dirinya bahagia. Buktinya kini, bukannya bahagia, Diandra justru hancur.
" Kakak mau aku maafin kan?? Bangun kak.. Aku udah maafin kakak..jadi apa kakak akan bangun?? Aku udah maafin kakak". Diandra tak memperdulikan tubuhnya yang sudah basah kuyup karena air hujan. Ia masih terus meratap dan menangis dimakam sang kakak.
Bahkan Diandra tak menyadari jika sejak tadi ada sepasang mata elang yang terus mengawasinya dengan wajah sendunya.
Sudah satu jam lebih, langit pun semakin gelap dan hujan pun belum juga reda. Tubuh yang memang lelah setelah perjalanan jauh, dan juga terus diterpa hujan sejak tadi membuat Diandra akhirnya tumbang dan pingsan. Membuat seseorang yang sejak tadi mengawasinya terkesiap melihat Diandra pingsan.
"Astaga!! Di...!!"
Dengan sekali gerakan, lelaki itu mengangkat tubuh pingsan Diandra dan membawanya kedalam mobil miliknya. Sementara supir taksi yang diminta Diandra menunggu sudah sejak tadi pergi setelah di suruh oleh lelaki yang kini membawa Diandra.
######
Diandra mengerjapkan matanya beberapa kali, menyesuaikan pencahayaan yang tepat mengenai matanya. Setelah matanya terbuka, ia mengedarkan pandangannya keseluruh ruangan.
Ruangan yang tidak asing baginya. Ya, ini adalah kamarnya. Kamar penuh kenangan dirumah yang juga penuh kenangan. Tapi bagaimana caranya? Hal terkahir yang ia ingat adalah saat dirinya menangis di makam sang kakak.
"Non..non udah sadar? Alhamdulillah.." Diandra menatap pintu. Disana ada mbok Tun yang membawa nampan berisi teh yang masih mengeluarkan asap.
"Awas pelan-pelan non.." Mbok Tun meletakkan nampannya dan membantu Diandra yang hendak menyandarkan tubuhnya dikepala ranjang.
"Masih pusing non??". Diandra mengangguk sambil memijit pelipisnya. Kepalanya terasa berdenyut dan matanya terasa bengkak. Mungkin karena terlalu lama menangis.
" Minum dulu ya non.."
"Makasih mbok..maaf ngerepotin mbok Tun.." Wanita tua itu hanya tersenyum saja.
"Mbok ambilkan makan ya non.." Diandra menggeleng, sungguh dia tak ada naf su makan sedikitpun saat ini.
Tak lama terdengar suara bayi menangis membuat kening Diandra berkerut. Ah..dirinya lupa jika kakaknya hamil saat itu. Mungkin itu suara bayinya.
"Sebentar ya non..mbok liat bayinya non Dea dulu.." Diandra hanya mengangguk dan menatap punggung yang terlihat mulai renta itu menjauh.
Diandra melihat tubuhnya, pakaiannya sudah berganti. Kopernya juga sudah terbuka disudut ruangan. Mungkin mbok Tun yang menggantinya.
Setelah hampir 15menit, suara tangisan bayi itu bukan semakin mereda namun malah semakin kencang. Penasaran, Diandra Perlahan turun dari ranjangnya dan keluar untuk melihat kenapa bayi itu masih menangis.
Dari sela pintu kamarnya, Diandra melihat mbok Tun tengah menggendong seorang bayi. Sementara lelaki yang pernah mengisi hatinya tengah berusaha menenangkan bayi mungil itu, pun dengan kedua orang tuanya.
"Adek kenapa ya ma..kok tumben rewel banget". Samar-samar Diandra mendengar keluhan Abi.
" Mama nggak tahu. Badannya nggak panas juga..dikasih susu juga nggak mau". Mama Dita terlihat sama bingungnya.
"Kasep kenapa kok rewel..ini sama simbok kasep.." Mbok Tun terlihat menggoyangkan pelan tubuh mungil dalam dekapannya yang masih terus menangis.
Tak tahan dengan suara tangisan bayi, Diandra akhirnya keluar hingga membuat semua orang terkejut. Selama ini memang Diandra sangat amat menyukai anak kecil. Mendengar tangisan yang tak kunjung reda membuatnya tak tega.
"Coba sama aku mbok.." Diandra mengambil alih tubuh mungil itu dari gendongan mbok Tun. Setelah memastikan tubuh mungil itu aman didekapannya, Diandra mengambil botol dari tangan Abi yang mematung menatapnya.
Tanpa memperdulikan wajah bengong semua orang, Diandra membawa tubuh mungil bayi kakaknya berjalan menjauh dan kembali memasuki kamarnya.
Tak butuh waktu lama, bahkan tidak sampai dua menitz tangisan bayi itu sudah tidak lagi terdengar.
Penasaran, kedua orang tua Diandra dan juga Abi mengintip dari sela pintu kamar Diandra. Mereka penasaran apa yang dilakukan Diandra untuk membuat bayi itu diam dalam waktu singkat.
Sudut bibir ketiganya terangkat melihat Diandra yang masih menggendong tubuh anak Dea, menimangnya penuh kasih sayang sambil menepuk lembut pan tat bayi itu.
"Bahkan anakmu tahu kalau sekarang sedang dalam pelukan calon ibunya.." mama Dita menangis melihat Diandra tetap mau menggendong bayi dari kakaknya setelah apa yang sudah mereka semua lakukan padanya.
"Apa dia mau ma..kita terlalu dalam menyakitinya. Aku tidak yakin dia mau.."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 204 Episodes
Comments
Yuda Hasna
ini gimn sih ceritany
dlu kekasih blm diptus.
begitu plang kkak dah hmil.
q gk rela deandra sma abi.
udh bekas kkak nya msak mau.,
jd plin plan abi.
udh tahu pcaran sama adik nikah sma kkaknya.
edannn kui ceritone.
2022-06-19
2
Yuen
Menang banyak donk si abi abi ini iyuuuhhhh
2022-06-16
1
momy ida
dihhhhh gw kok gk rela y si diandra balikan sama si abi................ secara dia kan bekas kakak iparnya... ngerti Khan barang bekas itu tempatnya dimana.............. 🤭🤭🤭
2022-06-15
2