Sepanjang perjalanan Diandra menangis dalam diam. Sekuat apapun tubuhnya, nyatanya hati yang ia miliki tak sekuat saat ia berada didepan Deanita dan Abi serta kedua orang tuanya.
Hatinya masih belum menerima jika orang-orang yang begitu ia percayai dan teramat ia sayangi tega melakukan hal seperti ini. Membunuh hatinya secara perlahan dengan semua kebohongan yang mereka ciptakan. Benarkah mereka orang yang sama seperti yang sebelumnya. Diandra meragukannya.
"Kenapa..kenapa kamu tega. Setidaknya kamu putuskan hubungan kita dulu. Mungkin aku tidak akan terlalu terluka seperti ini.." Gumam Diandra menghapus kasar air mata yang terus saja mengalir tanpa bisa ia cegah.
Ketegaran dan keangkuhannya dihadapan Abi hilang tak berbekas. Kini hanya menyisakan Diandra yang rapuh dan terluka.
"Maaf mbak..ini benar ke bandara ya?". Suara supir taksi menyadarkan dirinya. Dengan buru-buru ia menghapus jejak air mata dipipinya.
" Iya pak.." Sahut Diandra pelan.
"Aku akan pergi. Pergi selamanya dari kalian..orang-orang yang tidak aku kenal lagi. Aku berharap tidak akan pernah lagi bertemu dan bersinggungan dengan kalian. Hubungan diantara kita usai sampai disini. Aku tidak lagi memiliki keluarga, kalian hanya orang asing bagiku". Diandra memantapkan hatinya. Ia tidak bisa terus meratapi nasib dan kehancurannya. Ia harus melanjutkan hidupnya, sama seperti mereka yang tetap berbahagia setelah berhasil membohonginya.
Diandra memutuskan pergi ke kota tempat perusahaan baru yang sedang membuka lowongan kerja besar-besaran. Uang yang ia miliki lebih dari cukup untuk menyewa tempat tinggal dan makannya selama beberapa bulan ke depan sambil menunggu panggilan kerja dari perusahaan yang ia incar itu.
Diandra sudah Benar-benar menyiapkan segalanya, ia sudah mencari tempat kos sebelum ia benar-benar diterima bekerja. Setidaknya beberapa hari kedepan ia bisa menenangkan dirinya.
Diandra memblokir semua sosial media orang-orang yang memang tak ingin ia temui dan tak ingin lagi ia ketahui keadaannya. Nomor ponselnya pun ia ganti. Ia benar-benar memutus semua hubungan dengan keluarganya.
*****
Satu minggu ini benar-benar Diandra habiskan untuk menenangkan dirinya. Gadis itu hanya akan keluar untuk mencari makan dan memenuhi kebutuhan sehari-harinya saja.
Ponsel Diandra berdering, menandakan panggilan masuk. Dengan sigap Diandra mengambil ponselnya dan segera menggeser layarnya untuk mengangkat panggilan telepon itu. Besar harapannya jika itu adalah panggilan untuk interview kerjanya.
".............."
"Ya, Selamat siang.."
"..............."
"Iya dengan saya sendiri.."
"..............."
"Baik..saya akan kesana besok. Terima kasih selamat siang.."
"Yessss!!!!". Pekik Diandra kegirangan. Akhirnya setelah seminggu menunggu, dirinya dapat panggilan untuk interview.
" Come on Di..kamu pasti bisa". Diandra memecut semangatnya. Sudah cukup waktu satu minggu ia habiskan untuk meratap dan bersedih serta menyendiri. Sudah saatnya dirinya bangkit.
Keesokan paginya, Diandra bersiap untuk pergi interview. Ia yakin bisa melaluinya dan menjadi bagian perusahaan makanan yang sedang berkembang itu.
Dan berkat otak cerdasnya, Interview kerja yang ia jalani terasa begitu mudah. Ia diterima bekerja diperusahaan itu. Bahkan perusahaan memfasilitasi nya dengan sebuah apartemen. Meskipun sederhana setidaknya ia tetap bisa menabung karena tidak perlu mengeluarkan uang untuk menyewa tempat tinggal.
Diandra sudah berdiri didepan pintu sebuah apartemen, lingkungannya cukup nyaman menurut Diandra. Dirinya hanya perlu menyesuaikan dirinya lagi.
"Semangat Di..kamu harus menjalani apa yang sudah kamu pilih". Diandra mengepalkan tangannya, menampakkan senyum yang sepertinya sudah lama tak menghiasi bibir tipisnya itu.
Ia membuka pintu apartemen dan masuk. Ia mengawasi setiap sudut ruangan. Tidak buruk, pikirnya. Kaki jenjangnya melangkah menuju kamar yang akan ia tinggali kedepannya.
Ia sudah diberitahu jika dirinya akan memiliki teman yang sama-sama meninggali apartemen itu. Dan Diandra tidak merasa keberatan. Bukankah dirinya juga butuh teman.
" Tadi bilangnya temen sekamar aku belum dateng kan. Aku beberes baju aja dulu.." Diandra kembali menyibukkan dirinya menata pakaian kedalam lemari yang juga sudah tersedia didalam apartemen.
"Semoga dia teman yang bisa diajak kompromi. Mudah-mudahan orangnya nggak kepo". Gumam Diandra yang sudah merebahkan dirinya diatas kasur. Memang tidak seempuk kasur dirumah ayahnya, namun disini lebih baik untuk hatinya.
Ah membicarakan rumahnya membuat Diandra ingat dengan ibunya. Bagaimana kabar wanita yang telah melahirkannya itu. Apakah sudah sembuh? Sudah pulangkah? Atau masih dirawat?
Diandra segera menggelengkan kepalanya, menghempaskan semua rasa ingin tahunya. Kembali menekankan pada hati dan pikirannya untuk tidak lagi ingin tahu tentang orang-orang itu.
" Stop Di!!! Jangan lagi!! Jangan pikirkan mereka jika kamu ingin hatimu sembuh dan baik-baik saja". Diandra menasehati dirinya sendiri. Lelah dengan aktivitasnya, malam itu Diandra tertidur, tertidur ditempat yang jauh dari keluarga dan tak ada seorangpun yang ia kenal. Ia akan memulai hidup sebagai Diandra yang baru.
***###***
Diandra mematung didepan pintu kamar saat matanya bertubrukan dengan mata indah gadis asing yang tiba-tiba ada didalam apartemen yang ia tinggali.
Gadis itu tersenyum hingga membuat Diandra juga tersenyum.
"Ehm..kenalkan. Aku Kanaya..kamu bisa Panggil aku Naya.." Diandra menatap gadis bernama Naya yang akan menjadi teman satu kamarnya itu. Sepertinya gadis baik dari keluarga berada. Pikir Diandra.
"Hai..aku Diandra. Senang bertemu denganmu.." Diandra memperkenalkan dirinya pada Naya.
Setelah beberapa waktu beramah tamah dengan teman barunya, Diandra menunjukkan kamar yang akan gadis itu tempati.
"Aku akan disebelah sini..kamu disana. Apa tidak keberatan??". Suara Diandra membuat Naya menoleh. Ia menggeleng dan tersenyum ramah pada gadis itu.
" Dimanapun tidak masalah..sama saja". Diandra mengangguk.
"Ehmm..aku akan istirahat dulu. Nanti kita bicara lagi.." Diandra merebahkan tubuhnya diatas kasur yang menjadi bagiannya.
"Baiklah..aku akan membersihkan diri dulu". Naya berlalu kedalam kamar mandi.
Sepeninggal Naya Diandra menutup kedua matanya, berharap bisa terlelap. Namun terasa sulit untuk memejamkan matanya kelebatan bayangan kejadian beberapa waktu lalu masih menguasai seluruh pikirannya.
" Come on Di..kamu nggak bisa terus gini". Batin Diandra menahan tangis.
Diandra masih mendengar pintu kamar mandi terbuka, mungkin Naya sudah selesai mandi, pikirnya. Namun ia tak berniat membuka matanya.
Baru saja ia hampir terlelap, suara ponsel membuatnya kembali tersadar. Ia mendengar suara langkah kaki keluar dari kamar. Rupanya ponsel Naya yang berdering.
Samar-samar Diandra mendengar Naya mengobrol dengan entah siapa. Meski tidak jelas, namun Diandra yakin jika itu seorang pria.
Tak ada niatan untuk menguping, namun kakinya bergerak otomatis. Apalagi pintu kamar tidak tertutup sempurna. Dari sela pintu, Diandra melihat Naya yang duduk membelakanginya dimeja makan. Gadis itu tengah berbincang dengan seorang pria. Dari perhatiannya Diandra menebak jika lelaki itu adalah kekasih Naya.
Memikirkan kata kekasih kembali membuat hatinya mencelos. Betapa beruntungnya wanita lain. Sementara dirinya begitu kurang beruntungnya. Saat ia sudah mempercayakan hati dan masa depannya pada seorang pria, justru pria itulah yang menghancurkan semua angan dan mimpinya.
"Mungkin dosaku terlalu banyak..hingga ujian yang diberikan padaku seperti tak sanggup aku lalui". Diandra terkekeh pelan menyadari pemikirannya. Mungkin benar, dia pernah melakukan dosa besar hingga kini tuhan menghukumnya sedemikian menyakitkan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 204 Episodes
Comments
Eliza Triwahyu
Benar pemikiran Diandra,klau bilang putus pasti dia bisa menerima nya walau sakit hati jg tp itu jauh lebih baik daripada tau2 pulang sdh nikah & melendung...siapa pun yg ada di posisi Diandra ya pasti sakit lah masa enggak😁
2022-07-20
3
Masiah Cia
masih penasaran knp sampai Abi d lainnya kompak berhianat sm Diandra
2022-06-13
1
Juwita Vena
kira2 siapa ya yg telp naya
2022-06-05
0