Cinta Lama Yang Kembali
Perdebatan berlangsung hampir sepanjang malam itu. Dari kamarku yang terletak tiga pintu dari kamar utama orang tuaku, aku bisa mendengar suara-suara yang meninggi, tapi tidak bisa menangkap kata-kata mereka. Ini bukan pertama kalinya mereka bertengkar dalam beberapa waktu belakangan, namun entah kenapa kali ini terasa ada yang berbeda. Keributan itu dan segala keresahan yang berkecamuk di kepalaku membuatku terjaga sepanjang malam.
Aku berharap pikiran buruk itu hanya ada dalam bayanganku, bahwa rasa takut yang membuat perutku terlilit tak lebih dari hasil imajinasiku yang berlebihan, hingga aku turun ke lantai bawah setelah matahari terbit dan melihat beberapa koper di pintu depan. Sekarang aku baru mengerti. Kali ini, seseorang akan pergi, mungkin untuk selamanya jika di lihat dari tumpukan koper di pintu.
Aku berusaha meredakan kepanikan, mengingatkan diri bahwa ayahku, William Clay, selalu bepergian. Sebagai arsitek internasional yang diakui, dia selalu pergi ke suatu tempat untuk melakukan pekerjaan, semacam petualangan baru. Namun, sekali lagi, kali ini terasa berbeda. Ayahku baru beberapa hari berada di rumah setelah kembali dari perjalanan terakhirnya, dia jarang datang sebentar lalu pergi lagi.
"Kate!" suara ibuku terdengar terkejut dan agak gugup. "Apa yang membuatmu terbangun sepagi ini?"
Aku tidak kaget melihat ibuku tertangkap basah. Sebagian besar remaja, termasuk aku dan adik laki-lakiku, benci bangun pagi pada akhir pekan. Biasanya, pada hari Sabtu aku baru keluar dari kamar saat hari menjelang siang.
Aku bertatapan dengan ibuku dan bisa melihat kecemasan di matanya. Aku tahu jelas bahwa Ibuku hendak pergi sebelum seorang pun bangun dan menghadangnya dengan pertanyaan-pertanyaan tak menyenangkan.
"Mom akan pergi, kan?" tanyaku dengan nada datar, berusaha tidak menangis. Usiaku baru tujuh belas tahun, dan jika dugaanku tentang apa yang sedang terjadi benar, maka aku harus bersikap kuat demi adik-adikku.
Air mata menggenang di matanya. Dia membuka mulut hendak berbicara, namun tak sepatah katapun yang keluar, dan akhirnya dia mengangguk.
"Kenapa, Mom?" kataku memulai, diikuti deretan pertanyaan lain. "Kemana kau akan pergi? Bagaimana dengan kami? Aku, Cory, Sam, George, dan Jacob? Apa kau akan meninggalkan kami juga?"
"Oh, Sweetheart, aku tidak akan pernah melakukan itu." desis ibuku sambil mengulurkan tangan. "Kalian anak-anakku. Begitu keadaanku stabil, aku akan kembali menjemput kalian. Aku berjanji."
Walaupun pernyataannya kuat, aku bisa melihat kecemasan dibalik kata-katanya. Kemanapun dia pergi, dia sedang ketakutan dan aku yakin keputusannya dipenuhi ketidakpastian. Bagaimana tidak? Ibu dan Ayahku telah menikah selama hampir dua puluh tahun. Mereka memiliki kami, lima bersaudara, beserta seluruh kehidupan yang dibangun tepat di sini, di Winton, kota yang di desain dan dibangun oleh Ayahku bersama paman-pamanku. Dan sekarang ibuku akan pergi sendiri, memulai kembali kehidupannya. Jadi, bagaimana mungkin dia tidak merasa takut?
"Mom, apakah kau benar-benar menginginkan ini?" tanyaku, mencoba memahami keputusan drastis yang diambilnya. Aku mengenal banyak anak yang orang tuanya bercerai, tapi bukan Ibu mereka yang berkemas dan pergi. Jika memang seseorang harus pergi, maka pastilah sang ayah yang menjauh. Dan keputusan ibuku tampak ribuan kali lebih buruk.
"Tentu saja bukan ini yang kuinginkan," jawab ibuku dengan tegas. "Tapi aku tidak sanggup hidup terus seperti ini." Rautnya mengatakan seolah dia ingin berbicara lebih banyak, tapi kemudian menepiskannya. "Ini permasalahan di antara ayahmu dan aku, dan yang kutahu adalah aku harus membuat perubahan. Aku membutuhkan awal yang baru."
Di satu sisi, aku merasa lega karena ibuku tidak berkata banyak. Aku tidak ingin terbebani dengan mengetahui apa yang membuat ibuku pergi. Aku mencintai dan menghormati kedua orang tuaku dan tidak tahu bagaimana cara menerima kalimat panas yang dapat menghancurkan rasa cintaku pada salah satu dari mereka.
"Tapi, kau akan kemana, Mom?" tanyaku lagi.
Tentu saja tidak akan jauh. Ibuku tidak akan membiarkanku menghadapi dampak dari keputusan ini sendirian. Ayahku pria paling payah untuk urusan emosi. Dia bisa menangani segalanya, menafkahi, mencintai, bahkan sesekali menemani kami menonton pertandingan bola atau melakukan hal remeh lainnya, tetapi hanya ibuku yang dapat kami andalkan saat berhadapan dengan masalah sehari-hari atau ketika perasan kami terluka.
Namun, kenapa dia tidak berpikir bahwa aku dapat mengatasi semua hal itu? Semua orang di keluarga tahu aku melaksanakan tanggung jawabku sebagai anak sulung dengan sungguh-sungguh. Aku tahu bahwa orang tuaku mengandalkanku sebagai cadangan. Emmy, yang baru berulang tahun ke dua belas tapi sudah dewasa, dan kedua adik laki-laki ku akan baik-baik saja.
Dengan kepergian ibuku, pada awalnya Emmy mungkin akan menarik diri, tapi dia cukup matang dan mandiri, dia akan menemukan caranya sendiri untuk mengatasi masalah ini. George dan Jacob masih remaja, tak ada yang mereka pedulikan selain olahraga dan para gadis. Mereka justru lebih sering malu pada ibu mereka yang terlalu bersemangat dan penuh kasih sayang.
Yang tersisa adalah Sam. Dia masih terlalu kecil. Well, dia berulang tahun ke tujuh minggu lalu, tapi usia itu masih terlalu muda untuk ditinggal oleh ibunya. Aku tidak tahu bagaimana menggantikan perannya walau untuk sementara.
"Aku tidak akan terlalu jauh." Ibuku mencoba meyakinkanku. "Begitu mendapatkan pekerjaan dan tempat tinggal untuk kita semua, aku akan kembali menjemput kalian. Tidak akan terlalu lama." Dia terdiam sejenak lalu menambahkan. "Aku takkan meninggalkan kalian terlalu lama."
Aku ingin berteriak dan mengatakan bahwa berapapun waktunya tetap akan terasa lama, berapapun jaraknya tetap akan terasa jauh. Kenapa ibuku tidak memahami itu? Tapi, dia terlihat sangat sedih. Tersesat dan sendirian. Pipinya pun basah oleh air mata. Jadi, aku tidak sanggup berteriak padanya dan membuatnya merasa lebih buruk. Aku harus mencari cara untuk menghadapi ini agar adik-adikku bisa mengerti.
Lalu, terlintas hal lain yang lebih mengejutkanku, pikiran yang lebih menakutkan. "Bagaimana kalau Dad pergi bekerja? Siapa yang akan menjaga kami?"
Sesaat ekspresi Ibuku berubah ragu, mungkin karena mendengar nada ketakutan yang sangat jelas dari suaraku. "Gram akan pindah kemari. Ayahmu sudah berbicara dengannya, dia akan tiba di sini nanti."
Ketika menyadari bahwa ini benar-benar terjadi, mereka bahkan sudah mengatur agar Gram pindah kemari, maka bisa dipastikan perpisahan ini bersifat permanen dan bukan semacam perpisahan sementara yang akan selesai begitu akal sehat orang tuaku kembali. Aku menggeleng. "Tidak," bisikku. "Ini buruk sekali, Mom."
Dia terperangah mendengar letupan emosiku. "Tapi kalian semua mencintai Gram! Kalian pasti senang bersamanya disini."
"Bukan itu intinya," sergahku. "Gram bukan kau, Mom! Kau tidak boleh melakukan ini pada kami."
Dia menarikku kedalam pelukannya, tetapi dengan segera aku melepaskan diri. Aku tidak mau ditenangkan sementara dia akan keluar dari pintu dan menghancurkan hidup kami.
"Aku tidak melakukan ini kepadamu." cetusnya, ekspresinya memohon pengertian. "Aku melakukan ini untuk diriku sendiri. Kumohon, mengertilah. Setidaknya inilah jalan terbaik untuk kita semua." Dia menyentuh pipiku yang panas oleh air mata. "Kalian akan menyukai Sydney, Kate. Terutama kau. Kita akan pergi ke bioskop, gedung pertunjukan, dan galeri seni."
Mataku melotot terkejut. "Mom akan pindah ke Sydney?" Sesaat aku melupakan impianku sendiri untuk bekerja di sana suatu hari nanti, menjadikan namaku terkenal di dunia keuangan. Yang bisa kupikirkan saat ini adalah Sydney yang berjarak berjam-jam lamanya dari rumah kami di Winton, Queensland. Sebagian dari diriku berharap ibuku tinggal tidak lebih jauh dari kota tetangga, seperti Rockhampton atau Townsville. Bukankah itu sudah cukup jauh untuk melarikan diri dari masalahnya dengan ayahku tanpa mengabaikan anak-anaknya?
"Apa yang harus kami lakukan jika membutuhkanmu?" desakku.
"Tentu saja kalian bisa meneleponku." sahut ibuku.
"Dan menunggumu beberapa jam sebelum tiba di sini? Mom, ini gila!"
"Sweetheart, ini tidak akan terlalu lama, maksimal beberapa minggu, kemudian kalian akan tinggal bersamaku. Aku akan mencari tempat yang bagus untuk kita, sekolah terbaik untuk kalian. Ayahmu dan aku sudah sepakat mengenai itu."
Aku ingin percaya bahwa semua akan berjalan baik-baik saja. Namun, pada saat yang sama aku ingin menahannya, disini untuk menjawab semua pertanyaan sampai dia lupa dengan rencana gilanya. Lalu mendadak sebuah taksi berhenti di luar. Dengan ngeri, aku menatapnya sebelum kembali melihat ibuku. "Mom akan pergi saat ini juga, bahkan tanpa berpamitan?" Ya Tuhan, kenapa dia begitu kejam?
Air mata mengalir di pipi ibuku. "Percayalah padaku, ini keputusan terbaik dan termudah untuk kita. Aku sudah meninggalkan surat untuk semuanya di bawah pintu kamar tidur mereka dan aku akan menelepon malam ini. Kita akan segera berkumpul kembali."
Sementara aku tetap berdiri disana, membeku karena terkejut, ibuku mengambil dua atas pertama dan membawanya melewati teras tangga depan menuju taksi yang sedang menunggu. Supir taksi muncul untuk membantunya mengangkat tas yang lain.
Kemudian dia berhenti di ambang pintu dan menyentuh daguku. "Aku mencintaimu, Sayang. Dan, aku tahu kau sangat tegar. Kau akan berada disini mendampingi adik-adikmu. Hanya inilah yang akan membuat perpisahan ini menjadi baik."
"Ini tidak baik!" jawabku dengan penuh amarah, suaraku mulai meninggi. Sampai detik ini, aku selalu berhasil mengontrol emosiku, tapi saat menyadari dia benar-benar akan pergi membuatku ingin berteriak. Aku bukan orang dewasa, dan ini bukan merupakan tanggung jawabku. Dia dan ayahku yang harus memikul tanggung jawab terhadap kami, anak-anak mereka.
"Aku membencimu!" jeritku ketika ibuku berjalan keluar. Aku menjerit sekali lagi untuk memastikan dia mendengar amarah dalam suaraku, tapi dia tidak menoleh sedikitpun.
Aku pasti akan terus berteriak hingga taksi itu lenyap dari pandanganku, tapi sudut mataku menangkap suatu gerakan. Aku melirik dan melihat Sam, mataku melotot kebingungan dan terkejut.
"Mommy," bisik Sam, dagunya bergoyang saat menatap taksi yang menghilang dari balik pintu yang terbuka. Rambut pirangnya kusut. "Mommy pergi kemana?"
Aku mencoba mengumpulkan kekuatan dalam diriku yang kata orang kumiliki, lalu berusaha memadamkan seluruh amarah dan memaksakan seulas senyum untuk adik kecilku. "Mommy hanya jalan-jalan."
Air mata Sam menggenang. "Kapan Mommy pulang?"
Aku mengayunkan tangan merangkul adikku. "Entahlah." jawabku tersekat, kemudian menambahkan dengan kepercayaan diri yang sebenarnya tidak kurasakan. "Mom janji tidak akan lama."
Tentu saja, itu merupakan kebohongan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 44 Episodes
Comments
misu
hai thor,,aku mampir
2022-10-25
0