Aku agak kecewa karena tak melihat Gram di mana pun saat aku tiba di ruang makan dan meja hanya disiapkan untuk dua orang. Kulirik Luke yang menyeringai memandangku.
"Nah, bukankah ini perkembangan tak terduga yang cukup menarik?" gumamnya. "Mungkinkah ini berarti nenek mau menjodohkan kita?"
"Tentu saja tidak!" kataku dengan sengit.
"Karena kau sudah menikah? Paling tidak dengan adanya anak-anak, pasti ada seorang suami dalam keluarga ini."
"Ya, itu dulu," Aku mengakui, sesaat menyesali perceraianku sebab aku merasa keberadaan seorang suami dapat menghilangkan pancaran aneh di mata Luke.
"Berpisah? Bercerai?" tanya Luke seraya mengeluarkan kotak-kotak salad potong dari kantong yang dibawanya. Tanpa bertanya, dia menghidangkan salad itu ke piring keramik bertepi emas dan bergaya formal yang telah Gram letakkan di atas meja.
"Bercerai," sahutku, mengatakan gigi tak senang karena pembicaraan ini beralih ke area pribadi. "Dengar, ya, kita disini untuk mendiskusikan penginapan, bukan kehidupanku."
"Aku hanya mengejar ketinggalan," kata Luke sembari meraih kantong yang kedua dan mengeluarkan sebuah kotak yang ternyata berisi chocolate mousse buatan ke klub yacth, salah satu makanan penutup favoritku, yang kini sudah mengerut.
Kadang, mousse itu satu-satunya cara Luke atau keluargaku untuk meluluhkan kekerasan hatiku. Mereka bahkan menambahkan sesendok ekstra whip cream di atasnya, persis seperti yang kusukai. Aku mengerutkan dahi saat Luke meletakkannya di depan tempat dudukku. Bagaimana mungkin dia masih mengingatnya? Dan, mengapa dia mau bersusah payah? Apakah ini hanya salah satu caranya untuk mempengaruhiku, dan berusaha menarikku keluar dari keseimbangan sebelum menyerangku dengan beberapa tipuan yang tak kuduga?
Aku menunggu dengan was-was hingga dia duduk, lalu berkata, "Ada apa ini, Luke?"
Luke memandangku dengan raut tak berdosa. "Seharusnya kita bertemu saat makan siang. Jadi, aku membawakan makan siang. Aku tidak melihat ada kejahatan dalam aksiku. Bahkan, kupikir aku sudah sangat tenggang rasa mengingat anak-anakmu sedang sakit. Kembar, bukan? Kalau tidak salah itu yang Gem bilang."
"Crystal dan Pearl," jawabku dengan tegas, masih belum percaya sepenuhnya pada semua perhatian ini. "Mereka tertular campak kemarin. Dan, tak lama lagi mereka pasti terbangun dari tidur siangnya. Jadi, kita harus segera menyelesaikan urusan ini. Apakah dewan pimpinan mengadakan rapat?"
"Ya."
"Jangan paksa aku membuatmu menceritakannya. Katakan saja keputusan mereka." dengusku tak sabaran.
"Semua tetap pada tempatnya selama kau ikut bergabung."
Aku tidak yakin mengapa aku berharap mendapatkan penangguhan. Mungkin dewan pimpinan secara kolektif bisa melihat tipuan Luke dan tidak mengindahkannya. Jelas sekali, aku tidak memperhitungkan sikap menyakinkan atau kebulatan tekad laki-laki ini.
Dengan menelan keinginanku untuk mengucapkan argumen lain yang tak akan bisa kumenangkan, aku menatapnya. "Menurutmu, bagaimana ini akan bisa berjalan? Aku memiliki karir, Luke, dan letaknya ada di Sydney. Dengan mudah, aku bisa mengawasi semua pengeluaran dari sana, tetap mengikuti perkembangan pembayaran, dan seterusnya."
Dia menggelengkan kepala. "Tidak cukup bagus. Ayolah, Kate, kau mengenal Sam. Begitu kau berbalik dan berangkat ke Sydney, dia akan kembali melakukan pengeluaran impulsif, dan kau akan terus berjuang untuk menutupinya."
Aku menatapnya dengan sungguh-sungguh. "Akan kupastikan itu tidak terjadi. Aku berjanji."
"Tidak. Itu belum cukup."
"Apa maksudmu?" tanyaku geram.
"Aku punya pengalaman dengan kata-katamu yang tak dapat diandalkan, ingat?"
"Ini konyol sekali. Kita sedang membicarakan dua situasi yang sama sekali berbeda. Lagi pula, aku tidak pernah menjanjikan apa-apa padamu sepuluh tahun lalu."
"Kau bilang kau mencintaiku. Aku menanggapi kata-katamu dengan serius."
"Aku memang mencintaimu," kataku, frustasi dengan tekadnya menggunakan kisah lama tersebut untuk memanipulasi masa kini.
"Tapi, lantas kau menghilang tanpa kata perpisahan, apalagi penjelasan. Aku tak mau mengambil resiko itu terjadi lagi, setidaknya sampai bank merasa yakin bahwa pinjaman ini aman."
"Maksudmu, sampai kau merasa yakin?" desisku. "Ini tidak ada hubungannya dengan apapun yang dibutuhkan orang-orang di bank. Ada banyak uang di rekening penginapan yang dapat menutupi pengeluaran, dan kau tahu itu. Ini upaya balas dendam, murni dan sederhana, Luke. Dan, aku membencinya. Kau mengeluarkan drama kita kepada adikku. Kau tahu sekali bahwa dia akan mengembalikan setiap sen pinjaman itu. Begitu pula bank. Masalah ini antara kau dan aku. Akui saja."
"Sungguh?" dengkurnya, pura-pura polos.
"Aku tidak mengira kau bisa begitu penuh dendam dan kebencian."
"Tepat sekali untuk membuktikan bahwa kita tak benar-benar saling mengenal, karena aku tidak mengira kau bisa begitu kejam dan pengecut, Catherine Clay."
Kata-katanya berhasil menghantamku. Aku tahu aku pantas mendapatkannya, karena memang begitulah aku, kejam dan pengecut. Tapi, tetap tidak mudah untuk mendengar atau kembali dihantui kata-kata itu setelah bertahun-tahun kemudian.
Aku memandangnya dengan raut bingung. "Jika kau begitu meremehkanku, kenapa kau ingin aku berada di sini sekarang?"
"Karena kau selalu menjadi orang yang menggugah rasa ingin tahu dan membangkitkan amarah di Winton." sahutnya. "Aku duga keberadaanmu akan membuat beberapa bulan kedepan jauh dari kata membosankan."
"Jadi, kau menganggapku seekor tikus malang dan kau si kucing besar jahat yang dapat mempermainkanku untuk hiburan?"
"Kurang lebih begitu."
Aku berdiri, tubuhku gemetar dipenuhi amarah. "Kau keji sekali," lirihku, mengambil teko berbahan kaca yang berisi air es.
Pandangan Luke memicing. "Oh, kau tidak akan yang menyiramku dengan itu." katanya menantang. Well, dia salah besar.
"Oh, aku akan melakukannya." balasku, lalu menuangkan isinya ke atas kepala Luke. Dia duduk di sana, basah kuyup, wajahnya melongo tak percaya. Kemudian, aku tersenyum puas. "Yep, itulah yang kulakukan. Dan, kau pantas mendapatkannya."
Lalu, aku memutar tubuh dan naik ke lantai atas untuk memeriksa kedua putriku. Sedikit senang karena berhasil mendemonstrasikan amarahku.
"Apa yang terjadi?" tanya Gram saat kami berpapasan di ujung koridor.
"Aku baru saja menumpahkan seteko air es ke atas kepala Luke Dawson." jawabku dengan bangga.
Gram mengerjapkan mata sambil menahan diri agar tidak meringis. "Apa itu tindakan yang bijak?"
Aku menarik napas dalam-dalam. "Mungkin tidak, tapi rasanya sangat menyenangkan."
"Kate?" Gram melemparkan tatapan peringatan padaku.
"Okay, okay. Dia sengaja membawa masalah pribadi ke dalam pertemuan, Gram. Aku tidak menyukai itu. Dari awal aku sudah bisa menebak motifnya menahanku di sini. Luke ingin membalas dendam, dan dia salah besar jika mengira aku akan membiarkannya begitu saja."
"Jadi, menurutmu dia akan mundur setelah kau menyiramnya dengan soteko penuh air es?" Gram menyeringai.
"Tidak. Itu hanya permulaan." gumamku. "Aku akan melihat anak-anak sebentar."
Memberi pelajaran kecil pada Luke Dawson memang menyenangkan, namun mengingat aku atau bahkan mungkin Sam kemungkinan besar akan membayar tindakan tadi, membuatku sedikit cemas.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 44 Episodes
Comments