"Come back home"

"Kita mau kemana, Mommy? Beritahu kami lagi," Crystal memerintah.

"Kapan kita sampai?" Pearl merengek. "Kita sudah di mobil lama sekali. Aku mau pulang."

"Baru setengah jam yang lalu kita meninggalkan bandara," kataku pada Pearl, kesabaranku sudah habis oleh antrian pengamanan yang panjang di bandara Sydney dan bahkan lebih membosankan saat menunggu di tempat penyewaan mobil di Winton. Penerbangannya sendiri hanya satu jam lebih.

Awalnya kedua putriku bersemangat sekali karena akan naik pesawat, tetapi sekarang mereka lelah dan rewel, dan sama sekali tidak tertarik dengan pemandangan selama kami melintasi jalur selatan menuju rumah. Mereka mungkin akan tenang jika berhenti membeli es krim atau jajanan lainnya, tapi aku memegang prinsip teguh tidak memberi mereka hadiah atas perilaku buruk mereka hanya demi mendapatkan beberapa menit ketenangan.

"Kenapa kalian tidak mencoba tidur siang?" kataku dengan nada sedikit memohon sambil melirik ke kursi penumpang bagian belakang dari cermin. "Saat bangun, kupastikan kita sudah sampai di rumah Gram, dan aku tahu dia sudah membuatkan sugar cookies dan susu untuk kalian. Ingat tidak, kalian sangat senang saat terakhir kali Gram mengunjungi kita di Sydney dan membuatnya?"

"Aku lebih suka chocolate chip," Pearl menggerutu, berkeras menunjukkan dia tidak bisa dibujuk oleh apapun.

"Well, aku suka sugar cookies," balas Crystal. "Jadi, aku akan makan semuanya!"

"Tidak boleh!" Pearl menjerit. "Mommy, bilang padanya dia tidak boleh makan semua kuenya. Setengahnya bagianku."

Aku menahan erangan. "Aku yakin kuenya cukup banyak untuk kalian berdua. Sekarang tutup mata kalian. Kalau kalian serewel ini saat kita tiba di sana, kalian tidak akan mendapatkan hadiah apapun. Dan, akan langsung tidur."

Mereka terdiam, tapi saat aku melirik dari cermin, mereka terlihat saling mengejek. Aku membiarkannya. Perhatianku harus berpusat pada lalu lintas yang ternyata sudah meningkat setidaknya sepuluh kali lipat sejak terakhir kali aku menyetir di kota ini. Perasaanku sudah tidak sabar ingin berbelok ke jalanan Southland yang lebih jarang dilintasi.

Sayangnya, kenyataan tidak sesuai dugaanku. Sepertinya hari ini setiap orang memiliki pikiran yang sama untuk mendatangi salah satu daerah tepi laut saat Southland pada pada Jumat malam.

Aku keluarkan ponsel dan menekan nomor Sam pada tombol panggilan cepat. "Lalu lintasnya parah sekali," kataku begitu Sam menjawab. "Dengan kecepatan seperti ini, butuh satu jam lebih lama untuk sampai di sana."

"Aku akan mengabari Gram," sahut Sam. "Aku sedang dalam perjalanan ke sana sekarang. Tarik nafas panjang. Kepiting dan anggur akan menunggumu."

"Terima kasih, terima kasih. Sampai jumpa sebentar lagi."

Ternyata Butuh waktu satu jam dan sepuluh menit sebelum akhirnya aku berbelok menuju daerah rumah keluargaku. Aku ingin langsung menuju rumah, tapi karena kedua anakku masih tertidur, aku pun berbelok ke pusat kota dan melihat-lihat kembali daerah bisnis di Main Street yang berderet sepanjang empat blok dari tepi laut sampai alun-alun kota.

Ada satu toko yang tampak kosong, tapi semua jendela toko lainnya dipenuhi pajangan warna-warni. Dengan jendela mobil terbuka, aku menghirup dalam-dalam udara asin yang terasa akrab itu, kemudian mendengar aliran bunyi lagu lembut dari konser ruang terbuka di pinggir pantai. Aku lupa dengan tradisi pertunjukan Jumat malam gratis di area band sepanjang akhir musim semi, musim panas, dan awal musim gugur, saat cuaca mengundang keramaian ke tengah kota. Kupikir malam ini malam Jazz, karena sedikit agak kental di bagian saksofonnya.

Aku tersenyum, teringat debat yang pernah kualami bersama ayahku tentang campuran musik yang pas di awal-awal konser dulu. Jika ayahku dan Gram yang menentukan, setiap minggu pastilah konser itu menampilkan penyanyi dan penari Selandia baru.

"Mommy, aku dengar suara musik," gumam Pearl sambil menguap. "Apa kita pergi ke pesta?"

"Tidak, tapi kita sudah hampir sampai," kataku memberitahunya. "Lima menit lagi dan kita akan tiba di sana."

Aku mulai menjalankan mobil lalu berbelok keluar dari pusat kota dan mengambil jalan tepi pantai hingga ke ujungnya yang mulai berkelok-kelok menanjaki bukit yang rendah. Di puncak bukit, aku berbelok ke kiri dan memasuki jalan masuk panjang yang berujung di bagian belakang rumah klasik menghadap pantai yang dikelilingi teras dan memiliki banyak kaca untuk menyerap pemandangan laut yang menakjubkan, sekaligus cahaya yang menyusup masuk dari setiap jendela. Dua sosok, yang satu gesit dan yang satu agak bungkuk, muncul dari balik bayangan teras saat aku menghentikan mobil.

"Gram!" Crystal berteriak, berusaha melepaskan diri dari kursi mobil.

"Dan, Aunty Sammy!" Pearl ikut menjerit menimpali, mencoba membuka pintu di sebelahnya. Aku melepaskan kunci pengaman untuk anak-anak dan Pearl langsung melompat, berlari menyebrangi taman dan menghempaskan tubuh ke adik perempuanku.

Sam terhuyung ke belakang, kemudian memeluk keponakannya erat-erat, sementara Crystal meraih nenek buyutnya untuk rangkulan yang lebih lembut, seolah tahu secara naluriah agar lebih berhati-hati dengan wanita yang lebih tua.

Aku menikmati pemandangan ini sambil tersenyum. Mengapa aku tidak melakukan ini lebih sering? Apakah benar aku terlalu sibuk? Atau apakah aku sengaja membuat alasan karena perasaanku yang bercampur aduk mengenai pulang, dengan caraku memaksa diri untuk pergi tanpa menoleh ke belakang lagi? Sampai sekarang, aku tidak menyadari betapa aku merindukan berada di sana, dengan angin pantai yang berdesir menyusup di antara pepohonan, suara ombak yang menghempas di tepi pantai, serta setumpuk kepiting Sounthland yang menjanjikan dan anggur dingin yang menunggu di teras bersama kue apapun yang Gram panggang hari ini.

Nenekku menatapku dan memberiku senyum penuh pengertian. "Rasanya menyenangkan saat pulang ke rumah, kan?"

"Lebih baik dari yang kubayangkan," gumamku mengakui. "Bagaimana kabarmu, Gram? Gram tampak sehat." Gram sudah pasti tidak tampak seperti usianya, yaitu kira-kira sembilan puluh tahun berdasarkan perhitunganku meski dia tidak mau mengakuinya. Setiap kali salah satu dari kami berusaha memojokkannya, bahkan demi urusan penulisan silsilah keluarga, tanggal lahirnya selalu berubah sesuai keinginannya.

"Aku merasa lebih sehat karena ada kalian bertiga disini untuk sesaat," kata Gram. "Bagaimana kalau kita memberi makan gadis-gadis ini terlebih dahulu, dan kita akan menyantap makanan kita sendiri saat sudah lebih tenang?"

"Kedengarannya sempurna," sahutku.

"Kalau begitu biar aku yang membawa mereka masuk dan menunjukkan kamarnya. Aku akan menempatkan mereka di kamar Jacob karena ranjang twin-nya ada disana. Tapi, aku tidak berhasil menyuruh adik laki-lakimu mengambil satu pun trofi dan pita penghargaan olahraga. Seolah-olah dia masih tidur di sana saja."

Aku menyeringai. "Kacau dan kotor, kalau begitu." kataku. "Mereka akan menyukainya."

Setelah Gram, Crystal, dan Pearl masuk, aku berbalik ke adikku dan memberinya pelukan hangat. "Nah, sekarang, apa kau sudah siap untuk mengatakan kenapa aku harus datang kemari?"

Dia melayangkan tatapan masam padaku. "Selalu ingin cepat-cepat ke intinya, ya? Tak bisakah kau santai selama lima menit saja?"

"Tidak jika kau ingin aku menyelesaikan masalah ini dalam beberapa hari, apapun itu."

"Kurasa masalah itu bisa menunggu sedikit lagi. Aku tidak mau membahasnya sebelum Gram tidur, dia akan khawatir."

Aku mengernyit. "Apa seserius itu?"

"Sudah kukatakan, ini masalah hidup atau mati." gumamnya tak sabaran. "Ayo, aku butuh satu atau dua gelas anggur dulu sebelum kita membahas semua itu."

Melihat suasana hati adikku yang murung, kurasa mungkin aku juga membutuhkan beberapa gelas anggur untuk diriku sendiri.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!