...Luke Dawson POV...
"Setidaknya, bisakah kau memakai dasi?" Ayahku menggerutu, mengerutkan dahi padaku. "Kalau kau ingin mengambil alih bank ini, kau harus memberikan contoh yang baik pada karyawannya. Kau tidak boleh datang kemari dengan tampang seperti baru turun dari Harley Davidson."
Aku memandang ayahku dengan girang. "Memang persis itulah yang kulakukan. Motorku ada di lapangan parkir."
Kerutan dahi ayahku bertambah dalam. "Kupikir aku sudah menyuruhmu menggunakan mobil ibumu. Kau harus menjaga imej sekarang."
"Apa yang harus Mom lakukan?" tanyaku dengan penasaran. "Aku tak bisa membayangkan dia menaiki Harley-ku ke pertemuan klub taman."
"Dia punya puluhan teman yang akan dengan senang hati menjemputnya." sahut ayahku.
"Yah, kelihatannya tak seorangpun dari mereka mau ikut membeli macam-macam barang kebutuhan bersamanya setelah pertemuan." jawabku.
"Kau memang selalu memiliki jawaban untuk apapun, ya?" gerutunya. "Situasi ini tidak akan berhasil kalau kau tidak menganggapku atau pekerjaan ini dengan serius."
"Aku selalu menanggapi Dad dengan serius," cetusku. "Sementara untuk pekerjaan, aku tidak mau mengambilnya sama sekali. Karirku sangat bagus di Sydney. Hanya karena aku tidak mau mengenakan jas atau menggunakan kalkulator bukan berarti pekerjaan itu tidak terhormat."
Bahkan, karirku sebagai desainer paruh waktu tak hanya menghasilkan cukup uang, tapi juga memungkinkanku tinggal dan bekerja di sebuah gedung besar di daerah Bent Street. Dan, pekerjaan itu tidak mewajibkanku menuruti kemauan ayahku. Itu nilai tambah yang penting berdasarkan pandanganku.
Kini, kerutan ayahku semakin dalam. "Lalu? Apa aku harus membiarkan bank komunitas ini dilahap salah satu konglomerat bank besar?"
"Mungkin begitu," kataku, tahu bahwa jawabanku akan menekan tombol emosi ayahku. "Begitulah jalan hidup dunia perbankan."
"Well, bank ini tidak akan seperti itu, paling tidak selama aku masih punya hak bicara." cetusnya dengan keras kepala. "Winton Community Bank melayani orang-orang di kota ini dengan cara yang tak akan bisa dilakukan perusahaan besar yang tidak jelas dan tidak mengenal mereka secara pribadi."
Aku tidak mampu mendebat poin ini. Hanya saja aku tak mau ambil bagian dalam menjalankan bank, entah itu warisan keluarga atau bukan. "Kenapa Dad tidak menjadikan Janice sebagai penanggung jawab?" tanyaku, merujuk pada adik perempuanku.
Aku sengaja mengangkat topik ini. Jika aku bisa meyakinkan ayahku untuk menempatkan Janice pada pekerjaan yang selalu diinginkannya ini, aku bisa pulang ke Sydney besok pagi. Yang harus kulakukan adalah menjejalkan ide ini ke ayahku.
"Pikirkan itu, Dad. Dia menguasai angka-angka. Nilai matematika-nya tinggi bukan main, dan hampir semua nilainya tinggi dalam pelajaran bisnis di kuliahnya. Dia memiliki gelar master dari Monash University, dan kemampuannya sangat natural."
"Aku sudah memikirkan itu," gumamnya mengakui. "Bahkan aku sudah membicarakan itu dengannya, tapi adikmu menyuruhku pergi."
Itu tidak terduga. "Kenapa?" tanyaku heran.
Ayahku mengangkat bahu. "Dia mengatakan tidak mau menjadi pilihan kedua seseorang, bahkan diriku."
Aku memandangnya dengan raut bingung. "Tapi, Dad memintanya lebih dulu."
"Kapan adikmu pernah pakai logika? Dia yakin aku hanya memintanya karena aku tahu kau tidak menginginkan pekerjaan ini."
"Kurasa kau tidak berusaha meyakinkannya bahwa dia salah." sergahku.
"Bagaimana bisa kulakukan itu sementara yang dikatakannya merupakan kebenaran."
"Kapan kalian berdua bisa belajar berkomunikasi?" Aku menggerutu.
Aku dan ayahku berselisih sepanjang sembilan puluh persen waktu, tapi dia dan adikku jarang sekali sepakat mengenai sesuatu, mulai dari hal remeh seperti sereal untuk sarapan sampai keputusan penting tentang siapa yang pantas mengelola bank. Memang sudah seperti itu sejak Janice belajar berbicara.
"Maksudmu, berkomunikasi seperti kau dan aku?" katanya dengan tetus dan tajam.
"Ya, paling tidak seperti itu." sahutku. "Dengar, Dad... aku akan berbicara dengannya dan berusaha melancarkan sesuatu di antara kalian berdua. Harga dirinya terluka karena selama bertahun-tahun Dad jelas-jelas menunjukkan bahwa Dad menginginkanku disini, tapi dia akan paham."
Ayahku memukul meja dengan kepalan tangan. "Sialan, kaulah yang seharusnya paham, Luke! Bagaimana dengan kesetiaan terhadap keluarga? Seorang pria bekerja seumur hidupnya untuk membangun sesuatu yang baik bagi anak laki-lakinya, dan kau membuangnya tanpa pikir panjang."
"Aku memikirkannya seumur hidupku. Kau tidak pernah merahasiakan keinginanmu, Dad. Sudah berkali-kali aku memikirkan masalah ini sejak kau menelepon. Dad, ayolah... kau tahu bekerja dari pukul sembilan sampai pukul lima tidak cocok untukku. Aku menyukai pekerjaan yang membutuhkan kreativitas, sebuah kata yang cenderung membuat para bankir cemas bukan main."
Senyum samar akhirnya mengembang di bibir ayahku. "Memang benar," dia mengakui. "Bagaimana kalau begini? Kita coba dalam waktu enam bulan. Kalau kau masih membencinya, kau boleh menyerah dengan restu dariku. Cukup adil, bukan?"
Sebagai seniman terhormat dan laris yang bekerja paruh waktu untuk beberapa perusahaan iklan terkenal di Sydney, aku memiliki fleksibilitas untuk melakukan permintaan ayahku. Bahkan aku bisa tetap menjalin hubungan dengan beberapa klien agar pikiranku tidak berubah sinting di Winton ini. Jika cara itu bisa memberiku kebebasan permanen, maka aku akan bertahan melalui enam bulan dengan menggunakan jas. Dan untuk manfaat jangka panjangnya, rasanya menunjukkan kesetiaan dalam waktu singkat lebih bijak dibandingkan menciptakan keretakan di dalam keluarga.
Selain itu, aku bisa memanfaatkan waktu tersebut berusaha meyakinkan adikku untuk melupakan harga dirinya yang bodoh dan merasa menjadi pilihan kedua. Janice menginginkan pekerjaan ini sejak dia bisa belajar menghitung. Dia harus meraihnya, alih-alih menyia-nyiakan talentanya menjadi bendahara beberapa pengusaha lokal. Sayangnya, dia mewarisi sifat keras kepala ayahku. Mungkin aku akan membutuhkan setiap hari dalam enam bulan tersebut untuk mendamaikan mereka berdua.
"Baiklah, enam bulan." kataku menyetujui. "Tidak lebih sehari pun."
Wajah ayahku berseri-seri memandangku. "Kita lihat nanti. Kau mungkin akan menyadari bahwa kamu memiliki bakat dalam dunia perbankan."
"Atau Dad menyadari bahwa aku tidak cukup kompeten saat menghadapi matematika."
"Aku memiliki hasil tes perguruan tinggimu dan hasilnya mengatakan sebaliknya." Dia berdiri lalu mengulurkan tangan. "Selamat bergabung, Anakku."
Aku menerima uluran tangannya sambil mengamati wajahnya dengan lekat-lekat. Menyadari ada kilatan cahaya di matanya yang menyiratkan sesuatu yang lebih dari negosiasi ini. "Apa yang sebenarnya Dad rencanakan?" tanyaku hati-hati.
"Rencanakan?" Dia memasang wajah pura-pura polos.
"Jangan coba-coba bersikap polos, Dad. Kau sedang merencanakan sesuatu dan itu tak ada hubungannya dengan aku menjadi anak didikmu di sini."
"Kita sudah membuat kesepakatan bisnis, itu saja." katanya bersikeras. "Sekarang, mari kutunjukkan kantormu. Saat ini dekorasinya standar, tapi kau boleh merubahnya sesukamu kalau kau memutuskan untuk tetap tinggal. Sementara itu, aku akan meminta Christian membahas map kredit pinjaman bersamamu. Kita ada rapat dengan komite kredit peminjaman Selasa pagi, dan kau harus sudah menyiapkan rekomendasimu pada saat itu."
Aku mengangkat sebelah tangan. "Tunggu sebentar. Pengetahuanku tidak cukup banyak untuk membuat rekomendasi apakah aplikasi pinjaman harus disetujui atau tidak."
"Christian akan menunjukkan detailnya padamu. Dia satu-satunya orang kepercayaanku selama ini. Dan, semua dokumen itu bukan hanya berisi aplikasi pinjaman, kemungkinan ada tentang penyitaan juga."
Perutku mencelos. "Dad ingin aku memutuskan apakah rumah seseorang harus diambil kemudian dilelang?"
"Kita bicara soal bisnis, bukan rumah. Lagi pula, kau tidak akan memutuskannya sendirian. Dewan pengurus yang akan memberi keputusan akhir, namun kemungkinan besar kami akan bertindak berdasarkan rekomendasimu."
"Tidak," bantahku. Memangnya siapa aku yang tega mencabik-cabik impian seseorang menjadi berkeping-keping? Bisnis di Winton umumnya kecil dan dijalankan oleh keluarga. Rasanya akan seperti mengambil makanan tepat dari meja seseorang yang kukenal. Aku tidak mungkin memiliki nyali untuk melakukan sesuatu semacam itu.
"Kau tidak boleh berhati lembut, Son. Ini murni bisnis, urusan dolar dan sen. Kau akan melihatnya begitu memeriksa dokumen-dokumennya." Dia menepuk pundakku. "Mulailah memeriksa dokumen itu dan aku akan menyuruh Christian masuk."
Aku memandang gusar pada punggung ayahku yang berjalan keluar, kemudian menoleh ke tepukan map di tengah meja besar yang memenuhi sudut ruangan. Tepat di tumpukan paling atas, terlihat satu map berstiker merah di depannya.
Aku duduk di kursi kulit di balik meja, memandang waspada ke dalam map itu. Rasa penasaranku akhirnya mengambil alih, dan aku membuka dokumen tersebut.
"Oh, sialan!" bisikku saat membaca tulisan teratas.
...Kemungkinan peringatan penyitaan Penginapan di Kango Point. Pemilik: Samantha Clay....
Aku mengenal Sam Clay, tapi bukan sosok Sam yang segera muncul dalam pikiranku. Sosok kakaknya-lah yang melintas. Catherine, wanita yang telah mencuri hatiku bertahun-tahun lalu pada malam musim panas yang penuh gairah, lalu menghilang bahkan tanpa mengucapkan selamat tinggal.
Selama bertahun-tahun, aku meyakinkan diri bahwa sungguh tak masuk akal untuk terus mengingat memori yang begitu menyesakkan. Aku berusaha menghilangkan ingatan itu dengan menjalin hubungan yang lain, meski kebanyakan hanya bersifat kesenangan sesaat, tapi ada beberapa juga yang mendalam. Pada akhirnya, aku tetap tidak bisa mengenyahkan hasratku pada seseorang berambut pirang, bermata ceria, dan memiliki semangat pantang menyerah yang setara denganku.
Dan, kini aku harus memutuskan nasib adik perempuannya?
Satu hal yang kuketahui tentang keluarga Clay, mereka berjuang bersama-sama. Jika aku berurusan dengan Sam, berarti aku juga harus berurusan dengan yang lainnya, termasuk Kate. Apakah ini yang menyebabkan sinar berkelebat di mata ayahku tadi?
Aku menepiskan kemungkinan itu. Ayahku tidak mungkin tahu bahwa selama ini aku masih terus menyimpan bara asmara pada Kate. Tak seorang pun tahu.
Kecuali, Janice. Dia merupakan sahabat Kate. Bahkan dia melindungi kami berdua pada malam menakjubkan di sebuah gua terpencil di pantai. Atau mungkinkah adik dan ayahku bekerja sama dalam hal ini?
Aku gemetar membayangkan kemungkinan itu. Mungkin akhirnya keinginanku akan terwujud dan bisa bertemu Kate lagi. Atau Mungkin aku akan mendarat dalam kekacauan besar? Aku tidak tahu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 44 Episodes
Comments