"Father-daughter II"

...Author's POV....

Ketika Sam kembali dengan membawa segelas teh, William mengangkatnya untuk bersulang. "Selamat, Sam. Kau melakukan pekerjaan yang sangat bagus. Sudah lama sekali tempat ini tidak terlihat sebagus ini sejak Jeff dan aku menjualnya kepada keluarga Jenkins."

"Mereka benar-benar membiarkannya hancur berantakan." kata Sam. "Tapi, berkat Dad, rumah ini memiliki kerangka yang bagus. Sebagian besar yang harus kulakukan hanyalah mempercantiknya."

"Aku ingin lihat hasil pekerjaanmu di dalam, jika kau ada waktu untuk mengajakku berkeliling dan menunjukkan isinya."

Sam tampak terkejut mendengarnya. "Benarkah?"

"Kenapa tidak? Aku sudah di sini. Kecuali kau tidak ada waktu."

"Ada, ayo." kata Sam, walau dia tampak berusaha keras menyimbangkan keinginannya memamerkan prestasi dengan ketakutan akan reaksi William. "Setidaknya, aku bisa meluangkan waktu untuk tur keliling seharga lima puluh sen."

William mengikutinya ke dalam, mengingatkan dirinya untuk menjaga komentarnya tetap positif dan palsu, separah apapun dia ingin memberikan nasehat. Namun, saat mencapai lantai ke tiga, William menyadari bahwa ternyata peringatan itu tidak perlu. Sam telah melakukan pekerjaan yang sangat bagus tanpa masukan darinya. Dia memiliki gaya intuisi pamannya, Jeff. William dapat merancang struktur yang awet, sebuah pengembangan yang dapat menjadi komunitas baru, tapi Jeff-lah yang memberikan karakter individual pada setiap rumah.

"Aku terkesan," kata William saat mereka selesai mengelilingi semua ruangan, termasuk dapur dengan permukaan stainless steel yang mengkilat. Kontrasnya, peralatan-peralatan masa tuanya tampak sedikit kuno dimakan usia. "Kau benar-benar memiliki kemampuan khusus tentang ini, Sam."

William terkejut melihat Sam yang mengerjap menahan air mata. "Terima kasih," gumamnya, lalu berbalik, menyibukkan diri dengan menuangkan teh lagi.

William meletakkan tangan di bahu putrinya. "Aku sangat bangga kepadamu."

Sam pelan-pelan berbalik, matanya bercucuran air mata. "Dad tidak pernah bilang begitu padaku sebelumnya."

"Tentu saja..."

Tulang rahang Sam tampak mengeras. "Tidak, Dad. Tidak pernah."

"Kalau begitu, maafkan aku. Ini sudah pasti bukan pertama kalinya benar."

Senyuman yang mengembang perlahan di wajah Sam membuat William merasa sedih. Bagaimana mungkin dia tidak melihat bahwa Sam sangat membutuhkan hal sederhana seperti ucapan persetujuan darinya? William berjanji akan lebih murah hati memberikan pujian kedepannya. Namun, saat ini ada masalah lain yang perlu ditangani, dan dia cukup bijak untuk mengetahui bahwa masalah ini harus ditempuh dengan hati-hati, bahkan jika itu tidak seperti sifatnya yang blak-blakan. Tetapi, dia tetap bimbang untuk mengungkit soal rapat di bank dan menghancurkan momen damai yang susah payah dia ciptakan bersama anak bungsunya ini.

Pada akhirnya, karena hasil rapat itu masih mengganjal di tenggorokannya, William tak dapat menahan diri. "Sam, bagaimana perasaanmu mengenai yang terjadi di bank?"

Sam mengerutkan dahi dan mundur, memutus kedekatan mereka dan benar-benar menjaga jarak di antara mereka kembali. "Aku tidak senang dengan hasilnya, tapi kurasa aku bisa memahami maksud Luke. Kate lebih baik dalam hal keuangan dibandingkan aku, dan dia juga tidak akan mengambil penginapan ini dariku. Kate hanya akan terlibat sampai kondisi keuanganku stabil." Tatapan matanya beradu dengan William, kekawatiran tampak muncul di sana. "Kenapa? Apakah Kate mengatakan sesuatu? Dia tidak akan mundur, kan?"

"Tidak, dia bertekad akan menjalankan semua ini hingga tuntas. Aku hanya ingin memastikan ini tidak akan menyebabkan masalah di antara kalian berdua, karena aku dapat menelepon Timothy Dawson dan mengakhiri rencana Luke."

"Bagaimana caranya?"

"Aku akan ikut menandatangani dokumenmu."

"Tentu saja tidak," sergahnya cepat. "Aku tidak mau Dad menjaminku."

"Ini tidak akan menjadi jaminan. Aku hanya akan menjadi cadanganmu, sehingga kakakmu bisa kembali ke kehidupannya. Tanda tanganku pada beberapa kertas, itu saja."

Sam melemparkan tatapan masam padanya. "Tidak mungkin hanya itu, Dad, dan kau tahu itu. Kau pasti berpikir tanda tanganmu akan mengizinkanmu memberi saran dan hal selanjutnya yang akan kau tahu adalah kau yang akan menjalankan tempat ini."

"Aku tidak akan berada di sini," protes William. "Aku akan kembali ke Melbourne dalam beberapa hari. Ayolah, Sam. Biarkan aku melakukannya untukmu."

"Kenapa Dad begitu memaksaku dalam hal ini?"

"Karena kau putriku. Aku ingin membantu untuk sesuatu yang sangat berarti bagimu. Kau akhirnya menemukan satu hal yang sangat kau sukai. Aku tidak ingin hal itu diambil darimu."

"Kate akan menyelesaikan itu, Dad. Dia selalu mendampingiku. Dan dengan adanya Kate di sini lagi, akan sangat baik bagi kami berdua. Mungkin dia bisa belajar bersantai. Dan, akan sangat menyenangkan bagi Crystal dan Pearl juga. Ini solusi yang bagus, Dad. Aku yakin."

William menghela nafas. "Aku harap begitu."

"Dengar, aku menghargai tawaran Dad, sungguh. Tapi, lebih baik seperti ini. Kate tidak akan menyuruh-nyuruhku."

William melemparkan pandangan tak percaya. "Apa kau benar-benar mengenal kakakmu? Dia tumbuh dewasa dengan memerintah semua orang."

Sam tergelak. "Benar, tapi dia tidak menakutiku."

"Jadi, aku menakutimu?"

"Lebih dari yang Dad tahu," Sam mengakui.

William tersadar, itu hal lain yang harus dia terima dan mencari tahu bagaimana mengubahnya. "Baiklah, kalau begitu. Aku mundur." katanya, merapikan beberapa helai rambut yang menjuntai ke pipi Sam. "Tapi, jika keadaan di antara kalian menjadi tegang, ingatlah tawaran itu masih berlaku. Aku tidak ingin ada yang merusak hubunganmu dengan Kate, oke? Berjanjilah kau akan menelepon ku jika menurutmu itu akan terjadi."

"Aku janji." kata Sam. "Aku senang Dad mampir."

"Aku juga. Apakah ada hal lain yang bisa kulakukan untukmu? Aku cukup ahli mengecat. Aku bisa membantu menyelesaikan kamar-kamar terakhir di lantai atas." usulnya.

William melihat Sam berjuang dengan dirinya sendiri. Putrinya benar-benar terlalu keras kepala untuk mengakui bahwa dia memerlukan bantuan apa pun yang ada, bahkan dari ayahnya. Mungkin, terutama dari ayahnya. William membungkuk dan mencium pipinya. "Sudahlah, aku tahu kau ingin melakukan segala sesuatunya sendiri. Tapi, tawaran itu juga selalu berlaku, andaikan kau berubah pikiran."

"Terima kasih atas pengertiannya, Dad." William tersentak sebab Sam berjinjit dan menciumnya. "Aku menyayangimu."

"Aku juga," katanya. "Apa kau akan datang untuk makan malam?"

"Mungkin."

"Oh, aku harus mengingatkanmu bahwa Crystal dan Pearl terkena campak."

"Oh, Ya Tuhan, Kate pasti kelimpungan."

"Ada Gram dan aku sebagai bala bantuan."

"Kalau begitu, sudah cukup banyak yang harus kalian lakukan. Aku akan melewatkan makan malamnya, tapi telepon aku jika butuh apa pun."

"Baiklah," kata William. Dia sudah setengah jalan saat berteriak lagi. "Omong-omong, kelihatannya bunga rhododendron di belakang teras harus dipotong."

Dia terkejut melihat putrinya tertawa. "Sudah kuduga. Aku tahu Dad tidak bisa pergi dari sini tanpa menemukan satu hal untuk dikritik. Dasar komentator!"

William diam-diam mengutuk dirinya sendiri karena sudah kelepasan. Dia berusaha menganulir komentarnya. "Hei, itu hanya semak-semak. Bukan masalah besar."

Sam menggelengkan kepala, bibir yang masih berkedut geli. "Kalau Dad mau, bawa gunting besok dan pangkas aja sendiri."

Kalimat itu bernada sebagian undangan, sebagian tantangan, tetapi William merasa putrinya seolah baru membuka secelah pintu menuju hubungan yang nyata di antara mereka. Sekarang, dia hanya perlu melihat masuk tanpa menyebabkan keributan yang bisa mengembalikan mereka ke keadaan semula.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!