"After the meeting"

Di luar bank, Sam berdiri di trotoar dengan tubuh gemetar. Dia berputar menghadapku. "Apa yang baru saja terjadi di dalam? Kukira kau berpihak padaku."

"Tentu saja aku berpihak padamu." kataku, agak bingung dengan tuduhan adikku. "Aku melakukan ini semua untuk menghindarkanmu dari kehilangan penginapan itu."

"Mungkin aku memang sudah kehilangan penginapan itu," bentak Sam. "Dia menjadikan kau sebagai penanggung jawab. Bagus sekali, Kak!"

Aku mengerutkan dahi. "Sam, tenanglah. Ayo, kita minum kopi di Glady's sambil membicarakan ini. Kita harus menyusun strategi."

"Strategi untuk apa? Memasang namamu di dalam dokumen?"

"Sam!"

Aku kecewa mendengar kata-katanya, tapi dia tidak mau melunak. Dia sedang dirasuki amarah dan butuh seseorang untuk menjadi sasaran kemarahannya. Aku adalah pilihan yang paling bagus sebab dia tidak bisa kembali ke dalam bank dan meninju Luke. Walau berang, dia tahu tindakan itu tidak menguntungkan.

"Seharusnya kubiarkan saja William yang menanganinya." katanya. "Dia akan menelepon beberapa orang dan bank akan mundur. Aku mungkin harus rela mendengarkan 'Apa kubilang' dari mulutnya hingga akhir hayatku, tapi kupikir itu lebih baik dibandingkan ditikam dari belakang olehmu."

Aku melayangkan tatapan membara padanya, dan langsung menyadari bahwa dia sudah keterlaluan. "Cukup," dengusku dengan suara dingin. "Aku datang kemari karena kau yang meminta. Bukan aku yang menciptakan kekacauan ini, tapi aku berhasil menemukan jalan keluarnya. Aku meyakinkan Luke untuk menyepakati usulku sehingga kau dapat mempertahankan penginapan tersebut." Detak jantungku semakin berpacu. "Dan, sekarang kau menyalahkanku karena Luke memberikan syarat agar proses penyitaan batal? Apa kau pikir aku yang meminta ini terjadi? Apa kau tidak mendengar aku menolaknya? Apa kau benar-benar berpikir Aku mau terjebak di Winton entah berapa lama sementara seluruh hidupku ada di Sydney?" Aku menggelengkan kepala. "Memang benar, tidak ada perbuatan baik yang tidak dihukum."

Setelah mengucapkan itu aku berbalik dan pergi. Semua yang kukatakan itu benar. Aku tidak mengharapkan hasil seperti ini. Dan, mungkin saja, jika Sam tidak menyimpan informasi bahwa aku akan berurusan dengan Luke, sudah pasti aku bisa menebak situasi seperti ini dan mencoba membuat strategi yang berbeda. Jika sudah begini, berarti aku sendiri telah dikejutkan, padahal jelas-jelas aku sudah memperingatkan Sam untuk mengungkapkan semua fakta yang diketahuinya.

Dan, Luke jelas telah melanggar janjinya untuk tidak melibatkan perasaan pribadi mencampuri keputusan bank. Tidak mungkin harga ini bukan merupakan upaya balas dendam, memaksaku tetap menjalin kontak dengannya hanya agar dia bisa... Apa? Mempermalukanku? Mengencaniku kembali? Aku benar-benar tidak tahu apa tujuannya.

Kudengar derap langkah Sam mengejarku. "Kate, tunggu!"

Aku terus berjalan tanpa melambatkan langkah. Amarahku begitu mendidih sampai-sampai aku berjalan melewatkan mobil sewaanku dan Sam menyusul di ujung jalan.

"Maafkan aku," katanya. "Ini bukan salahmu, aku tahu itu. Hanya saja, Luke Dawson itu membuatku geram setengah mati."

"Selamat bergabung." sahutku datar. "Kenapa kau tidak bilang padaku bahwa Luke bekerja di bank dan terlibat dalam urusan ini? Kau sudah tahu, kan?"

"Aku belum mengetahuinya saat meneleponmu." Dia terlihat bersungguh-sungguh. "Sudah bertahun-tahun dia tidak tinggal disini. Tepat sebelum kau tiba, dia mampir di penginapan untuk melihat-lihat keadaan disana. Itulah pertama kalinya aku tahu dia kembali ke sini dan bekerja di bank. Aku takut kau tidak akan mau membantuku jika aku memberitahumu soal Luke."

Aku mengangkat alis. "Bukankah kau mengenalku lebih baik dari itu?"

"Well, aku tidak tahu seberapa dalam rasa benci yang mengalir di antara kalian berdua. Kau tidak pernah menceritakan alasanmu meninggalkannya. Setiap orang di Winton tahu kau mematahkan hatinya. Satu hal yang tampaknya tak seorang pun tahu adalah kenapa, atau mungkin dia juga telah mematahkan hatimu. Kau tidak pernah mau membahasnya, Kate. Ingat, kan, aku bertanya ratusan kali sampai-sampai kau bilang akan berhenti menelepon ke rumah jika aku bertanya sekali lagi?"

"Karena kau benar-benar menyebalkan saat itu." cetusku, tapi sebersit senyum tersimpul di sudut bibirku mengingat kejadian itu. "Baiklah, aku rasa aku paham kenapa kau tidak mau memberitahuku kalau aku akan berurusan dengan orang yang pernah kucampakkan."

"Jangan lupa juga bahwa aku sudah berusaha memberitahumu." Sam mengingatkan. "Namun, tiba-tiba Dad pulang, kau ingat?"

Aku mengangguk. "Ya."

Sam menaikkan bendera perdamaian. "Kau masih mau minum kopi? Aku yang traktir."

"Dengan apa?" tanyaku sinis. "Setiap sen uangmu harus masuk ke penginapan. Aku yang traktir."

Adikku menyeringai. "Baiklah, tapi asal kau tahu, aku akan memesan dua telur, daging asap, dan wafel. Perutku terlalu mual untuk sarapan sebelum rapat. Sekarang, seluruh diskusi yang membangkitkan amarah itu membuatku kelaparan. Bagaimana denganmu?"

"Kalau Glady's menyediakan minuman keras, aku akan minum tiga shot sekaligus, tapi karena tidak, wafel sepertinya enak." jawabku.

Kami terdiam hingga tiba di kafe. Ketika aku mengulurkan tangan untuk membuka pintu, Sam meletakkan tangannya di atas punggung tanganku lalu menunggu hingga aku memandangnya. "Aku benar-benar minta maaf atas apa yang aku katakan tadi."

Aku menghela nafas. "Aku tahu."

Dia mengamatiku, lalu mengernyit. "Aku yakin mengetahui sesuatu yang tidak kau ketahui."

"Apa?"

"Luke Dawson masih menyukaimu."

"Kau gila!" cetusku.

Dia menggelengkan kepala. "Kau tahu hal lainnya? Aku yakin hampir seratus persen bahwa kau juga merasakan hal yang sama."

Aku menegakkan tubuh hingga punggung terasa kaku, kutatap adikku dengan ekspresi anggun dan meremehkan. "Kau salah besar, Sayang."

Dia sama sekali tidak terkesan dengan bantahanku. "Kita lihat saja nanti."

Nyatanya, aku meragukan kalimatku sendiri. Mulutku bisa menyangkal apapun yang dikatakan oleh adikku, tapi entah kenapa aku merasakan sesuatu yang aneh saat bertemu Luke untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun yang lalu. Ada setitik perasaan senang, meski rasa kesalku lebih besar karena harus berurusan dengannya dalam menyelesaikan masalah penginapan Sam.

Kalau boleh memilih, aku lebih suka berhadapan dengan ayahnya, Timothy Dawson. Selain karena tak ada masalah pribadi di antara kami, aku juga cukup mengenalnya dan memahami bagaimana cara melunakkan sikap keras kepalanya. Dia berbeda dengan Luke, sama sekali berbeda. Timothy lebih tenang dan dewasa dalam menganggapi sesuatu, tidak seperti anaknya yang selalu menggebu-gebu, tidak berhenti hingga keinginannya tercapai.

Luke Dawson. Luke Dawson. LUKE DAWSON!

Dari semua hari dan kegiatan yang lebih pantas, kenapa aku harus berhadapan dengannya dalam situasi yang tidak asik begini? Ini bisa jadi menguntungkan atau malah menjerumuskanku, yang tentu saja akan berpengaruh pada penginapan adikku.

Tidak! Apapun yang terjadi, aku tidak mau mengambil resiko dan membiarkan Sam kehilangan satu-satunya harapannya. Aku harus, harus, memenangkan pertarungan ini.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!