Aku terbangun oleh suara burung robin dan bluebird dari luar jendela kamarku yang terbuka dan langsung berjalan memasuki dapur tak lama setelah fajar. Aku melupakan fakta bahwa alam bisa begitu berisik, terutama di musim semi. Aku tidak terkejut saat melihat Gram sudah bangun lebih dulu.
"Kau bangun pagi sekali," kata Gram dengan nada memarahi. "Kukira kau akan tidur lebih lama pada hari pertamamu berada di rumah."
"Ada banyak hal yang harus kukerjakan," sahutku sambil menuang secangkir teh kental racikan Gram. Aku menambahkan sedikit susu kemudian mengerang nikmat setelah tegukan pertama. "Rasanya tidak pernah seperti ini kalau aku yang membuatnya."
"Aku yakin itu karena kau menggunakan teh celup dan memanaskannya dengan microwave."
Aku menyeringai. "Mungkin."
"Seteko teh yang enak harus direndam dalam air panas dulu selama beberapa saat. Kalau kau menyisihkan sedikit waktu dan cinta untuk membuatnya, rasanya akan kentara."
"Sudah cukup sulit mencari waktu untuk mencintai anak-anakku tanpa harus memikirkan rasa tehku." jawabku.
"Itu artinya kau bekerja terlalu keras. Kau tidak pernah belajar bersantai, Kate. Bagaimana kalau kau mengambil salah satu buku dan membawanya ke ayunan di luar pagi ini? Aku akan menjaga anak-anakmu. Kami bisa pergi ke kota dan berkeliling untuk melihat-lihat."
"Boleh saja kalau memang Gram tidak keberatan mengawasi mereka," kataku. "Tapi, ayunan itu harus menunggu. Aku berjanji akan menemui Sam di penginapan satu jam lagi."
Ekspresi Gram langsung berubah serius. Dia duduk di seberangku dan mengaduk tehnya, kemudian mengangkat pandangan. "Penginapan itu sedang dalam masalah, ya?"
Aku tidak mau menghianati kepercayaan adikku, tapi aku seorang pembohong yang payah. Aku mencoba menutupinya dengan bertanya, "Kenapa Gram berpikir begitu?"
"Pertama, ini Winton, dimana bergosip merupakan hobi favorit setiap orang. Selain itu, saudara perempuan Poppy James bekerja di bank. Dia memberitahu Poppy bawa dia melihat sesuatu soal penyitaan di sebuah dokumen yang mencantumkan nama Sam di atasnya. Tentu saja, gosip lama itu tidak sabaran untuk segera tersebar. Keluarga James masih geram karena ayahmu membeli seluruh tanah keluarga mereka untuk mengembangkan kota ini. Meski sebenarnya ayahnya yang tidak berguna itulah yang menjual tanah tersebut kepada ayahmu karena sedang membutuhkan uang, tapi entah bagaimana jadi ayahmu yang disalahkan karena mereka tidak memiliki semua tanah itu lagi." Kemudian, Gram menepiskan topik itu. "Tapi, itu tidak penting. Apa Sam akan kehilangan penginapan ini seperti yang dikatakan Poppy?"
"Tidak jika aku ikut turun tangan," gumamku tegas. "Dan, Tolong jangan beritahu Sam bahwa Gram sudah tahu. Dia sangat takut akan mengecewakan kita semua."
Gram menggeleng. "Apa dia sungguh percaya bahwa kita lebih peduli pada penginapan itu dan pada kesuksesannya dibandingkan kepedulian kita kepadanya?"
Aku menganggukkan kepala. "Kurasa begitu. Sam ingin sekali membuktikan dirinya, terutama pada Dad."
"Nah, kalau itu aku mengerti," cetus Gram dengan mulut cemberut. "Aku sama sekali tidak tahu kenapa keduanya tidak bisa berkomunikasi tanpa bertengkar."
"Karena mereka mirip satu sama lain," jawabku. "Mereka berdua memiliki harga diri lebih tinggi daripada akal warasnya dan kepala sekeras batu. Dan, tidak satupun dari mereka yang bisa menyerah jika salah mengenai sesuatu. Aku memang tidak ada di sini saat Sam membeli penginapan itu, tapi aku yakin Dad orang pertama yang mengatakan bahwa dia membuat keputusan yang salah dan akan menjadi orang pertama yang berkata 'Apa kubilang' jika Sam gagal."
"Singkatnya seperti itu," kata Gram sepakat. "Seingatku, ayahmu tidak pernah sekelas itu dengan anak-anaknya yang lain."
"Percayalah padaku, dia pernah, Gram." desisku. "Tapi, kami selalu membiarkannya begitu saja. Kami tahu, apapun yang terjadi di selalu ada Gram dan Mom pihak kami. Dengan kepergian Mom, setiap kata-kata Dad selalu Sam masukkan ke dalam hati, termasuk komentar sekilas yang Dad lupakan secepat dia mengatakannya."
"Kau benar. Aku sendiri pernah membahas itu dengan ayahmu. Tapi, dia tidak paham. Ayahmu selalu percaya bahwa kejujuran merupakan kebaikan, walaupun menyakitkan. Menurutnya, memanjakan anak hanyalah buang-buang waktu. Dia terlalu yakin anak-anaknya tahu tanpa ragu sedikitpun bahwa dia mencintai kalian, tidak peduli sekasar apapun kritik yang dilontarkan."
"Sebenarnya kami semua tidak masalah dengan itu, kecuali Sam. Sam harus menghadapi terlalu banyak cobaan."
Gram memandangku dengan tatapan khawatir. "Apa kau mampu membantunya menyelesaikan masalah ini?"
"Aku akan berusaha," jawabku bersungguh-sungguh. "Jangan khawatir, Gram. Aku tahu masalah ini sangat penting. Bank tidak akan bisa mengambil penginapan ini dari Sam tanpa mendapat perlawanan dariku."
Ekspresi Gram berubah serius. "Mungkin akan lebih baik jika Sam menyelamatkannya sendiri alih-alih membiarkanmu bergegas membantunya."
"Mungkin memang sebaiknya begitu," Aku mengakui. "Tapi, berdasarkan ceritanya semalam, aku rasa itu tidak bisa. Dia menunggu terlalu lama untuk memberitahuku dan kini tak ada cukup waktu untuk membereskan semuanya."
"Apakah dia ingin meminjam uang?"
Aku menggeleng cepat. "Aku sudah menawarkan pilihan itu padanya, tapi dia berkeras menolak. Yang dia minta hanyalah keahlian bisnisku."
"Apakah menurutmu itu cukup?"
"Aku baru akan mengetahuinya setelah melihat pembukuan Sam," jawabku dengan jujur.
"Well, Sam membuat keputusan yang tepat saat meneleponmu," kata Gram. "Dia selalu mengandalkanmu sejak masih kanak-kanak dan kau tidak pernah mengecewakannya."
"Gram terus saja menambah tekanan, ya?" cetusku seraya berdiri lalu membungkuk dan menyapukan kecupan di pipi nenekku. "Terima kasih, Gram. Aku menyayangimu."
"Aku juga menyayangimu. Dan, Sam. Semuanya akan baik-baik saja. Saat keluarga Clay bersatu, tidak ada yang tidak bisa kita lakukan."
"Itulah yang selalu Gram ajarkan kepada kami." gumamku menyetujui. Sayangnya, aku khawatir butuh lebih dari semangat kekeluargaan dan kesetiaan untuk menyelamatkan penginapan milik adikku.
Obrolan singkat namun bermakna bersama Gram selalu berhasil membangkitkan semangatku. Dia selalu ada dalam saat-saat genting di keluarga kami. Dengan pola pikirnya yang sederhana, meskipun kadang-kadang setajam samurai, Gram bisa mencerahkan suasana hati siapa saja. Itu selalu terjadi di rumah. Terkadang, Gram bahkan tak segan-segan memarahi ayahku ketika dia bertindak terlalu keras terhadap kami semua. Tidak peduli, sematang dan setua apapun usia William Clay, Gram tetap memperlakukannya seperti anak kecil.
Dan, persis seperti itulah yang terjadi pada kami, anak-anak ayahku. Dia meniru sifat ibunya. Terus menganggap kami anak kecil yang tidak bisa melakukan apapun tanpa bantuannya. Well, aku dan adikku yang lainnya sudah berhasil menunjukkan kemampuan kami padanya, yang kemudian dengan enggan terpaksa diakuinya. Kecuali, Sam. Dad selalu mematahkan semangat Sam dengan terus mengungkit omong kosong soal penyakit ADD yang dideritanya. Melabuhkan komentar di sana sini untuk setiap pencapaian Sam tanpa memikirkan dampak jangka panjang dari ucapannya.
Yah, itulah sifat William Clay, ayah yang kami cintai...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 44 Episodes
Comments