Gram membuatkan makan malam hari Minggu yang bisa memberi makan sepasukan tentara dan memaksa kami semua duduk di meja makan bersama-sama, termasuk Crystal dan Pearl yang etika makannya sudah berantakan. Namun, aku pikir mereka bisa menjadi penyangga yang sangat bagus di antara adik dan ayahku. Sam melemparkan pandangan tidak percaya pada ayahku, tapi kelihatannya ayahku sama sekali tidak menyadarinya. Dia terus mengajukan pertanyaan sok polos tentang penginapan. Tapi, dalam kondisi seperti ini pertanyaan-pertanyaan itu memiliki potensi setinggi peti penuh bahan peledak.
"Tidak ada pembicaraan bisnis di meja makan." kata Gram akhirnya saat Sam seolah-olah tampak ingin melempar kan serbetnya dan pergi. "Aku yakin kita bisa mencari topik pembicaraan lain. Lagi pula, kapan terakhir kali kita memiliki kesempatan bersama di dalam satu atap? Mari kita jadikan makan malam ini seistimewa sebutannya."
"Bagaimana kabar Uncle Jeff dan Uncle Tom?" tanyaku, menyebutkan hal pertama yang terlintas di pikiranku.
"Bagaimana aku tahu?" jawab ayahku dengan sinis. Maksud dari nadanya adalah bahwa dia juga tidak terlalu peduli. Ternyata waktu dan serangkaian nasehat Gram tak bisa melembutkan suasana hatinya saat terkait dengan saudara-saudaranya.
Perpecahan kerjasama bisnis itu telah menjadi urusan pribadi. Kerja sama itu menurut seluruh perbedaan filosofi dan lingkungan di antara mereka. Seperti semua keluarga Clay, Tak ada satupun di antara mereka bersedia menurunkan egonya, karena itu bekerjasama merupakan ide yang sangat buruk sejak awal. Sungguh sebuah keajaiban bahwa mereka bisa menyelesaikan pembangunan di Winton.
Gram bersungut pada ayahku, kemudian menoleh ke arahku. "Mereka baik-baik saja. Tom bekerja di lembaga legislatif untuk melindungi daerah pantai serta berusaha memperoleh dana untuk membersihkan air di pantai dan sekitarnya. Jeff menjalankan perusahaan manajemen yang menangani kontrak pertokoan di tengah kota. Anaknya, Debsie, bekerja membantunya."
"Ya Tuhan, sudah lama sekali aku tidak bertemu Debsie," kataku. "Dia masih kerja saat aku pindah ke Sydney."
"Dia lulus perguruan tinggi tahun lalu," jelas adikku. "Dengan predikat magna cum laude, benar, Gram?"
Gram mengabaikan isyarat sarkastik dalam suara Sam dan berbicara dengan nada datar. "Kurasa begitu. Sam benar-benar bangga padanya."
"Bagaimana kabar ibumu, Kate?" sembur ayahku tiba-tiba. "Kau sering menemuinya, bukan?"
Aku melihat luka yang dalam di matanya dan merasakan kepedihan yang selalu ibuku rasakan saat menghujaniku dengan pertanyaan tentang keluarga. "Kami bertemu untuk makan siang setiap dua minggu sekali dan dia menghabiskan waktu dengan kedua putriku setiap hari Sabtu jika dia bisa. Mom baik-baik saja. Dia senang tinggal di kota."
"Aku yakin begitu." kata ayahku dengan kepahitan yang tak dapat disembunyikannya. Dia membungkam mulutnya rapat-rapat saat aku mengangguk ke arah anak-anakku untuk memperingatkan bahwa mereka tidak perlu mendengar bisik-bisik tentang nenek mereka.
"Grandma Melissa cantik," kata Crystal, kemudian melihat ayahku dengan raut bingung. "Apakah Pop mengenalnya?"
Aku menyadari anakku tidak pernah melihat ayah dan ibuku bersama, jadi mereka mungkin tidak memahami kerumitan di keluarga ini.
Kegelapan di mata ayahku semakin dalam saat ia menjawab pertanyaan cucunya. "Aku pernah mengenalnya." katanya dengan lembut.
"Grandma Melissa dulu menikah dengan Pop." dengkurku menjelaskan.
Hal ini menyemburkan binar ketertarikan di mata Pearl. "Apa Pop dan Grandma bercerai seperti Mom?"
Ayahku mengangguk, "Ya."
"Apakah Pop masih mencintai anak-anakmu?" tanya Crystal dengan nada khawatir. "Mommy dan Daddy bilang akan mencintai kami selama-lamanya, walaupun mereka tidak saling mencintai lagi."
"Ayah dan Ibu tidak pernah berhenti mencintai anak-anaknya," ayahku mencoba meyakinkan.
Pandangan sungguh-sungguh nya mengarah pada Sam saat dia mengatakannya, seolah-olah berusaha menyampaikan pesan itu padanya. Tentu saja, adikku langsung berpaling, mengungkapkan perhatiannya untuk memotong daging di piringnya menjadi potongan-potongan kecil yang kemudian dia sisihkan dan dibiarkan begitu saja.
Merasa topik ini tidak lebih lama dibandingkan urusan bisnis, aku bangkit. "Girls, bagaimana kalau Mommy ambilkan es krim dan kita bisa memakannya di luar? Kami permisi, oke?" Aku sudah berdiri dan tidak menunggu jawaban.
Crystal dan Pearl turun dari kursi mereka sambil berteriak dan berlari ke dapur. Aku mengikuti mereka dari belakang. Ketika merasa sudah cukup aman dari ketegangan di ruang makan, aku menghembuskan nafas lega. Baiklah, aku baru saja melemparkan adikku ke serigala di dalam sana, tapi pada saat ini, rasanya setiap wanita perlu mengurung diri sendiri.
"Kita punya es krim rasa apa, Mommy?" tanya Pearl sambil menarik-narik celana panjangku.
"Kita lihat apa yang Gram miliki di kulkas," kataku, walaupun aku sudah tahu jawabannya.
Kulkas tidak pernah tidak dipenuhi es krim rasa stroberi, favorit Gram, dan rasa cokelat, pilihan pertama ayahku, aku, dan kedua adik laki-lakiku. Sam selalu penggemar rasa vanilla sehingga sudah pasti rasa itu juga tersimpan di sana.
Aku membiarkan anak-anakku memilih sendiri, untuk sekali ini mereka sepakat memilih rasa stoberi, kemudian menyendokkan satu scoop untuk masing-masing dari mereka. "Keluarlah," kataku sambil menyodorkan mangkok es krim dan sendok. "Mommy akan menyusul kalian."
Kemudian, aku sendokkan dua scoop es krim cokelat untukku sendiri. Aku membutuhkan setiap gigitan untuk menemui cara melalui hari ini.
***
Aku beruntung karena pulang ke Winton sambil mengenakan jas hitam yang kukenakan ke kantor pada hari Jumat pagi. Aku menyetrika jas itu sebelum memakainya pada hari ini, kemudian menjemput Sam. Ketika aku datang, adikku masih mengenakan celana pendek yang terciprat noda cat dan kaos berwarna pudar. Aku nyaris tak sanggup menahan erangan melihat adikku yang tampaknya teralihkan oleh salah satu proyek dekorasinya.
"Maaf," katanya, wajahnya bingung. "Aku lupa waktu. Aku tak bisa tidur semalaman, jadi mulai mengecat saat fajar menyingsing, lalu seseorang menelpon untuk reservasi..."
Dengan cepat aku menyambar. "Sam, kita tak punya waktu untuk ini. Kau tidak bisa ke bank dengan penampilan seperti itu." gerutuku, berusaha tidak kehilangan kesabaran. Sam sudah cukup tegang tanpa harus kuteriaki. "Kau tahu betapa pentingnya rapat ini dan kita harus menanganinya seprofesional mungkin. Ganti bajumu, dan kumohon, lakukan dengan cepat."
"Lima menit, aku janji. Kau pergi saja lebih dulu, aku akan menyusul."
Aku mengangguk dan berlalu, lega karena aku akan pergi sendirian. Dengan begitu, aku bisa mengatakan hal-hal yang tak ingin kuucapkan di hadapan adikku, mengakui kegagalannya, tapi juga menekankan bahwa sekarang adikku memiliki bantuan dan bahwa segala sesuatunya akan berjalan sesuai rencana mulai dari saat ini.
Aku tidak mungkin menghancurkan harga diri adikku di depan matanya. Dia bisa mengulitiku hidup-hidup, atau yang lebih parah dia tidak akan mau menegurku sepanjang sisa hidupnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 44 Episodes
Comments