"The devil himself"

Ketika pintu Winton Community Bank terbuka, Aku berjalan masuk dengan gaya seolah aku yang memiliki tempat itu dan langsung menuju kantor Timothy Dawson. Kulemparkan senyum pada Flora Moore yang sudah bekerja di tempat ini selama aku bisa mengingatnya.

"Kate, apa yang kau lakukan disini?" tanya Flora.

"Mengunjungi keluarga," kataku. "Bagaimana kabarmu?"

"Selalu sama seperti biasanya. Hanya umurku yang bertambah beberapa tahun."

Aku mendorong dagu menunjuk ruangan Timothy Dawson. "Apakah dia ada di dalam?" tanyaku. "Aku perlu berbicara dengannya."

"Tentang apa?" tanya Flora sambil mengangkat telepon.

"Pinjaman Sam untuk penginapan."

Flora mengernyitkan dahi dan menutup telepon. "Kalau begitu kau harus berbicara dengan Luke Dawson."

Aku merasa jantungku meloncat saat dia menyebut nama Luke Dawson. Sudah bertahun-tahun berlalu sejak terakhir kali kami bertemu, dan rasanya konyol sekali ketika lututku melemas hanya dengan mendengar namanya. Tetapi, tepat pada saat itulah aku menyadari apa yang Sam sembunyikan dariku. Sam tahu bahwa Luke terlibat dalam situasi ini dan aku harus berurusan dengannya, alih-alih dengan ayahnya.

aku mencoba menyeimbangkan diri kembali sebelum Flora sempat melihat keterkejutanku dan berkata, "Luke bekerja disini? Wow." Luke selalu bersumpah bahwa neraka akan menjadi dingin sebelum dia bekerja di sebuah bank, apalagi untuk ayahnya.

Flora menyeringai. "Neraka pasti mendingin, he? dia baru mulai minggu lalu dan berkata ini hanya sementara. Well, ayahnya berharap itu akan berubah. Saat ini, dia menangani bagian pinjaman."

Sialan, pikirku. Mungkin itu akan menguntungkan, tapi aku meragukannya. Terakhir kali kami bertemu, aku tidur dengannya, menyatakan bahwa aku jatuh cinta kepadanya, kemudian pergi ke Sydney tanpa sepatah kata pun.

Selama berbulan-bulan dan bertahun-tahun kemudian, aku meyakinkan diri bahwa aku tak punya pilihan lain. Luke merupakan pengalihan yang tak sanggup kuhadapi. Bahkan, aku memiliki serangkaian alasan yang masuk akal bagiku saat itu, dan aku percaya bahwa mengakhiri hubungan kami adalah satu-satunya jalan terbaik.

Tentu saja, seharusnya aku memiliki nyali untuk mengatakan itu secara langsung kepadanya. Tapi yang terjadi justru sebaliknya, aku mengambil langkah pengecut sebab Luke menggodaku dengan cara-cara yang mustahil untuk kutolak. Jika aku menemuinya sekali lagi, maka aku tidak tahu apa yang terjadi dengan keputusanku untuk pergi ke Sydney dan memulai karir di State Office Block.

Luke mungkin akan membujukku untuk tetap disini bersamanya. Seperti yang selama ini aku takutkan, kini Luke jelas terperangkap dalam tekanan orang tuanya. Rasa takut itu membuatku tidak bisa mempercayai setiap kata-kata indah yang dia ucapkan, setiap janji yang dia katakan mengenai masa depan kami.

Flora melemparkan tatapan penuh pengertian. "Kantornya terletak di ujung lorong sebelah kiri. Perlu kutelepon dan beri tahu bahwa kau sedang menuju ke sana?"

"Kurasa lebih baik aku mengejutkannya." jawabku, kemudian menegakkan punggung dan berjalan menuju ruangan Luke. Aku sudah pernah menjalani cukup banyak rapat yang tidak enak sepanjang karirku.

Aku mengetuk pintu, kemudian masuk tanpa menunggu jawaban. Luke sedang menelepon, pandangannya mengarah ke luar jendela. Merasa terganggu, dia melambaikan tangan menunjuk ke sebuah kursi tanpa membalikkan badan. Aku menghela nafas lega dengan penundaan ini. Paling tidak, aku jadi punya waktu untuk mengamatinya.

Dia tampak sehat. Sehat sekali. Lengan bajunya digulung ke atas dan memperlihatkan lengannya yang kecoklatan. Garis tawa yang menyebar di sudut matanya terukir lebih dalam. Rambutnya, tebal dan berwarna coklat tua, agak panjang dan berantakan. Aku menyeringai. Aku yakin Luke berangkat kerja dengan mengendarai Harley-nya. Motor itu merupakan pemberontakan besar pertamanya saat SMA dan kemungkinan bahwa dia belum melepaskan motor itu, memberiku sedikit harapan. Ini melupakan Luke yang kuingat, bukan seorang laki-laki yang berubah menjadi bankir kaku seperti ayahnya. Aku bisa menghadapi laki-laki ini, menantangnya untuk membengkokkan peraturan.

Ketika teleponnya selesai, Luke berputar di kursinya dan melihatku untuk pertama kali. Aku menangkap sesuatu yang kelam dan berbahaya terbersit di matanya, tapi dia menjaga ekspresinya tetap tenang. "Well, lihat siapa yang dibawa kucing masuk."

"Hai, Luke."

"Aku bertaruh kau tidak menduga akan menemuiku di sini." katanya.

"Memang kejutan yang menyenangkan, kurasa."

"Menyenangkan?" keraguan terdengar di nadanya.

"Ya, bagiku. Kita teman, Luke. Kenapa aku tidak senang bertemu denganmu lagi?" tanyaku, meskipun aku sudah tahu jawabannya. Aku hanya berharap dapat mempergunakan keahlianku untuk melewati kecanggungan ini.

Amarah membara tampak di matanya. "Teman?" Dia mengulangi dengan mengangkat sebelah alisnya. "Seingatku, bukan begitu tepatnya. Mungkin ingatanku salah, tapi kupikir kita lebih dari itu."

Sengatan panas menjalari pipiku. "Itu sudah lama berlalu, Luke. Bahkan, sangat lama."

Dia terlihat bimbang selama beberapa saat, sebelum akhirnya mengalihkan pandangan dan meraih sebuah map berstiker merah menyala di depannya. "Kutebak kau kemari untuk ini," cetusnya, nadanya tiba-tiba kasar dan formal. "Sam terlibat dalam sedikit masalah."

Mengikuti permainan Luke, aku pun membuka tas kerjaku. "Kami menyadari hal itu dan kami siap memberikan jaminan pada bank bahwa keadaan akan berubah sejak saat ini."

"Kau harus melakukan sedikit manuver bisnis agar berhasil melakukannya," katanya. "Dia tidak memiliki keahlian manajemen, sesederhana itu. Aku tidak mengetahui kenapa bank menyetujui pinjaman ini pada awalnya, kuduga mereka melakukannya sebagai rasa hormat pada ayahmu."

Tepat pada saat itu, pintu ruangan Luke terbuka lagi dan adikku melangkah masuk. Dia mengerutkan dahi. "Kau salah besar, Luke. Mereka menyetujuinya karena itu adalah investasi yang bagus. Itulah yang ayahmu katakan kepadaku saat dia menelepon dan mengatakan bahwa hipotek dan pinjamanku telah disetujui." Dia melayangkan tatapan keras ke arah Luke dan menambahkan. "Dan, masih bagus sampai sekarang."

"Tidak berdasarkan dokumen-dokumen yang ada di depanku ini," bantah Luke. "Sudah saatnya kami menarik investasi tidak menguntungkan ini, dan itulah yang akan kurekomendasikan ke dewan pimpinan besok."

"Tidak!" kataku dengan ganas. "Tidak sebelum kau mendengarkan kami." Aku berusaha tidak melihat kegelisahan di wajah adikku atau pipi Luke yang menyala-nyala semerah bata. Lalu, aku melanjutkan dengan memasukkan sedikit tekanan dalam situasi ini. "Jika kau memiliki sedikit saja keahlian bisnis di dalam kepalamu yang sekeras batu itu, kau akan melihat bahwa rencana ini masuk akal."

"Kenapa aku harus mempercayai kata-katamu?" tanya Luke.

Aku menelan ludah. Semua ini akan gagal hanya karena aku dan Luke pernah memiliki kisah masa lalu. Kenapa Sam tidak memperingatkanku? Jika dia melakukannya, aku pasti akan menjauh, sangat jauh, dari bank. Tapi, kalau sekarang sudah tercebur ke dalamnya, aku tidak sudi membiarkan Luke mendorong adikku untuk menyerah.

"Jangan jadikan masalah ini tentang kita, Luke." kataku perlahan. "Itu tidak mencerminkan dirimu ataupun pihak bank."

Dia mengerutkan dahi. "Well, kau memang terlalu percaya diri, ya? Percayalah, kau tidak ada kaitannya dengan keputusanku. Semuanya ada dalam dokumen ini. Manusia mungkin berbohong, tapi angkat tidak."

Aku tahu dia benar soal itu, tapi aku tidak mau menyerah tanpa perlawanan. Aku menangkap sekilas rasa bersalah di matanya saat aku menuduhnya melibatkan perasaan dalam situasi ini, dan berniat menggunakan perasaan itu untuk mendesaknya berpikir ulang.

"Setidaknya, maukah kau mendengarkanku?" tanyaku dengan suara yang lebih lembut.

"Kenapa aku harus melakukannya?"

"Kau ingin membuktikan bahwa kau membuat keputusan yang tepat, bukan? Kalau begitu, kalau harus mempertimbangkan semua faktanya. Jika tidak, aku akan mendesak untuk ikut menghadiri rapat dewan pimpinan itu, dan kau akan dipermalukan bahkan sebelum genap sabtu-minggu bekerja."

Sekali lagi, dia menunjuk map di atas meja. "Fakta-faktanya ada disitu."

"Tidak semuanya." kataku bersikeras. Aku menyerahkan setumpuk dokumen yang telah kusiapkan sepanjang Sabtu siang, sebagian karena aku ingin dokumen-dokumen itu cukup kuat untuk kasus ini dan sebagian lagi untuk menghindari campur tangan ayahku.

"Lihatlah. Seperti yang akan kau baca, ada rekanan investasi baru. Sam memiliki arus kas yang lebih dari cukup untuk membayar pinjaman dan sisanya untuk menjalankan penginapan selama enam bulan pertama, atau bisa lebih lama jika dia cermat. Ada rencana bisnis yang jelas di halaman dua dan tiga. Dan pada halaman empat, ada rencana untuk membayar hipotek berbunga mengerikan itu yang seharusnya tidak ditawarkan sejak awal. Kurasa, kami dapat mengajukan perkara bahwa bank mengharapkan Sam terlibat dalam masalah keuangan sehingga mereka dapat menutup dan menuntut penginapan itu begitu dia mengeluarkan banyak uang untuk renovasi."

Luke terperangah. "Kau pasti bercanda. Menurutmu, ini kesalahan bank?"

Aku tersenyum. "Ya."

"Kau gila!"

"Mau menguji teoriku di pengadilan? Menurutku, orang-orang geram terhadap jenis praktik peminjaman yang telah menghancurkan seluruh industri. Dan, kami bisa menjadikan Sam korban yang sangat menyedihkan."

Ada sepercik rasa hormat baru dalam tatapan Luke. "Tidak buruk. Kau hampir membuatku percaya selama beberapa menit."

"Aku tidak bercanda," tegasku. "Pemberhentianku selanjutnya adalah kantor pengacara kecuali aku dapat membuatmu bertindak masuk akal."

Sekali lagi, dia melongo. "Aku akan memperlihatkan proposal kalian pada dewan pimpinan." gumamnya pada akhirnya.

"Tentu saja. Mereka ada rapat besok?"

"Jam sepuluh." Luke memberitahu.

"Berarti kau sudah bisa mendapatkan jawabannya pada siang hari?"

Dia mengangguk. "Aku akan menemuimu di klub yacth jam dua belas dan memberitahumu sembari makan siang."

Sejenak aku ragu. Aku bisa saja tetap tinggal di kota ini, bahkan memang telah berencana untuk tetap tinggal, tapi keadaan jadi rumit dengan adanya Luke. "Sam akan menemuimu disana. Aku harus kembali ke Sydney malam ini."

Luke menatapku. "Kau harus muncul di sana jika ingin ini disetujui."

"Kenapa? Ini bisnis Sam, bukan bisnisku."

"Karena aku hendak merekomendasikan kepada dewan pimpinan untuk menyetujui ini dengan satu syarat."

Kulirik adikku yang kini menegakkan tubuhnya. "Apa syaratnya?" tanyanya curiga.

Luke memandang Sam seolah-olah dia sudah lupa adikku duduk disana. "Kakakmu yang akan menjadi manager proyek ini."

"Tidak!" seruku dan Sam bersamaan.

"Ini penginapanku," protes Sam. "Kau tidak berhak menentukan siapa yang akan menjadi managernya."

"Aku berhak jika menyangkut uang bank dan kau memiliki sejarah tidak bisa membayar tagihan." sahut Luke sambil terus menatap Sam. "Kate yang bertanggung jawab atau perjanjiannya batal."

"Tetapi, rencana itu..." kataku memulai.

"Tidak akan bernilai kecuali kau tetap tinggal," ujar Luke. "Tidak ada jaminan rencana itu tidak akan dibuang sembarangan entah pada siapa sebelum tempo pembayaran selanjutnya."

"Ayolah, Luke, coba berpikir logis sedikit," aku memohon. "Aku harus kembali ke Sydney. Pekerjaanku menunggu. Sam tahu apa yang harus dilakukan dan aku percaya padanya."

"Kau kakaknya. Aku bankirnya." kata Luke. "Kami akan meneruskan proses penyitaan, kecuali kau menyetujui syaratku." Dia memandang Sam dan aku bergantian, kemudian berbicara lagi. "Well, bagaimana? Apakah aku akan bertemu denganmu besok?"

Aku menggigit ujung lidahku dan mengangguk perlahan, takut dengan apa yang akan keluar dari mulutku jika aku berbicara. Aku menahan nafas, berdoa supaya Sam sama pintarnya denganku. Kulirik dia sekilas, wajahnya tampak berang, namun tetap diam.

Saat ini, Luke membuat kami tidak berdaya dan kami menyadari itu. Begitu dewan pimpinan menyetujui rencana gila ini, aku yakin Luke akan puas dengan kemenangannya. Setelah itu, aku akan membuatnya bertindak lebih masuk akal. Aku yakin itu.

Namun, bertahun-tahun lalu aku belajar bahwa seorang pria yang harga dirinya terluka bisa berubah menjadi seorang musuh yang bengis dan keras kepala. Untuk saat ini, Luke Dawson memegang kartuku, sehingga aku dan Sam harus mengikuti permainan ini sesuai dengan caranya... setidaknya hingga aku bisa membuat seperangkat peraturan yang baru, dan meyakinkan pria ini bahwa dialah yang membuat peraturan-peraturan itu.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!