"Talk to Sandy"

...Luke Dawson POV....

Seakan sedang berada di rumah sendiri, aku melangkah memasuki dapur, menemukan lap untuk menyeka wajahku dan meresap air dari kemejaku, lalu aku membawa handuk lain ke ruang makan untuk membersihkan kekacauan di sana. Aku memandang chocolate mousse itu dengan sedih. Makanan itu ternyata tidak berhasil menjadi tawaran perdamaian sesuai dengan niatku.

"Chocolate mousse? Favorit Kate," kata Sandy Clay, nenek Kate, saat memasuki ruang makan dan melihat kue itu di tanganku. "Sentuhan yang bagus, walaupun kuduga menyarankan klub yacth sebagai tempat pertemuan merupakan permainan kekuatan gagasanmu. Kau tahu betul dia membenci tempat itu."

Aku mengernyit mendengar komentarnya yang tepat sasaran. "Tak satu pun berjalan sesuai rencanaku." kataku dengan masam.

"Aku menduga dia menuangkan air itu ke kepalamu bukan karena kau membawakannya makanan penutup." katanya.

"Tidak, aku yakin itu lebih terkait dengan beberapa kata tidak mengenakkan yang kulontarkan padanya."

Dia menggeleng. "Kalian berdua bertingkah seperti anak enam tahun dan masih di taman bermain. Pergilah ke dapur dan letakkan kemejamu. Aku akan memasukkannya ke mesin pengering, dan mungkin aku akan memberimu beberapa saran dalam menghadapi cucuku."

Aku mengerutkan kening menatapnya, tidak sepenuhnya percaya tawaran yang murah hati ini. Sandy bukanlah salah seorang yang menyukaiku sepuluh tahun lalu. Aku tak bisa membayangkan mengapa hal itu tiba-tiba berubah.

"Kenapa kau mau melakukannya?" tanyaku penasaran.

"Karena tampak jelas bagiku kalau kalian berdua akan merusaknya lagi untuk kedua kalinya jika kalian melakukan ini sendiri." katanya cemas. "Dan, aku ingin melihat cucuku bahagia."

"Menurutmu, apa yang akan kami rusak?" tanyaku lagi, walaupun aku tahu Sandy bukan Sedang membahas hubungan bisnis terbaruku dengan Kate.

Dia memutar bola mata, seolah-olah merasa itu pertanyaan yang konyol dengan jawaban yang sudah jelas. "Pergilah," perintahnya.

Aku bergerak sambil membuka kemeja sementara Sandy membawa masuk nampan yang diisi sisa makan siang gagal kami dan mengaturnya di meja dapur, lalu mengambil kemejaku dan memasukkannya ke mesin pengering.

"Apa kau mau minum teh sementara menunggu?" tanyanya. Tanpa menunggu jawabanku, dia meletakkan cangkir di atas meja dan mulai menuang teh.

Aku cukup cerdas untuk tidak mengganggu ritual ini. Aku sudah belajar bertahun-tahun lalu bahwa nenek Kate memiliki irama hidupnya sendiri dan lebih baik mengikutinya saja. Mereka yang tidak mau melakukannya setidaknya memiliki pikiran sehat untuk tidak menghalanginya.

"Ini akan menghangatkanmu," gumamnya, seolah-olah suhu di luar tidak panas saja, dan bahkan di dapur ini lebih hangat walaupun kipas angin berputar di atas kepala kami. Sembari mengaduk sedikit gula di dalam tehnya, dia memandangku. "Apa yang kau inginkan dari Kate?"

"Aku ingin dia mengawasi renovasi di penginapan tetap berjalan sesuai jadwal dan menjaga adiknya tetap sesuai anggaran." jawabku tanpa ragu.

"Omong kosong!" sergahnya. "Itu hanya alasanmu. Yang kau inginkan adalah satu kesempatan lagi bersamanya. Paling tidak jujurlah pada dirimu sendiri mengenai hal itu."

Aku mengernyit mendengar penilaiannya. Aku tidak menginginkan Kate lagi. Aku ingin membalas dendam terhadap caranya memperlakukanku, ingin membuatnya menderita seperti dia telah membuatku menderita dulu, ingin menjungkirbalikkan hidupnya, seperti yang kualami ketika dia meninggalkanku tanpa sepatah penjelasan pun.

"Kau salah," gumamku dengan nada datar. Dia jelas salah. Kalau tidak, itu berarti aku adalah seseorang yang melakukan hal yang tak aku sukai.

"Benarkah?" katanya. "Kalau begitu, ini pasti tentang balas dendam terhadap sesuatu yang terjadi sepuluh tahun lalu? Kau tahu betul bagaimana menyimpan dendam, ya?"

Aku tidak suka mendengar kenyataan itu, tidak dari seorang wanita yang selalu baik padaku meski tidak sepenuhnya menyetujui hubunganku dengan Kate. "Aku tidak akan mengatakannya persis seperti itu."

"Lalu, bagaimana kau akan mengatakannya?" tanyanya, nadanya lebih lembut. "Kau bilang ini bukan soal keinginan untuk kembali dan bukan pula soal balas dendam. Aku bilang, ini tidak ada hubungannya dengan mengamankan pinjaman bank untuk penginapan itu. Lalu, apa lagi?"

Aku ingin menggeliat persis seperti yang kulakukan sepuluh tahun lalu saat Sandy menanyakan maksudku mendekati cucunya. Aku berkata jujur pada saat itu bahwa aku ingin menikahi Kate. Hanya saja, aku belum mau menentukan waktunya. Aku melihat kekecewaan di mata Sandy, tapi saat itu aku belum siap berkomitmen pada sesuatu yang begitu besar, tidak jika tujuan hidupku sendiri masih berubah-ubah sementara mencari pijakan yang kuat untuk melawan ayahku dan mengejar karyaku sendiri.

Terpujilah Sandy Clay karena dia tidak menendang atau mengusirku dari kehidupan Kate. Dia membiarkan kami untuk memutuskan sendiri, tapi aku dapat merasakan ketidaksenangannya setiap kali kami berpapasan setelah pembicaraan itu. Aku selalu bertanya-tanya apakah ketidaksetujuan tak terucap dari wanita yang paling dia hormati di dunia terkait dengan kepergiannya yang tiba-tiba.

"Dulu, kau selalu memiliki jawaban untuk semua pertanyaan di ujung lidahmu," kata Sandy saat aku tetap terdiam.

"Aku sudah belajar bahwa sebuah jawaban tidak selalu sederhana, dan bahwa yang pertama kali terlintas dalam pikiranku mungkin bukan jawaban yang benar," balasku.

"Kau tidak sedang diuji. Tidak ada jawaban yang benar atau salah, yang ada hanya kebenaran."

Aku melemparkan pandangan masam. "Mungkin itulah sebabnya aku sangat kesulitan. Aku tidak yakin mengetahui kebenarannya."

Sandy mengangguk, dan anehnya, tampak puas. "Sekarang, kita mengarah ke sesuatu. Dibutuhkan kedewasaan untuk menyadari bahwa sesuatu tidak selalu hitam dan putih. Kau mau tahu pendapatku?"

Aku duduk dan menyeringai, gembira karena sudah keluar dari kursi panas. "Silahkan."

"Kurasa kau masih jatuh cinta setengah mati pada Kate, sama seperti ketika kalian masih SMK dan di perguruan tinggi. Aku juga berpikir kau masih marah dan terluka atas kepergiannya. Yang aku tidak mengerti, yang tidak pernah aku mengerti, adalah kenapa kau tidak berjuang lebih keras untuk mendapatkannya kembali?"

Aku teringat hari-hari dan minggu-minggu pertama yang memalukan setelah Kate meninggalkan Winton. Saat itu, aku baru saja berulang tahun ke dua puluh dua. Egoku berbicara lebih dominan dibandingkan perasaanku. Aku sedang berperang melawan ayahku demi masa depanku, bertekad untuk memulai berdiri sendiri dengan karya desainku. Tindakan Kate yang meninggalkanku di saat aku begitu membutuhkan dukungannya merupakan pukulan yang sangat keras bagiku. Entah bagaimana, aku menggabungkannya dengan tingkah laku Ayahku dan menyimpulkan bahwa Kate tak memiliki keyakinan akan bakat artistik yang kumiliki, seperti juga ayahku.

Kemudian, saat rasa sakit itu masih menguasai, aku menyadari bahwa pukulan keras itu sesungguhnya mengenai hatiku, tidak hanya egoku. Inilah saat aku menyadari bahwa pada akhirnya, harga diri tidaklah penting. Yang terpenting adalah menemukan Kate dan membawanya kembali.

"Aku pergi menyusulnya." kataku. Hanya Janice yang tahu tindakan ini. Aku mengira semakin sedikit orang yang tahu tentang ini, maka semakin sedikit pula rasa malu yang akan kuderita jika Kate mencampakkanku untuk kedua kalinya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!