"Careless to possessive"

Suasana hatiku sedang tidak baik untuk menghadapi interogasi Gram yang telah menungguku di rumah. Gram dan ayahku pasti harga mendesakku untuk menceritakan setiap detail pertemuan itu, dan aku tidak yakin akan sanggup memberi tahu mereka. Tentu saja, sering terbersit dalam pikiranku bahwa satu-satunya cara paling manjur untuk melepaskan diri dari situasi ini adalah membiarkan ayahku turun tangan. Bahkan Sam pun menyebutkan kemungkinan itu walaupun dia terlihat benar-benar kalah saat mengatakannya.

Saat tiba di rumah, aku melihat ayahku di teras depan dan dia tampak lebih lebih dari yang pernah kulihat sebelumnya. Ada noda samar di kaosnya, warna kulitnya pucat, dan dia bersandar ke kursi sambil menghirup napas panjang.

"Dad?" panggilku, khawatir. "Apakah kau baik-baik saja?" Pipinya tiba-tiba dipenuhi semu merah. "Dad, katakan padaku. Ada apa?"

"Denganku? Tidak ada apa-apa. Putri-putrimu. Mereka berdua mengeluh sakit kepala dan matanya berkaca-kaca bersih setelah kau pergi pagi ini. Kukira mereka kurang tidur semalam, tapi nenekmu menduga mereka terkena campak. Dia bilang kau tidak memberi mereka vaksinasi."

"Benar. Pada saat itu aku pikir vaksin.mmr dapat merusak sistem kekebalan yang belum matang, bahkan ada teori bahwa vaksin itu menyebabkan autisme. Aku tidak mau mengambil resiko. Bagaimana keadaan mereka sekarang?"

"Mereka sedang tidur, jadi aku keluar sebentar."

"Mungkin Dad harus mandi dan berganti pakaian." kataku, agak heran melihat tanda-tanda bahwa ayahku ikut membantu. "Aku akan ke atas dan menggantikan Gram. Aku yakin Gram juga perlu istirahat. Andai saja tadi Dad meneleponku."

"Aku dan nenekmu sepakat rapat di bank terlalu penting untuk diganggu. Lagi pula, kami berdua punya banyak pengalaman dengan anak yang sakit. Mereka tidak berada dalam bahaya." katanya membela diri.

"Aku tahu itu. Terima kasih sudah mengurus mereka."

"Itu bagian dari tugasku," gumamnya sambil mengangkat bahu. "Apa kau mau menceritakan bagaimana rapat tadi?"

"Aku ingin memeriksa anak-anak lebih dulu."

Dia mengangguk. "Kalau butuh sesuatu, teriak saja."

Di dalam rumah, aku sedang menaiki anak tangga saat melihat nenekku turun. "Maaf Gram harus mengurusi ini semua. Jika tahu mereka tertular campak, aku tidak akan membawa mereka ke sini."

"Sulit menjauhkan anak-anak agar tidak tertular penyakit sementara mereka bermain bersama anak-anak lainnya. Terutama cukup rumit untuk mereka berdua. Untunglah ayahmu ada di sini. Apa kau sudah bertemu dengannya?"

"Dia ada di teras. Kurasa, dia sedikit gugup melihat anak-anakku sakit."

"Tak seorang pun mau melihat orang yang mereka cintai sakit," kata Gram. "Ayahmu tidak lebih tegar dari kita semua dalam hal ini."

"Well, begitu selesai memeriksa kedua putriku, aku akan turun dan membuatkan kalian makan siang atau teh, atau apa saja yang kalian mau." Gram mengangguk.

Di lantai atas, aku bergegas berganti celana pendek dan blus, lalu masuk ke kamar lama Jacob dan melihat setumpuk sprei kotor di samping pintu. Dengan berlutut di antara ranjang twin, aku menyentuh dahi kedua anakku. Mereka memang agak demam, tapi tidak terlalu panas. Untuk saat ini, kelihatannya mereka beristirahat cukup nyaman, tidak menyadari gatal-gatal yang akan mulai terasa begitu ruam menyebar di kulit mereka.

"Aku mencintai kalian, Sayang." bisikku, lalu bangkit mengambil tumpukan seprai dan membawanya ke ruang cuci pakaian di dekat dapur.

Gram sedang duduk di meja dapur sambil memegang secangkir teh sementara di seberangnya ayahku memegang segelas bir.

"Mereka baik-baik saja?" tanya ayahku, tatapannya dipenuhi kekhawatiran sungguhan.

"Tertidur lelap," jawabku. "Bagaimana kalau kita makan siang? Apa kalian sudah makan?"

"Aku mau sandwich," sahut ayahku. "Ma, bagaimana denganmu?"

"Mungkin sedikit sup kentang yang kubuat kemarin," katanya, lalu berdiri.

"Duduklah, Gram," pintaku. "Aku akan membuatkan sandwich dan memanaskan supnya. Dad, kau mau sup juga?"

"Sepertinya enak. Kau sudah makan?"

"Sam dan aku sudah sarapan di Glady's setelah pertemuan di bank." ujarku, sengaja memunggungi mereka seraya menyiapkan makanan. Aku berharap taktik ini akan mengurangi banyak pertanyaan, tapi tentu saja tidak.

Begitu selesai menyajikan semuanya, aku duduk sambil membawa secangkir kopi untuk diriku sendiri. "Baiklah, begini situasinya..." kataku, lalu menceritakan secara ringkas kejadian saat rapat tadi.

Ayahku tampak semakin tak tenang. Ketika aku selesai bercerita, dia bangkit dan meraih telepon. "Aku akan mengakhirinya sekarang juga."

Dengan satu gerakan cepat, kurebut telepon itu darinya. "Jangan, Dad. Biarkan saja. Luke akan meminta bank mundur. Mereka tidak akan menutup penginapan Sam."

"Dan, kau bersedia tetap tinggal disini seperti yang dia inginkan?" desaknya.

"Aku akan menelepon bosku dan mencari jalan keluarnya. Sebagian besar pekerjaanku bisa dilakukan online dan melalui telepon atau faks. Begitu Luke punya waktu untuk berpikir, dia akan menyadari tindakannya tidak masuk akal."

"Tidak jika ini caranya untuk menghalangimu." kata Gram menimpali dengan raut memahami.

"Apa maksudmu, Ma?" tanya ayahku.

"Oh, demi Tuhan, Will. Luke dulu menyimpan perasaan terhadap Kate. Kau masih ingat, kan, dulu dia sering datang ke sini? Itu bukan hanya untuk bermain bola dengan George dan Jacob, aku yakin itu." Dia menatapku. "Mungkin perasaannya padamu lebih dalam daripada yang pernah kau ceritakan, ya kan? Aku merasa sesuatu terjadi di antara kalian berdua sebelum kau berangkat ke Sydney."

Aku terdiam sementara ayahku tampak bingung. "Lalu? Dia sengaja memeras Kate agar tetap tinggal di sini?

"Jangan membuatnya terdengar lebih buruk, Will." protes Gram. "Pria yang sedang jatuh cinta akan melakukan banyak hal gila untuk mendapatkan yang diinginkannya."

"Luke tidak jatuh cinta padaku," sergahku tegas. "Ayolah, Gram, kita fokus pada hal yang salah. Yang terpenting sekarang adalah membantu Sam mempertahankan penginapannya."

Sekarang, giliran ayahku yang melemparkan tatapan penuh pertimbangan. "Jika hanya itu yang terpenting, kenapa kau tidak mengizinkanku menelepon Timothy Dawson? Apakah kau menikmati permainan Luke?"

Aku mengerutkan dahi. "Tentu saja tidak, tapi aku bisa mengatasinya. Aku bisa mengatasi Luke."

"Tidak terlihat begitu dari sudut pandangku," kata Gram, walaupun anehnya, dia tampak senang. "Jika dulu kau mengatasi pria itu dengan baik, dia tidak mungkin masih jatuh cinta setengah mati padamu sepuluh tahun kemudian."

"Bisakah Gram berhenti?" gumamku dengan nada memohon. "Aku akan ke atas untuk memeriksa anak-anak. Lalu, menelepon kantor untuk mengabari kalau aku akan bekerja dari sini selama beberapa hari ke depan hingga menyelesaikan semua masalah ini."

Langkahku belum terlalu jauh saat mendengar ayahku berucap, "Kate dan Luke Dawson? Bagaimana bisa aku tidak tahu tentang itu?"

"Karena kau tidak ada di sini," jawab Gram. "Dan kau tidak pernah mendengar sebagian besar ceritaku kepadamu, terutama jika itu menyangkut kehidupan asmara putri-putrimu. Kalau kau yang menentukan, tak seorangpun dari mereka akan berkencan sebelum menginjak usia tiga puluh tahun."

"Ma, kenapa kau berbicara seolah-olah itu hal yang buruk?" gerutu ayahku.

Aku mendesah. Setidaknya untuk sementara ini ayahku tidak berusaha ikut campur dalam bisnis Sam, karena tampaknya tiba-tiba dia mendapati kehidupanku jauh lebih menarik. Sayangnya, siapa yang tahu kemana semua ini akan mengarah? Sudah pasti, bukan kepada hal yang bagus. Satu-satunya yang lebih buruk dari memiliki ayah yang melepaskan diri adalah memiliki ayah yang mencampuri urusan pribadi.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!