...Author's POV....
William Clay belum pulang ke rumah selama satu bulan, meski Winton tak terasa seperti rumah lagi baginya. Dia menghabiskan kebanyakan waktu itu beradu kecerdasan yang memicu frustasi dengan para pihak berwenang mengenai perizinan bangunan untuk rencana terbarunya, yaitu komunitas Melbourne utara. Dengan adanya sejumlah larangan, dia mulai mempertanyakan perlunya meneruskan pengembangan ini. Namun, dia telah mempertaruhkan reputasinya untuk rancangan yang satu ini dan apa yang akan orang katakan jika dia menyerah dan pergi tanpa sebuah perjuangan?
William baru saja menyelesaikan rapat bersama rekan-rekannya dari Clay & Company, para kontraktor, dan para subkontraktor mengenai penundaan terakhir saat telepon selulernya berdering. Dia melirik layar dan melihat nama ibunya yang sudah jarang menghubunginya belakangan ini. Dulu, ibunya hanya akan menelepon bila terjadi keadaan darurat, dan dengan lima orang anak di rumah, situasi tersebut sering kali terjadi.
"Hei, Ma, apa kabar?" Dia menjawab sambil berjalan menjauh dari yang lain sehingga bisa mengobrol secara pribadi.
"Sehat," jawab ibunya. "Aku berharap bisa mengatakan hal yang sama mengenai putrimu."
William merasa detak jantungnya berpacu. "Apa ada yang terjadi pada Kate? Atau Cory?" tanyanya. "Atau pada Sam?"
"Menarik sekali kekhawatiranmu pada Sam berada di urutan terakhir," kata ibunya dengan suara menuduh. "Itu yang selalu jadi masalah di antara kalian berdua. Terkadang, kupikir kau lupa memiliki tiga putri. Tak heran putrimu itu berusaha keras untuk mendapatkan perhatianmu."
"Aku berharap kau tidak menelepon hanya untuk menceramahiku lagi tentang sikap tidak adilku pada Sam. Kita sudah terlalu sering membahas ini." keluh William.
"Kalau begitu, aku kagum ceramah itu belum juga terserap olehmu." jawab ibunya. "Dan, sebenarnya itulah alasanku menelepon. Kapan terakhir kali kau bicara padanya?"
"Beberapa hari yang lalu, kurasa," katanya, berusaha mengingat-ingat, namun dia tidak bisa ingat dengan persis. Ini membuat tuduhan ibunya jadi lebih akurat. Tapi, William tidak ingin mengakuinya. Dia juga belum bicara pada Kate dan Cory.
"Kurasa sudah hampir sebulan," sahut ibunya. "Jika boleh menebak, menurutku saat dia mengantarkanmu ke bandara. Aku ragu kau memikirkannya lagi sejak itu."
William mengernyit saat kalimat itu mengenai tepat sasaran. "Baiklah, mungkin itu benar. Kau ingin mengatakan apa, Ma? Sam wanita dewasa. Dia tidak membutuhkan ayahnya untuk mengeceknya setiap hari."
"Yah, mengeceknya memang tidak," ibunya membenarkan dengan nada tak sabaran yang kentara. "Tapi, bagaimana dengan menelepon hanya untuk menanyakan kabar? Mungkin menanyakan kabar perkembangan penginapan, siapa tahu dia membutuhkan bantuan dalam mempersiapkan pembukaannya? Apakah terlalu berlebihan jika mengharapkan hal-hal seperti itu dari orang tua yang penuh kasih, terutama orang tua yang dengan mudah dapat memanfaatkan seluruh perusahaan konstruksinya?"
William marah mendengar kesan bahwa dia tidak tertarik dengan kehidupan putrinya sendiri atau bahwa dia tidak ingin membantunya. "Sam menyatakan dengan tegas kalau dia tidak mau aku ikut campur. Kau duduk tepat di kursi dapur saat aku menawarkan mengirim salah satu pegawaiku untuk memeriksa segalanya dan dia menolak mentah-mentah, Ma."
"Will, sebagai orang yang cerdas, kau ternyata bisa lebih dungu dari keledai." tegur ibunya. "Mungkin dia tidak mau salah satu pegawaimu yang datang ke sana karena yang dia butuhkan adalah dirimu."
Usia William mungkin sudah lebih dari lima puluh tahun, tapi dia tetap tidak suka ditegur oleh ibunya sendiri. Dia lebih senang berhadapan dengan ratusan birokrat daripada merasa bahwa dia telah mengecewakan keluarganya. Dia menyadari dia telah mengecewakan mereka dengan membuat hidup Melissa, mantan istrinya, sangat menderita hingga pergi meninggalkannya. Dia tidak akan bisa memperbaiki itu, dan kemungkinan besar apapun yang sedang terjadi pada Sam saat ini bukan pula sesuatu yang bisa diperbaiki. Laki-laki macam apa dia? Berhasil menancapkan reputasi internasional sebagai arsitek dan perencana daerah perkotaan, tetapi tidak bisa membuat keluarganya sendiri tetap utuh.
"Ma, kenapa tidak langsung saja mengatakan tujuanmu meneleponku? Apa Sam sedang dalam masalah? Apakah dia butuh uang? Butuh salah satu pegawaiku? Atau apa? Kau tahu aku akan membantu. Yang dia perlukan hanyalah memintanya."
Ibunya menghela nafas dengan berat. "Will, kau tahu dia tidak akan melakukan itu."
"Demi Tuhan, kenapa?" tanya William frustasi. "Kepada siapa lagi dia harus meminta? Aku ayahnya."
"Tepat sekali. Dan, dia terus berusaha membuktikan dirinya sendiri pada dirimu sejak ibunya pergi. Dia merasa kepergian ibunya merupakan salahnya karena terlalu merepotkan dan tidak cukup pintar."
"Sam sangat pintar," William memprotes, persis seperti yang selalu dia lakukan.
"Well, tentu saja dia pintar, tapi belajar selalu menjadi kesulitannya. Dia berpikir itulah yang menyebabkan ibunya pergi. Anak kecil seusia Sam selalu menduga perceraian merupakan kesalahannya."
"Kau menonton Dr. Phil lagi," tuduh William. "Jangan mencoba melakukan psikoanalisis soal hubunganku dengan Sam."
"Yah, tapi memang harus ada seseorang yang membenahinya. Ini sudah terlalu lama, Will. Seberapa cepat kau bisa kembali ke sini?"
"Mungkin dalam beberapa minggu. Bisa jadi lebih lama lagi kecuali kau mengatakan apa yang terjadi dengan bahasa yang bisa dimengerti otaku yang lebih dungu dari keledai ini."
"Jangan bicara tidak sopan padaku. Aku tetap ibumu, Will." kata ibunya mengingatkan.
William hampir mengarang. "Ma, kumohon..."
"Kurasa ada kemungkinan Sam kehilangan penginapan itu sebelum dapat membukanya. Jika itu terjadi, bukan hatinya yang akan hancur tapi juga semangatnya."
Kalimat ibunya membuat William sangat tercengang. Bahkan dia sendiri pun tahu bagaimana dampak kemungkinan itu terhadap putrinya. "Kenapa Mama mengira dia akan kehilangan penginapan itu?"
"Aku mendengar rumor bahwa bank mempertimbangkan untuk melakukan penyitaan. Dan, sebelum kau menganggap itu hanya kabar burung dan menepiskannya, biar kuberitahu bahwa sumberku bisa diandalkan."
William semakin frustasi. "Sialan, aku tahu dia tidak akan memikirkannya matang-matang, tapi dia menandatangani semua dokumen dan terjun ke dalamnya tanpa bicara sedikit pun denganku."
"Itu karena dia harus membuktikan dia dapat melakukan ini sendirian."
"Well, apa yang sebenarnya dia buktikan jika pada akhirnya bank menutupnya?"
"William Jacob Clay, jangan berani datang kemari jika kau hanya akan melemparkan kesalahan ke wajahnya. Dia membutuhkan dukungan ayahnya, bukan mental pengusaha yang menghakimi."
Sekarang giliran William yang menghela nafas berat. Jika kata-kata ibunya benar, maka masalah ini menempatkannya di posisi sulit. "Ma, kita tahu aku bisa membereskan apapun yang terjadi hanya dengan satu telepon ke Timothy Dawson, tapi kau juga tahu bahwa Sam tidak akan berterima kasih kepadaku jika melakukan itu."
"Benar juga," gumam ibunya menyetujui. "Tapi, kita harus melakukan sesuatu, Will. Sam membutuhkan kesuksesannya untuk urusan ini."
"Menurutmu, apakah dia akan benar-benar kehilangan penginapan itu? Mungkin tidak seburuk itu, Ma." katanya, meski dalam hati tetap merasa was-was.
"Sam bahkan menelepon kakaknya, seburuk itulah situasinya. Kate sudah berada di sini sekarang untuk membantu. Tapi, dari ekspresi suram di wajahnya pagi tadi, dibutuhkan lebih dari keajaiban akan kemampuannya untuk membereskan masalah ini." Ibunya menghela nafas. "Pulanglah, Will. Meski Sam mengakuinya atau tidak, dia membutuhkan dukunganmu saat ini. Dan, jika kau terbang malam ini, tentu saja kau bisa menghabiskan waktu bersama Kate dan cucu-cucumu."
"Malam ini?" tanya Will, berusaha memikirkan segala rencana yang mustahil di kepalanya. "Aku ragu bisa mendapatkan penerbangan dalam waktu singkat."
"Gunakan sebagian kekayaan yang kau hasilkan untuk sesuatu yang penting sekali ini saja. Sewa jet pribadi kalau perlu."
William membayangkan berada satu atap lagi bersama putri dan cucu-cucunya serta mendampingi putrinya yang lain yang mungkin akan mengaku bahwa dia membutuhkannya. Ibunya benar, pikirnya. Inilah saatnya dia harus berada di rumah bersama keluarganya.
"Akan kulihat apa yang bisa kulakukan," katanya menyerah.
"Bagus," cetus ibunya. "Dan, sebaiknya kita berpura-pura tak pernah membahas ini."
William tertawa untuk pertama kalinya sejak obrolan tidak mengenakkan ini dimulai. "Kau masih licik, ya, Ma?"
"Yah, aku bangga dengan itu."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 44 Episodes
Comments