Perdebatan berlangsung hampir sepanjang malam itu. Dari kamarku yang terletak tiga pintu dari kamar utama orang tuaku, aku bisa mendengar suara-suara yang meninggi, tapi tidak bisa menangkap kata-kata mereka. Ini bukan pertama kalinya mereka bertengkar dalam beberapa waktu belakangan, namun entah kenapa kali ini terasa ada yang berbeda. Keributan itu dan segala keresahan yang berkecamuk di kepalaku membuatku terjaga sepanjang malam.
Aku berharap pikiran buruk itu hanya ada dalam bayanganku, bahwa rasa takut yang membuat perutku terlilit tak lebih dari hasil imajinasiku yang berlebihan, hingga aku turun ke lantai bawah setelah matahari terbit dan melihat beberapa koper di pintu depan. Sekarang aku baru mengerti. Kali ini, seseorang akan pergi, mungkin untuk selamanya jika di lihat dari tumpukan koper di pintu.
Aku berusaha meredakan kepanikan, mengingatkan diri bahwa ayahku, William Clay, selalu bepergian. Sebagai arsitek internasional yang diakui, dia selalu pergi ke suatu tempat untuk melakukan pekerjaan, semacam petualangan baru. Namun, sekali lagi, kali ini terasa berbeda. Ayahku baru beberapa hari berada di rumah setelah kembali dari perjalanan terakhirnya, dia jarang datang sebentar lalu pergi lagi.
"Kate!" suara ibuku terdengar terkejut dan agak gugup. "Apa yang membuatmu terbangun sepagi ini?"
Aku tidak kaget melihat ibuku tertangkap basah. Sebagian besar remaja, termasuk aku dan adik laki-lakiku, benci bangun pagi pada akhir pekan. Biasanya, pada hari Sabtu aku baru keluar dari kamar saat hari menjelang siang.
Aku bertatapan dengan ibuku dan bisa melihat kecemasan di matanya. Aku tahu jelas bahwa Ibuku hendak pergi sebelum seorang pun bangun dan menghadangnya dengan pertanyaan-pertanyaan tak menyenangkan.
"Mom akan pergi, kan?" tanyaku dengan nada datar, berusaha tidak menangis. Usiaku baru tujuh belas tahun, dan jika dugaanku tentang apa yang sedang terjadi benar, maka aku harus bersikap kuat demi adik-adikku.
Air mata menggenang di matanya. Dia membuka mulut hendak berbicara, namun tak sepatah katapun yang keluar, dan akhirnya dia mengangguk.
"Kenapa, Mom?" kataku memulai, diikuti deretan pertanyaan lain. "Kemana kau akan pergi? Bagaimana dengan kami? Aku, Cory, Sam, George, dan Jacob? Apa kau akan meninggalkan kami juga?"
"Oh, Sweetheart, aku tidak akan pernah melakukan itu." desis ibuku sambil mengulurkan tangan. "Kalian anak-anakku. Begitu keadaanku stabil, aku akan kembali menjemput kalian. Aku berjanji."
Walaupun pernyataannya kuat, aku bisa melihat kecemasan dibalik kata-katanya. Kemanapun dia pergi, dia sedang ketakutan dan aku yakin keputusannya dipenuhi ketidakpastian. Bagaimana tidak? Ibu dan Ayahku telah menikah selama hampir dua puluh tahun. Mereka memiliki kami, lima bersaudara, beserta seluruh kehidupan yang dibangun tepat di sini, di Winton, kota yang di desain dan dibangun oleh Ayahku bersama paman-pamanku. Dan sekarang ibuku akan pergi sendiri, memulai kembali kehidupannya. Jadi, bagaimana mungkin dia tidak merasa takut?
"Mom, apakah kau benar-benar menginginkan ini?" tanyaku, mencoba memahami keputusan drastis yang diambilnya. Aku mengenal banyak anak yang orang tuanya bercerai, tapi bukan Ibu mereka yang berkemas dan pergi. Jika memang seseorang harus pergi, maka pastilah sang ayah yang menjauh. Dan keputusan ibuku tampak ribuan kali lebih buruk.
"Tentu saja bukan ini yang kuinginkan," jawab ibuku dengan tegas. "Tapi aku tidak sanggup hidup terus seperti ini." Rautnya mengatakan seolah dia ingin berbicara lebih banyak, tapi kemudian menepiskannya. "Ini permasalahan di antara ayahmu dan aku, dan yang kutahu adalah aku harus membuat perubahan. Aku membutuhkan awal yang baru."
Di satu sisi, aku merasa lega karena ibuku tidak berkata banyak. Aku tidak ingin terbebani dengan mengetahui apa yang membuat ibuku pergi. Aku mencintai dan menghormati kedua orang tuaku dan tidak tahu bagaimana cara menerima kalimat panas yang dapat menghancurkan rasa cintaku pada salah satu dari mereka.
"Tapi, kau akan kemana, Mom?" tanyaku lagi.
Tentu saja tidak akan jauh. Ibuku tidak akan membiarkanku menghadapi dampak dari keputusan ini sendirian. Ayahku pria paling payah untuk urusan emosi. Dia bisa menangani segalanya, menafkahi, mencintai, bahkan sesekali menemani kami menonton pertandingan bola atau melakukan hal remeh lainnya, tetapi hanya ibuku yang dapat kami andalkan saat berhadapan dengan masalah sehari-hari atau ketika perasan kami terluka.
Namun, kenapa dia tidak berpikir bahwa aku dapat mengatasi semua hal itu? Semua orang di keluarga tahu aku melaksanakan tanggung jawabku sebagai anak sulung dengan sungguh-sungguh. Aku tahu bahwa orang tuaku mengandalkanku sebagai cadangan. Emmy, yang baru berulang tahun ke dua belas tapi sudah dewasa, dan kedua adik laki-laki ku akan baik-baik saja.
Dengan kepergian ibuku, pada awalnya Emmy mungkin akan menarik diri, tapi dia cukup matang dan mandiri, dia akan menemukan caranya sendiri untuk mengatasi masalah ini. George dan Jacob masih remaja, tak ada yang mereka pedulikan selain olahraga dan para gadis. Mereka justru lebih sering malu pada ibu mereka yang terlalu bersemangat dan penuh kasih sayang.
Yang tersisa adalah Sam. Dia masih terlalu kecil. Well, dia berulang tahun ke tujuh minggu lalu, tapi usia itu masih terlalu muda untuk ditinggal oleh ibunya. Aku tidak tahu bagaimana menggantikan perannya walau untuk sementara.
"Aku tidak akan terlalu jauh." Ibuku mencoba meyakinkanku. "Begitu mendapatkan pekerjaan dan tempat tinggal untuk kita semua, aku akan kembali menjemput kalian. Tidak akan terlalu lama." Dia terdiam sejenak lalu menambahkan. "Aku takkan meninggalkan kalian terlalu lama."
Aku ingin berteriak dan mengatakan bahwa berapapun waktunya tetap akan terasa lama, berapapun jaraknya tetap akan terasa jauh. Kenapa ibuku tidak memahami itu? Tapi, dia terlihat sangat sedih. Tersesat dan sendirian. Pipinya pun basah oleh air mata. Jadi, aku tidak sanggup berteriak padanya dan membuatnya merasa lebih buruk. Aku harus mencari cara untuk menghadapi ini agar adik-adikku bisa mengerti.
Lalu, terlintas hal lain yang lebih mengejutkanku, pikiran yang lebih menakutkan. "Bagaimana kalau Dad pergi bekerja? Siapa yang akan menjaga kami?"
Sesaat ekspresi Ibuku berubah ragu, mungkin karena mendengar nada ketakutan yang sangat jelas dari suaraku. "Gram akan pindah kemari. Ayahmu sudah berbicara dengannya, dia akan tiba di sini nanti."
Ketika menyadari bahwa ini benar-benar terjadi, mereka bahkan sudah mengatur agar Gram pindah kemari, maka bisa dipastikan perpisahan ini bersifat permanen dan bukan semacam perpisahan sementara yang akan selesai begitu akal sehat orang tuaku kembali. Aku menggeleng. "Tidak," bisikku. "Ini buruk sekali, Mom."
Dia terperangah mendengar letupan emosiku. "Tapi kalian semua mencintai Gram! Kalian pasti senang bersamanya disini."
"Bukan itu intinya," sergahku. "Gram bukan kau, Mom! Kau tidak boleh melakukan ini pada kami."
Dia menarikku kedalam pelukannya, tetapi dengan segera aku melepaskan diri. Aku tidak mau ditenangkan sementara dia akan keluar dari pintu dan menghancurkan hidup kami.
"Aku tidak melakukan ini kepadamu." cetusnya, ekspresinya memohon pengertian. "Aku melakukan ini untuk diriku sendiri. Kumohon, mengertilah. Setidaknya inilah jalan terbaik untuk kita semua." Dia menyentuh pipiku yang panas oleh air mata. "Kalian akan menyukai Sydney, Kate. Terutama kau. Kita akan pergi ke bioskop, gedung pertunjukan, dan galeri seni."
Mataku melotot terkejut. "Mom akan pindah ke Sydney?" Sesaat aku melupakan impianku sendiri untuk bekerja di sana suatu hari nanti, menjadikan namaku terkenal di dunia keuangan. Yang bisa kupikirkan saat ini adalah Sydney yang berjarak berjam-jam lamanya dari rumah kami di Winton, Queensland. Sebagian dari diriku berharap ibuku tinggal tidak lebih jauh dari kota tetangga, seperti Rockhampton atau Townsville. Bukankah itu sudah cukup jauh untuk melarikan diri dari masalahnya dengan ayahku tanpa mengabaikan anak-anaknya?
"Apa yang harus kami lakukan jika membutuhkanmu?" desakku.
"Tentu saja kalian bisa meneleponku." sahut ibuku.
"Dan menunggumu beberapa jam sebelum tiba di sini? Mom, ini gila!"
"Sweetheart, ini tidak akan terlalu lama, maksimal beberapa minggu, kemudian kalian akan tinggal bersamaku. Aku akan mencari tempat yang bagus untuk kita, sekolah terbaik untuk kalian. Ayahmu dan aku sudah sepakat mengenai itu."
Aku ingin percaya bahwa semua akan berjalan baik-baik saja. Namun, pada saat yang sama aku ingin menahannya, disini untuk menjawab semua pertanyaan sampai dia lupa dengan rencana gilanya. Lalu mendadak sebuah taksi berhenti di luar. Dengan ngeri, aku menatapnya sebelum kembali melihat ibuku. "Mom akan pergi saat ini juga, bahkan tanpa berpamitan?" Ya Tuhan, kenapa dia begitu kejam?
Air mata mengalir di pipi ibuku. "Percayalah padaku, ini keputusan terbaik dan termudah untuk kita. Aku sudah meninggalkan surat untuk semuanya di bawah pintu kamar tidur mereka dan aku akan menelepon malam ini. Kita akan segera berkumpul kembali."
Sementara aku tetap berdiri disana, membeku karena terkejut, ibuku mengambil dua atas pertama dan membawanya melewati teras tangga depan menuju taksi yang sedang menunggu. Supir taksi muncul untuk membantunya mengangkat tas yang lain.
Kemudian dia berhenti di ambang pintu dan menyentuh daguku. "Aku mencintaimu, Sayang. Dan, aku tahu kau sangat tegar. Kau akan berada disini mendampingi adik-adikmu. Hanya inilah yang akan membuat perpisahan ini menjadi baik."
"Ini tidak baik!" jawabku dengan penuh amarah, suaraku mulai meninggi. Sampai detik ini, aku selalu berhasil mengontrol emosiku, tapi saat menyadari dia benar-benar akan pergi membuatku ingin berteriak. Aku bukan orang dewasa, dan ini bukan merupakan tanggung jawabku. Dia dan ayahku yang harus memikul tanggung jawab terhadap kami, anak-anak mereka.
"Aku membencimu!" jeritku ketika ibuku berjalan keluar. Aku menjerit sekali lagi untuk memastikan dia mendengar amarah dalam suaraku, tapi dia tidak menoleh sedikitpun.
Aku pasti akan terus berteriak hingga taksi itu lenyap dari pandanganku, tapi sudut mataku menangkap suatu gerakan. Aku melirik dan melihat Sam, mataku melotot kebingungan dan terkejut.
"Mommy," bisik Sam, dagunya bergoyang saat menatap taksi yang menghilang dari balik pintu yang terbuka. Rambut pirangnya kusut. "Mommy pergi kemana?"
Aku mencoba mengumpulkan kekuatan dalam diriku yang kata orang kumiliki, lalu berusaha memadamkan seluruh amarah dan memaksakan seulas senyum untuk adik kecilku. "Mommy hanya jalan-jalan."
Air mata Sam menggenang. "Kapan Mommy pulang?"
Aku mengayunkan tangan merangkul adikku. "Entahlah." jawabku tersekat, kemudian menambahkan dengan kepercayaan diri yang sebenarnya tidak kurasakan. "Mom janji tidak akan lama."
Tentu saja, itu merupakan kebohongan.
Menjadi seseorang dengan kemauan yang kuat itu menyebalkan!
Aku merangkak naik ke ranjang lewat tengah malam, merasa lelah baik secara mental maupun fisik setelah hari yang heboh di The State Office Block. Aku berhasil menghabiskan dua puluh menit waktu berkualitas bersama putri kembarku sebelum mereka tertidur, bahkan sebelum paragraf pembuka The Ugly Duckling.
Aku menyantap masakan Cina yang sudah dipanaskan kembali selama tiga kali berturut-turut, kemudian mengeluarkan setengah lusin laporan analisis pasar yang sangat tebal yang harus kubaca sebelum bursa saham dibuka besok pagi. Yah, bacaan sebelum tidurku lebih menantang daripada bacaan yang dipilih Crystal dan Pearl.
Bukan bermaksud sombong, tapi Aku cukup ahli dalam pekerjaanku sebagai portofolio manajer sebuah perusahaan makelar besar, namun sejauh ini pekerjaan itu telah mengorbankan pernikahanku dengan seorang pria yang hebat, yang lelah karena selalu dinomorduakan setelah karirku.
Walaupun aku dan Nick memiliki hak asuh bersama atas si kembar, aku sering merasa seolah-olah tidak mengenal kedua putriku yang berusia lima tahun. Kadang sepertinya mereka lebih banyak menghabiskan waktu dengan pengasuh, bahkan dengan mantan suamiku, daripada bersamaku. Sudah lama aku tak bisa melihat apa tepatnya yang sedang kubuktikan dan kepada siapa.
Mendadak dering telepon mengejutkanku, aku melirik jam dinding dan mengerang. Pada jam seperti ini, itu pasti telepon darurat. Dengan jantung berdetak kencang, aku meraih gagang telepon.
"Kate, ini aku," kata adikku, Samantha. Sam adikku yang paling kecil dari total lima bersaudara Clay dan yang paling suka begadang diantara kami. Aku terjaga sampai tengah malam karena itulah satu-satunya cara untuk menjajal kan cukup banyak pekerjaan ke dalam 24 jam sehari, sementara Sam terjaga sampai larut karena dia baru bisa melakukan sesuatu dengan baik saat bulan dan bintang mulai bermunculan. "Tadi aku menelepon, tapi kata pengasuh kau belum pulang. Kemudian, perhatianku teralihkan oleh proyek yang sedang kukerjakan. Aku harap kau tidak terganggu. Aku tahu biasanya kau masih terjaga semalaman."
"Tidak apa-apa," Aku meyakinkannya. "Apa semua baik-baik saja? Kau terdengar stres. Apa sesuatu terjadi pada Gram? Atau Dad?"
"Gram baik-baik saja. Dia hidup lebih lama dari kita semua. Dan, Dad pergi ke suatu tempat untuk membangun gedung. Aku tidak tahu dimana."
"Dia di Melbourne minggu lalu." jawabku.
"Kalau begitu, kurasa dia masih di sana. Kau tahu, dia harus mengawasi setiap detail apapun saat salah satu proyeknya sedang dibangun. Tentu saja, tak lama kemudian dia akan kehilangan minat, persis seperti pada Winton."
Terdengar nada pahit dari suara Sam. Sebagai anak bungsu dari lima bersaudara, dia lebih rindu waktu menghabiskan waktu bersama Dad selain kami semua. Nama ayahku sudah terkenal sebagai arsitek dan perancang daerah perkotaan saat dia mendesain dan membangun Winton, sebuah komunitas tepi pantai yang sekarang terkenal di Winton Bay. Ayahku bekerjasama dengan saudaranya, satu orang pembangun, yang lainnya seorang aktivis lingkungan. Kota itu merupakan permata berharga dalam karir ayahku dan tempat ideal yang disebut rumah oleh keluargaku. Namun, ternyata tidak demikian.
Ayahku dan saudaranya bertengkar mengenai konstruksi, persoalan lingkungan, dan bahkan tentang pemeliharaan beberapa bangunan bersejarah yang akan roboh pada beberapa properti. Pada akhirnya, mereka berhenti bekerja sama. Sekarang, walaupun sama-sama tinggal di dalam atau di dekat Winton, mereka jarang berbicara kecuali saat liburan, yaitu saat Gram berkeras berpura-pura memiliki keluarga yang harmonis.
Ibuku tinggal di Sydney sejak dia dan ayahku bercerai lima belas tahun lalu. Rencananya dia akan membawa kami anak-anaknya ikut pindah ke Sydney, tapi semua itu tidak terwujud dengan berbagai alasan yang tak bisa kumengerti. Kami tetap tinggal di Winton bersama ayah yang jarang pulang serta Gram. Beberapa tahun belakangan, satu persatu dari kami pergi, kecuali Sam yang tampak nyaman memiliki hubungan akan cinta dan benci dengan kota itu dan ayah kami.
Setelah kuliah, aku pindah ke Sydney dan membangun kembali ikatan yang kuat dengan ibuku, tapi tak seorang pun dari adikku mendapatkan kesempatan yang sama. Tidak hanya Sam, kami semua memiliki hubungan yang sulit dengan ayah. Hanya di Gram-lah dengan senyum terkembang dan suara lembutnya yang mempersatukan dan tetap menjadikan kami sebuah keluarga.
"Apa kau menelepon untuk mengeluh tentang Dad, atau ada hal lain yang mengusik pikiranmu?" tanyaku pada adikku.
"Oh, aku selalu bisa menemukan sesuatu untuk dikeluhkan mengenai Dad," Sam mengaku. "Tapi, sebenarnya aku menelepon karena membutuhkan pertolonganmu."
"Sebutkan," sahutku dengan segera. "Katakan saja apa yang kau butuhkan." Aku akrab dengan semua adikku, tapi hanya Sam yang memiliki tempat spesial di hatiku. Mungkin karena perbedaan usia kami yang cukup jauh dan kuantitas kehadiranku disampingnya. Sejak ibuku pergi, aku masuk untuk menggantikan perannya di dalam hidup Sam.
"Bisakah kau pulang?" Nada memohon terdengar jelas di suaranya. "Ini terlalu rumit untuk dibicarakan di telepon."
"Oh, Sayang... Aku tidak tahu," ujarku ragu. "Pekerjaanku sedang menggila."
"Pekerjaanmu selalu menggila, dan itulah alasan tepat kau harus pulang. Sudah lama sekali, Kate. Sebelum si kembar lahir, kau menggunakan pekerjaan sebagai alasan. Kemudian, alasanmu beralih ke si kembar. Sekarang pekerjaan dan si kembar."
Aku mengernyit. Itu benar. Aku sudah membuat berbagai alasan selama beberapa tahun belakangan. Aku mendiamkan nuraniku dengan kenyataan bahwa setiap anggota keluargaku senang sekali mengunjungi Sydney dan sering datang kemari. Selama menjumpai mereka, rasanya bukan masalah jika pertemuan hampir selalu diadakan di apartemenku, alih-alih di Winton. Aku tidak pernah berhenti menganalisis mengapa mudah sekali bagiku untuk menjauh. Mungkin karena Winton tidak terasa seperti rumah setelah ibuku pergi.
Sebelum aku sempat menjawab, Sam menambahkan. "Ayolah, Kate. Kapan terakhir kali kau liburan sungguhan? Pasti saat bulan madu, aku berani bertaruh. Kau tahu kau perlu istirahat dan anak-anak akan senang tinggal di sini. Seharusnya mereka menghabiskan waktu berkualitas di kota yang kakek mereka bangun dan tempatmu dibesarkan. Gram dapat memanjakan mereka selama beberapa minggu. Tolonglah, aku tidak akan memintamu jika ini tidak terlalu penting."
"Sepenting mempertaruhkan nyawa?" tanyaku. Ini gaya percakapan kami sejak dulu untuk menilai apakah suatu krisis benar-benar terjadi atau hanya titik kecil sementara dalam hidup kami.
"Bisa ke arah itu," kata Sam dengan serius. "Setidaknya dalam pengertian bahwa seluruh masa depanku menjadi taruhannya. Aku rasa kaulah satu-satunya orang yang bisa membenahi ini, Atau paling tidak seseorang yang dapat kumintai pertolongan."
Terkejut mendengar nada suram dalam suara adikku, aku berucap. "Mungkin lebih baik kau mengatakannya sekarang."
"Kau terus berada disini untuk bisa memahaminya. Kalau kau tidak bisa tinggal selama dua Minggu, maka paling tidak datanglah untuk beberapa hari. Kumohon..."
Ada sesuatu dalam suara adikku yang belum pernah kudengar, suatu desakan yang menyiratkan bahwa dia tidak melebih-lebihkan pernyataannya tentang masa depannya yang menjadi taruhan. Sam satu-satunya dari kami yang kehilangan fokus sejak dewasa, dan aku tahu aku tidak bisa berpaling darinya. Dan dia benar, istirahat sejenak bisa sangat bermanfaat bagiku. Bukankah aku baru saja meratapi kecenderungan diriku yang gila kerja?
Aku tersenyum membayangkan betapa menyenangkannya menghirup udara Winton kembali. Terlebih lagi, aku akan punya waktu bebas bersama anak-anakku di tempat mereka bisa berayun di taman bermain yang di desain ayahku sebagai taman kota, membangun istana pasir di pantai, dan berlari menapaki air yang dingin di sepanjang pantai.
"Aku akan mengusahakan jalan keluarnya besok dan tiba di sana pada akhir pekan," kataku menyerah. Kupandang jadwalku yang padat dan menyeringai. "Aku hanya bisa tinggal selama dua hari, oke?"
"Satu minggu," Sam memohon. "Aku tidak yakin masalah ini bisa diselesaikan dalam satu atau dua hari."
Aku mendesah. "Akan kulihat apa yang bisa kulakukan."
"Apa saja yang bisa kau atur," sahut Sam segera, mencoba untuk berkompromi. "Kabari aku kapan penerbanganmu mendarat dan aku akan menjemputmu."
"Aku akan menyewa mobil" balasku.
"Setelah beberapa tahun di Sydney, apa kau masih ingat cara mengemudi?" Sam meledek. "Atau bahkan jalan menuju rumah?"
"Ingatanku tidak seburuk itu." jawabku. "Sampai jumpa nanti, Sweetheart."
"Aku akan menelepon Gram dan mengabarinya kau akan datang."
"Katakan kepadanya untuk tidak perlu repot-repot, oke?" gumamku, walau mengetahui itu sia-sia saja. "Kita akan makan malam di luar. Aku sangat merindukan kepiting Southland."
"Tidak mungkin," cetus adikku. "Masih terlalu awal di musim ini. Tapi kalau kau mau kepiting kukus, aku akan mencarinya dan membawanya untuk makan malam hari Jumat. Kita bisa makan di teras, tapi aku tidak akan menghentikan Gram memasak."
Aku tertawa mendengar antusiasme adikku. Ada saat-saat dalam hidupku ketika aku ingin mempelajari semua resep tradisional keluarga dan membuka toko kue, tapi itu sebelum aku menemukan minat dan bakatku di dunia keuangan. Dan itu merupakan tiket keluarku dari Winton.
Sekarang, setelah lebih dari sepuluh tahun tahun penuh kesibukan... tahun-tahun yang kuhabiskan dengan memanjat jenjang karir perusahaan yang berbahaya, menikah, melahirkan anak kembar, dan bercerai... aku akan kembali pulang untuk kunjungan sungguhan, kunjungan lebih lama dari akhir pekan yang terburu-buru tanpa sedikit waktu pun untuk istirahat sebelum kembali terbang ke Sydney.
Aku masih bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi pada Sam.
...Luke Dawson POV...
"Setidaknya, bisakah kau memakai dasi?" Ayahku menggerutu, mengerutkan dahi padaku. "Kalau kau ingin mengambil alih bank ini, kau harus memberikan contoh yang baik pada karyawannya. Kau tidak boleh datang kemari dengan tampang seperti baru turun dari Harley Davidson."
Aku memandang ayahku dengan girang. "Memang persis itulah yang kulakukan. Motorku ada di lapangan parkir."
Kerutan dahi ayahku bertambah dalam. "Kupikir aku sudah menyuruhmu menggunakan mobil ibumu. Kau harus menjaga imej sekarang."
"Apa yang harus Mom lakukan?" tanyaku dengan penasaran. "Aku tak bisa membayangkan dia menaiki Harley-ku ke pertemuan klub taman."
"Dia punya puluhan teman yang akan dengan senang hati menjemputnya." sahut ayahku.
"Yah, kelihatannya tak seorangpun dari mereka mau ikut membeli macam-macam barang kebutuhan bersamanya setelah pertemuan." jawabku.
"Kau memang selalu memiliki jawaban untuk apapun, ya?" gerutunya. "Situasi ini tidak akan berhasil kalau kau tidak menganggapku atau pekerjaan ini dengan serius."
"Aku selalu menanggapi Dad dengan serius," cetusku. "Sementara untuk pekerjaan, aku tidak mau mengambilnya sama sekali. Karirku sangat bagus di Sydney. Hanya karena aku tidak mau mengenakan jas atau menggunakan kalkulator bukan berarti pekerjaan itu tidak terhormat."
Bahkan, karirku sebagai desainer paruh waktu tak hanya menghasilkan cukup uang, tapi juga memungkinkanku tinggal dan bekerja di sebuah gedung besar di daerah Bent Street. Dan, pekerjaan itu tidak mewajibkanku menuruti kemauan ayahku. Itu nilai tambah yang penting berdasarkan pandanganku.
Kini, kerutan ayahku semakin dalam. "Lalu? Apa aku harus membiarkan bank komunitas ini dilahap salah satu konglomerat bank besar?"
"Mungkin begitu," kataku, tahu bahwa jawabanku akan menekan tombol emosi ayahku. "Begitulah jalan hidup dunia perbankan."
"Well, bank ini tidak akan seperti itu, paling tidak selama aku masih punya hak bicara." cetusnya dengan keras kepala. "Winton Community Bank melayani orang-orang di kota ini dengan cara yang tak akan bisa dilakukan perusahaan besar yang tidak jelas dan tidak mengenal mereka secara pribadi."
Aku tidak mampu mendebat poin ini. Hanya saja aku tak mau ambil bagian dalam menjalankan bank, entah itu warisan keluarga atau bukan. "Kenapa Dad tidak menjadikan Janice sebagai penanggung jawab?" tanyaku, merujuk pada adik perempuanku.
Aku sengaja mengangkat topik ini. Jika aku bisa meyakinkan ayahku untuk menempatkan Janice pada pekerjaan yang selalu diinginkannya ini, aku bisa pulang ke Sydney besok pagi. Yang harus kulakukan adalah menjejalkan ide ini ke ayahku.
"Pikirkan itu, Dad. Dia menguasai angka-angka. Nilai matematika-nya tinggi bukan main, dan hampir semua nilainya tinggi dalam pelajaran bisnis di kuliahnya. Dia memiliki gelar master dari Monash University, dan kemampuannya sangat natural."
"Aku sudah memikirkan itu," gumamnya mengakui. "Bahkan aku sudah membicarakan itu dengannya, tapi adikmu menyuruhku pergi."
Itu tidak terduga. "Kenapa?" tanyaku heran.
Ayahku mengangkat bahu. "Dia mengatakan tidak mau menjadi pilihan kedua seseorang, bahkan diriku."
Aku memandangnya dengan raut bingung. "Tapi, Dad memintanya lebih dulu."
"Kapan adikmu pernah pakai logika? Dia yakin aku hanya memintanya karena aku tahu kau tidak menginginkan pekerjaan ini."
"Kurasa kau tidak berusaha meyakinkannya bahwa dia salah." sergahku.
"Bagaimana bisa kulakukan itu sementara yang dikatakannya merupakan kebenaran."
"Kapan kalian berdua bisa belajar berkomunikasi?" Aku menggerutu.
Aku dan ayahku berselisih sepanjang sembilan puluh persen waktu, tapi dia dan adikku jarang sekali sepakat mengenai sesuatu, mulai dari hal remeh seperti sereal untuk sarapan sampai keputusan penting tentang siapa yang pantas mengelola bank. Memang sudah seperti itu sejak Janice belajar berbicara.
"Maksudmu, berkomunikasi seperti kau dan aku?" katanya dengan tetus dan tajam.
"Ya, paling tidak seperti itu." sahutku. "Dengar, Dad... aku akan berbicara dengannya dan berusaha melancarkan sesuatu di antara kalian berdua. Harga dirinya terluka karena selama bertahun-tahun Dad jelas-jelas menunjukkan bahwa Dad menginginkanku disini, tapi dia akan paham."
Ayahku memukul meja dengan kepalan tangan. "Sialan, kaulah yang seharusnya paham, Luke! Bagaimana dengan kesetiaan terhadap keluarga? Seorang pria bekerja seumur hidupnya untuk membangun sesuatu yang baik bagi anak laki-lakinya, dan kau membuangnya tanpa pikir panjang."
"Aku memikirkannya seumur hidupku. Kau tidak pernah merahasiakan keinginanmu, Dad. Sudah berkali-kali aku memikirkan masalah ini sejak kau menelepon. Dad, ayolah... kau tahu bekerja dari pukul sembilan sampai pukul lima tidak cocok untukku. Aku menyukai pekerjaan yang membutuhkan kreativitas, sebuah kata yang cenderung membuat para bankir cemas bukan main."
Senyum samar akhirnya mengembang di bibir ayahku. "Memang benar," dia mengakui. "Bagaimana kalau begini? Kita coba dalam waktu enam bulan. Kalau kau masih membencinya, kau boleh menyerah dengan restu dariku. Cukup adil, bukan?"
Sebagai seniman terhormat dan laris yang bekerja paruh waktu untuk beberapa perusahaan iklan terkenal di Sydney, aku memiliki fleksibilitas untuk melakukan permintaan ayahku. Bahkan aku bisa tetap menjalin hubungan dengan beberapa klien agar pikiranku tidak berubah sinting di Winton ini. Jika cara itu bisa memberiku kebebasan permanen, maka aku akan bertahan melalui enam bulan dengan menggunakan jas. Dan untuk manfaat jangka panjangnya, rasanya menunjukkan kesetiaan dalam waktu singkat lebih bijak dibandingkan menciptakan keretakan di dalam keluarga.
Selain itu, aku bisa memanfaatkan waktu tersebut berusaha meyakinkan adikku untuk melupakan harga dirinya yang bodoh dan merasa menjadi pilihan kedua. Janice menginginkan pekerjaan ini sejak dia bisa belajar menghitung. Dia harus meraihnya, alih-alih menyia-nyiakan talentanya menjadi bendahara beberapa pengusaha lokal. Sayangnya, dia mewarisi sifat keras kepala ayahku. Mungkin aku akan membutuhkan setiap hari dalam enam bulan tersebut untuk mendamaikan mereka berdua.
"Baiklah, enam bulan." kataku menyetujui. "Tidak lebih sehari pun."
Wajah ayahku berseri-seri memandangku. "Kita lihat nanti. Kau mungkin akan menyadari bahwa kamu memiliki bakat dalam dunia perbankan."
"Atau Dad menyadari bahwa aku tidak cukup kompeten saat menghadapi matematika."
"Aku memiliki hasil tes perguruan tinggimu dan hasilnya mengatakan sebaliknya." Dia berdiri lalu mengulurkan tangan. "Selamat bergabung, Anakku."
Aku menerima uluran tangannya sambil mengamati wajahnya dengan lekat-lekat. Menyadari ada kilatan cahaya di matanya yang menyiratkan sesuatu yang lebih dari negosiasi ini. "Apa yang sebenarnya Dad rencanakan?" tanyaku hati-hati.
"Rencanakan?" Dia memasang wajah pura-pura polos.
"Jangan coba-coba bersikap polos, Dad. Kau sedang merencanakan sesuatu dan itu tak ada hubungannya dengan aku menjadi anak didikmu di sini."
"Kita sudah membuat kesepakatan bisnis, itu saja." katanya bersikeras. "Sekarang, mari kutunjukkan kantormu. Saat ini dekorasinya standar, tapi kau boleh merubahnya sesukamu kalau kau memutuskan untuk tetap tinggal. Sementara itu, aku akan meminta Christian membahas map kredit pinjaman bersamamu. Kita ada rapat dengan komite kredit peminjaman Selasa pagi, dan kau harus sudah menyiapkan rekomendasimu pada saat itu."
Aku mengangkat sebelah tangan. "Tunggu sebentar. Pengetahuanku tidak cukup banyak untuk membuat rekomendasi apakah aplikasi pinjaman harus disetujui atau tidak."
"Christian akan menunjukkan detailnya padamu. Dia satu-satunya orang kepercayaanku selama ini. Dan, semua dokumen itu bukan hanya berisi aplikasi pinjaman, kemungkinan ada tentang penyitaan juga."
Perutku mencelos. "Dad ingin aku memutuskan apakah rumah seseorang harus diambil kemudian dilelang?"
"Kita bicara soal bisnis, bukan rumah. Lagi pula, kau tidak akan memutuskannya sendirian. Dewan pengurus yang akan memberi keputusan akhir, namun kemungkinan besar kami akan bertindak berdasarkan rekomendasimu."
"Tidak," bantahku. Memangnya siapa aku yang tega mencabik-cabik impian seseorang menjadi berkeping-keping? Bisnis di Winton umumnya kecil dan dijalankan oleh keluarga. Rasanya akan seperti mengambil makanan tepat dari meja seseorang yang kukenal. Aku tidak mungkin memiliki nyali untuk melakukan sesuatu semacam itu.
"Kau tidak boleh berhati lembut, Son. Ini murni bisnis, urusan dolar dan sen. Kau akan melihatnya begitu memeriksa dokumen-dokumennya." Dia menepuk pundakku. "Mulailah memeriksa dokumen itu dan aku akan menyuruh Christian masuk."
Aku memandang gusar pada punggung ayahku yang berjalan keluar, kemudian menoleh ke tepukan map di tengah meja besar yang memenuhi sudut ruangan. Tepat di tumpukan paling atas, terlihat satu map berstiker merah di depannya.
Aku duduk di kursi kulit di balik meja, memandang waspada ke dalam map itu. Rasa penasaranku akhirnya mengambil alih, dan aku membuka dokumen tersebut.
"Oh, sialan!" bisikku saat membaca tulisan teratas.
...Kemungkinan peringatan penyitaan Penginapan di Kango Point. Pemilik: Samantha Clay....
Aku mengenal Sam Clay, tapi bukan sosok Sam yang segera muncul dalam pikiranku. Sosok kakaknya-lah yang melintas. Catherine, wanita yang telah mencuri hatiku bertahun-tahun lalu pada malam musim panas yang penuh gairah, lalu menghilang bahkan tanpa mengucapkan selamat tinggal.
Selama bertahun-tahun, aku meyakinkan diri bahwa sungguh tak masuk akal untuk terus mengingat memori yang begitu menyesakkan. Aku berusaha menghilangkan ingatan itu dengan menjalin hubungan yang lain, meski kebanyakan hanya bersifat kesenangan sesaat, tapi ada beberapa juga yang mendalam. Pada akhirnya, aku tetap tidak bisa mengenyahkan hasratku pada seseorang berambut pirang, bermata ceria, dan memiliki semangat pantang menyerah yang setara denganku.
Dan, kini aku harus memutuskan nasib adik perempuannya?
Satu hal yang kuketahui tentang keluarga Clay, mereka berjuang bersama-sama. Jika aku berurusan dengan Sam, berarti aku juga harus berurusan dengan yang lainnya, termasuk Kate. Apakah ini yang menyebabkan sinar berkelebat di mata ayahku tadi?
Aku menepiskan kemungkinan itu. Ayahku tidak mungkin tahu bahwa selama ini aku masih terus menyimpan bara asmara pada Kate. Tak seorang pun tahu.
Kecuali, Janice. Dia merupakan sahabat Kate. Bahkan dia melindungi kami berdua pada malam menakjubkan di sebuah gua terpencil di pantai. Atau mungkinkah adik dan ayahku bekerja sama dalam hal ini?
Aku gemetar membayangkan kemungkinan itu. Mungkin akhirnya keinginanku akan terwujud dan bisa bertemu Kate lagi. Atau Mungkin aku akan mendarat dalam kekacauan besar? Aku tidak tahu.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!