Menjadi seseorang dengan kemauan yang kuat itu menyebalkan!
Aku merangkak naik ke ranjang lewat tengah malam, merasa lelah baik secara mental maupun fisik setelah hari yang heboh di The State Office Block. Aku berhasil menghabiskan dua puluh menit waktu berkualitas bersama putri kembarku sebelum mereka tertidur, bahkan sebelum paragraf pembuka The Ugly Duckling.
Aku menyantap masakan Cina yang sudah dipanaskan kembali selama tiga kali berturut-turut, kemudian mengeluarkan setengah lusin laporan analisis pasar yang sangat tebal yang harus kubaca sebelum bursa saham dibuka besok pagi. Yah, bacaan sebelum tidurku lebih menantang daripada bacaan yang dipilih Crystal dan Pearl.
Bukan bermaksud sombong, tapi Aku cukup ahli dalam pekerjaanku sebagai portofolio manajer sebuah perusahaan makelar besar, namun sejauh ini pekerjaan itu telah mengorbankan pernikahanku dengan seorang pria yang hebat, yang lelah karena selalu dinomorduakan setelah karirku.
Walaupun aku dan Nick memiliki hak asuh bersama atas si kembar, aku sering merasa seolah-olah tidak mengenal kedua putriku yang berusia lima tahun. Kadang sepertinya mereka lebih banyak menghabiskan waktu dengan pengasuh, bahkan dengan mantan suamiku, daripada bersamaku. Sudah lama aku tak bisa melihat apa tepatnya yang sedang kubuktikan dan kepada siapa.
Mendadak dering telepon mengejutkanku, aku melirik jam dinding dan mengerang. Pada jam seperti ini, itu pasti telepon darurat. Dengan jantung berdetak kencang, aku meraih gagang telepon.
"Kate, ini aku," kata adikku, Samantha. Sam adikku yang paling kecil dari total lima bersaudara Clay dan yang paling suka begadang diantara kami. Aku terjaga sampai tengah malam karena itulah satu-satunya cara untuk menjajal kan cukup banyak pekerjaan ke dalam 24 jam sehari, sementara Sam terjaga sampai larut karena dia baru bisa melakukan sesuatu dengan baik saat bulan dan bintang mulai bermunculan. "Tadi aku menelepon, tapi kata pengasuh kau belum pulang. Kemudian, perhatianku teralihkan oleh proyek yang sedang kukerjakan. Aku harap kau tidak terganggu. Aku tahu biasanya kau masih terjaga semalaman."
"Tidak apa-apa," Aku meyakinkannya. "Apa semua baik-baik saja? Kau terdengar stres. Apa sesuatu terjadi pada Gram? Atau Dad?"
"Gram baik-baik saja. Dia hidup lebih lama dari kita semua. Dan, Dad pergi ke suatu tempat untuk membangun gedung. Aku tidak tahu dimana."
"Dia di Melbourne minggu lalu." jawabku.
"Kalau begitu, kurasa dia masih di sana. Kau tahu, dia harus mengawasi setiap detail apapun saat salah satu proyeknya sedang dibangun. Tentu saja, tak lama kemudian dia akan kehilangan minat, persis seperti pada Winton."
Terdengar nada pahit dari suara Sam. Sebagai anak bungsu dari lima bersaudara, dia lebih rindu waktu menghabiskan waktu bersama Dad selain kami semua. Nama ayahku sudah terkenal sebagai arsitek dan perancang daerah perkotaan saat dia mendesain dan membangun Winton, sebuah komunitas tepi pantai yang sekarang terkenal di Winton Bay. Ayahku bekerjasama dengan saudaranya, satu orang pembangun, yang lainnya seorang aktivis lingkungan. Kota itu merupakan permata berharga dalam karir ayahku dan tempat ideal yang disebut rumah oleh keluargaku. Namun, ternyata tidak demikian.
Ayahku dan saudaranya bertengkar mengenai konstruksi, persoalan lingkungan, dan bahkan tentang pemeliharaan beberapa bangunan bersejarah yang akan roboh pada beberapa properti. Pada akhirnya, mereka berhenti bekerja sama. Sekarang, walaupun sama-sama tinggal di dalam atau di dekat Winton, mereka jarang berbicara kecuali saat liburan, yaitu saat Gram berkeras berpura-pura memiliki keluarga yang harmonis.
Ibuku tinggal di Sydney sejak dia dan ayahku bercerai lima belas tahun lalu. Rencananya dia akan membawa kami anak-anaknya ikut pindah ke Sydney, tapi semua itu tidak terwujud dengan berbagai alasan yang tak bisa kumengerti. Kami tetap tinggal di Winton bersama ayah yang jarang pulang serta Gram. Beberapa tahun belakangan, satu persatu dari kami pergi, kecuali Sam yang tampak nyaman memiliki hubungan akan cinta dan benci dengan kota itu dan ayah kami.
Setelah kuliah, aku pindah ke Sydney dan membangun kembali ikatan yang kuat dengan ibuku, tapi tak seorang pun dari adikku mendapatkan kesempatan yang sama. Tidak hanya Sam, kami semua memiliki hubungan yang sulit dengan ayah. Hanya di Gram-lah dengan senyum terkembang dan suara lembutnya yang mempersatukan dan tetap menjadikan kami sebuah keluarga.
"Apa kau menelepon untuk mengeluh tentang Dad, atau ada hal lain yang mengusik pikiranmu?" tanyaku pada adikku.
"Oh, aku selalu bisa menemukan sesuatu untuk dikeluhkan mengenai Dad," Sam mengaku. "Tapi, sebenarnya aku menelepon karena membutuhkan pertolonganmu."
"Sebutkan," sahutku dengan segera. "Katakan saja apa yang kau butuhkan." Aku akrab dengan semua adikku, tapi hanya Sam yang memiliki tempat spesial di hatiku. Mungkin karena perbedaan usia kami yang cukup jauh dan kuantitas kehadiranku disampingnya. Sejak ibuku pergi, aku masuk untuk menggantikan perannya di dalam hidup Sam.
"Bisakah kau pulang?" Nada memohon terdengar jelas di suaranya. "Ini terlalu rumit untuk dibicarakan di telepon."
"Oh, Sayang... Aku tidak tahu," ujarku ragu. "Pekerjaanku sedang menggila."
"Pekerjaanmu selalu menggila, dan itulah alasan tepat kau harus pulang. Sudah lama sekali, Kate. Sebelum si kembar lahir, kau menggunakan pekerjaan sebagai alasan. Kemudian, alasanmu beralih ke si kembar. Sekarang pekerjaan dan si kembar."
Aku mengernyit. Itu benar. Aku sudah membuat berbagai alasan selama beberapa tahun belakangan. Aku mendiamkan nuraniku dengan kenyataan bahwa setiap anggota keluargaku senang sekali mengunjungi Sydney dan sering datang kemari. Selama menjumpai mereka, rasanya bukan masalah jika pertemuan hampir selalu diadakan di apartemenku, alih-alih di Winton. Aku tidak pernah berhenti menganalisis mengapa mudah sekali bagiku untuk menjauh. Mungkin karena Winton tidak terasa seperti rumah setelah ibuku pergi.
Sebelum aku sempat menjawab, Sam menambahkan. "Ayolah, Kate. Kapan terakhir kali kau liburan sungguhan? Pasti saat bulan madu, aku berani bertaruh. Kau tahu kau perlu istirahat dan anak-anak akan senang tinggal di sini. Seharusnya mereka menghabiskan waktu berkualitas di kota yang kakek mereka bangun dan tempatmu dibesarkan. Gram dapat memanjakan mereka selama beberapa minggu. Tolonglah, aku tidak akan memintamu jika ini tidak terlalu penting."
"Sepenting mempertaruhkan nyawa?" tanyaku. Ini gaya percakapan kami sejak dulu untuk menilai apakah suatu krisis benar-benar terjadi atau hanya titik kecil sementara dalam hidup kami.
"Bisa ke arah itu," kata Sam dengan serius. "Setidaknya dalam pengertian bahwa seluruh masa depanku menjadi taruhannya. Aku rasa kaulah satu-satunya orang yang bisa membenahi ini, Atau paling tidak seseorang yang dapat kumintai pertolongan."
Terkejut mendengar nada suram dalam suara adikku, aku berucap. "Mungkin lebih baik kau mengatakannya sekarang."
"Kau terus berada disini untuk bisa memahaminya. Kalau kau tidak bisa tinggal selama dua Minggu, maka paling tidak datanglah untuk beberapa hari. Kumohon..."
Ada sesuatu dalam suara adikku yang belum pernah kudengar, suatu desakan yang menyiratkan bahwa dia tidak melebih-lebihkan pernyataannya tentang masa depannya yang menjadi taruhan. Sam satu-satunya dari kami yang kehilangan fokus sejak dewasa, dan aku tahu aku tidak bisa berpaling darinya. Dan dia benar, istirahat sejenak bisa sangat bermanfaat bagiku. Bukankah aku baru saja meratapi kecenderungan diriku yang gila kerja?
Aku tersenyum membayangkan betapa menyenangkannya menghirup udara Winton kembali. Terlebih lagi, aku akan punya waktu bebas bersama anak-anakku di tempat mereka bisa berayun di taman bermain yang di desain ayahku sebagai taman kota, membangun istana pasir di pantai, dan berlari menapaki air yang dingin di sepanjang pantai.
"Aku akan mengusahakan jalan keluarnya besok dan tiba di sana pada akhir pekan," kataku menyerah. Kupandang jadwalku yang padat dan menyeringai. "Aku hanya bisa tinggal selama dua hari, oke?"
"Satu minggu," Sam memohon. "Aku tidak yakin masalah ini bisa diselesaikan dalam satu atau dua hari."
Aku mendesah. "Akan kulihat apa yang bisa kulakukan."
"Apa saja yang bisa kau atur," sahut Sam segera, mencoba untuk berkompromi. "Kabari aku kapan penerbanganmu mendarat dan aku akan menjemputmu."
"Aku akan menyewa mobil" balasku.
"Setelah beberapa tahun di Sydney, apa kau masih ingat cara mengemudi?" Sam meledek. "Atau bahkan jalan menuju rumah?"
"Ingatanku tidak seburuk itu." jawabku. "Sampai jumpa nanti, Sweetheart."
"Aku akan menelepon Gram dan mengabarinya kau akan datang."
"Katakan kepadanya untuk tidak perlu repot-repot, oke?" gumamku, walau mengetahui itu sia-sia saja. "Kita akan makan malam di luar. Aku sangat merindukan kepiting Southland."
"Tidak mungkin," cetus adikku. "Masih terlalu awal di musim ini. Tapi kalau kau mau kepiting kukus, aku akan mencarinya dan membawanya untuk makan malam hari Jumat. Kita bisa makan di teras, tapi aku tidak akan menghentikan Gram memasak."
Aku tertawa mendengar antusiasme adikku. Ada saat-saat dalam hidupku ketika aku ingin mempelajari semua resep tradisional keluarga dan membuka toko kue, tapi itu sebelum aku menemukan minat dan bakatku di dunia keuangan. Dan itu merupakan tiket keluarku dari Winton.
Sekarang, setelah lebih dari sepuluh tahun tahun penuh kesibukan... tahun-tahun yang kuhabiskan dengan memanjat jenjang karir perusahaan yang berbahaya, menikah, melahirkan anak kembar, dan bercerai... aku akan kembali pulang untuk kunjungan sungguhan, kunjungan lebih lama dari akhir pekan yang terburu-buru tanpa sedikit waktu pun untuk istirahat sebelum kembali terbang ke Sydney.
Aku masih bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi pada Sam.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 44 Episodes
Comments