Jihad segera tancap gas kembali ke kantornya. Ica masih mengelapi meja sang CEO. Ia mengangguk angguk mengagumi setiap sudut dan detail ruangan.
"Daddy coming baby, " gumma Jihad.
"Ini kalo gue duduk di kursi itu, ada yang liatin ga ya?" Ica celingukan. Sudah menjadi cita citanya untuk duduk di kursi yang dapat memutar sendiri sejak dulu, jika tidak mencobanya ia khawatir nantinya ia akan mati penasaran.
Ia mendudukkan pan*tatnya di kursi ini dan duduk memutarnya seperti ia adalah bosnya. Meskipun sudah bukan bocah yang dalam masa golden age seperti Momo, rasa penasaran Ica mengalahkan rasa penasaran si manis jembatan ancol yang sampe mati pun jadi hantu arwah penasaran.
"Boleh gue bawa pulang ga sih, buat maenan Momo sama si Robi, asik juga nih ! gue puterin sampe pusing biar emaknya kelabakan," Ica terkikik asik sendiri.
Ica merapikannya kembali, melihat jendela yang langsung memperlihatkan awan biru dan pemandangan sibuknya kota, meskipun tak sesibuk dirinya.
"Rumah gue yang mana ya ?!" tanya Ica bermonolog.
"Cocok banget buat bunuh diri, tinggal loncat doang juga the end, " gumamnya lagi, dibawah sana orang orang seperti mainan mainan si Robi, termasuk mobil mobil yang berjejer, melaju merayap menuju tempat tujuannya.
"Ini bersiin kacanya gimana ya?" tanya nya katrok.
"Ada tim khusus yang akan membersihkannya memakai alat, Humaira !" ucap seseorang dari belakangnya, Ica terkejut mendengar suara bariton bapak bapak.
"Astagfirullah, pak Muni..bikin kaget aja !" Ica memegang dadanya.
"Sudah selesaikah ?"tanya pak Muni. Sayangnya Ica tak melihat ke arah rak buku, yang terselip pas foto kecil 4 orang remaja SMA dengan seragam yang dicoret coret tengah berfoto bersama.
"Sudah pak, semuanya sudah kinclong kaya muka saya yang udah kaya pabrik minyak !" seru Ica tertawa. Entah kenapa pak Muni senang dengan kekonyolan gadis ini, terlihat ia orang yang gigih dan tulus. Beberapa kali pak Muni melihat Ica sedang mengerjakan tugas kuliahnya saat jam istirahat.
Jihad sudah berjalan menuju ruangannya dan Ica sudah keluar mendorong peralatannya.
Jihad berjalan terburu buru menuju ruangannya,
"Pak Alvian?" pak Muni bertanya dengan mengangkat sebelah alisnya, ada apa gerangan dengan atasannya ini setengah berlari dengan peluh yang membasahi kening, seperti ia terburu buru.
"Pak Muni beri saya daftar semua office girl di gedung ini, sekarang !" titah Jihad.
"Ada apa pak ? apa ada yang salah ?" tanya pak Muni.
Pak Muni lalu mencari data di laptopnya dengan segera.
"Ini pak !" jawabnya memangku laptopnya memberikannya pada Jihad, yang sudah duduk tak sabar. Jihad menscroll satu persatu.
"Apa ini sudah semua ? termasuk karyawan baru ?" tanya Jihad memastikan tak ingin ada yang terlewat.
"Sudah pak," pak Muni mengangguk di sampingnya.
Mata Jihad membelalak tak percaya jika Ica memang disini, satu CV gadis manis yang selama ini mengisi ruang di hatinya. Gadis yang selama 4 tahun membuat hatinya terkunci dari perempuan lain sampai ia disangka menyukai sejenis.
"Ada apa pak ?!" tanya pak Muni memberanikan diri bertanya.
"Dimana dia sekarang pak ?" tanya Jihad memutar laptopnya ke arah pak Muni. Kening pria paruh baya ini mengerut beberapa lipatan. Apa lagi yang gadis ini lakukan, sampai sampai atasannya menanyakannya.
"Itu karyawan baru bernama Humaira, baru saja ia membereskan ruangan bapak, " ucapnya.
"Dia sudah kembali ke ruangan kebersihan, " lanjut pak Muni.
"Antarkan saya kesana pak !" pinta Jihad.
Pak Muni mengantarkan bos nya ini ke arah ruangan kebersihan. Entah apa yang akan dilakukannya pada karyawan baru itu, ia harap gadis itu tidak melakukan kesalahan.
Jihad sudah tak sabar melihat Ica sekarang.
"Pak, " tahan Jihad.
"Biar saya saja yang buka. Sepertinya di dalam sedang ramai," tiba tiba nyali Jihad menciut, jantungnya gugup. Debaran pertama saat kembali melihat Ica.
Tangannya terulur di daun pintu dan mendorongnya perlahan. Sesosok gadis tengah berjoget ria di depan lainnya yang menjadi grup kendangnya. Mereka tertawa bersama, inilah hiburan gratis bagi rakyat jelata, di tengah tengah penatnya usaha mencari nafkah duniawi.
"Ladiest and gentle men, kita tampilkan artis kita yang sudah tak asing lagi !!!! Ica ting ting ! Indonesia mana suaranya ??!!" ucapnya pada Asep dan Budi yang bersorak sambil memegang gagang sapu, Setyani mengibas ngibaskan uang coklat pecahan 5 ribu di depan wajah Ica.
"Ayo neng Ica, kalo bisa gerakan bebek ngeden gue sawer ceban !" ucap Setyani.
"Njirrr ! mana ada bebek ngeden ! buang aer mah buang aja !" jawab Ica tertawa. Kedua pemuda di depannya mengetuk ngetuk galon kosong dan ember kosong sebagai kendangnya. Benar itu Ica nya, umpatan yang ia rindukan selama 4 tahun belakangan, umpatan Ica seperti obat rindu untuknya.
"Pak, jadi memanggil Humaira ?" tanya pak Muni.
"Mereka sedang istirahat pak, biarkan saja. Bapak boleh kembali !" jawab Jihad, ia hanya ingin menyaksikan aksi dan ocehan yang ia rindukan. Jihad mengurungkan niatnya menyapa Ica, jantungnya kembali berdegup kencang setelah lama terasa beku dan mati.
Pak Muni kembali dengan tautan alisnya, kebingungan. Sejak kapan bosnya ini jadi penguntit.
"Ca, udah lama kita ga jumpa, dan perasaan gue masih sama. Sekarang loe ga akan bisa lari kemanapun lagi dari gue, ga akan gue lepas lagi untuk kedua kalinya !" gumam Jihad.
"Enak enakan loe disini bisa joget joget pake acara saweran, sedangkan gue udah ga enak hati ga enak makan ninggalin loe ! ni cewek enaknya dikerjain !" ucap Jihad menyeringai. Jihad berlalu meninggalkan ruangan kebersihan. Sebelum nanti ia akan menemui Ica dengan gagahnya, ia akan mengerjai Ica dulu.
"Pak Muni, bisa minta nomer ruangan kebersihan?" tanya Jihad. Pak Muni memberikannya. Setelah tadi ia menguntit, kini apa lagi ?
"Terimakasih pak, bapak boleh kembali !" jawab Jihad, senyumnya mengembang. Masih seperti dulu, ia akan sedikit bernostalgia mengusili Ica.
Jihad memencet nomor ruangan kebersihan.
"Hallo ?!" tanya bu Warni.
"Ini saya Alvian, siapa office boy yang membersihkan ruangan saya?" tanya nya.
Bu Warni sontak terkejut, sampai pak Alvian turun langsung itu tandanya ada kesalahan fatal. Matanya memicing menatap Ica.
"Ada apa ya pak ? mungkin nanti saya sampaikan. Apa ada kesalahan?"
"Coba berikan telfonnya langsung, mulai saat ini jika saya yang menelfon biarkan dia yang mengangkatnya !" titah Jihad.
"Ba..baik pak ! Humairaaa !!!"
"Kenapa tuh bu Suri ?!" tanya Asep, Budi tertawa, bagaimana bisa perempuan judes, gendut dan galak lebih mirip disebut nene tapasya disebut ibu suri.
"Ga tau gue, bentar !" Ica menghentikan kegiatannya dan menghampiri bu Warni.
"Ada apa bu?" terdengar suara Ica dari ujung sambungan telfon, Jihad tersenyum mengembang.
"Ini pak Alvian, apa kamu melakukan kesalahan? " tanya bu Warni khawatir, Ica menggeleng.
"Hallo this is Humaira speaking pak !" jawab Ica so english. Jihad terkikik. Bu Warni menepuk punggung Ica.
"Ga sopan !" gumamnya.
"Bersihkan kembali ruangan saya !" pintanya.
"Tapi sudah saya bersihkan tadi pagi pak, bahkan debu saja minder mau nempel saking kinclongnya, coba aja deh bapak ngaca di mejanya !" jawab Ica.
"Kamu tuli ? saya menyuruh kamu bersihkan lagi, mau melawan atasan ? bersihkan kembali, ruangan saya harus tiap jam dibersihkan !" jawab Jihad.
"Oh iya, jangan lupa kamu lapin barang barang di meja saya satu persatu, tapi awas jangan sampai lecet apalagi hilang, itu barang barang mahal. Kamu ga akan mampu beli !" lanjut Jihad.
"Njirrr, " umpat Ica pelan, tapi masih bisa di dengar Jihad.
"Kamu ngumpati saya?" tanya Jihad.
"Engga pak, bukan !" jawab Ica.
"Ya sudah tunggu apa lagi ? mau nunggu sampai lebaran?" tanya Jihad.
"I..iya pak ! saya segera kesana !" jawab Ica, panggilan ditutup.
"Gue sumpahin matinya keselek kemoceng !" gumam Ica. Emosinya kembali naik mendengar perintah tak manusiawi itu. Pendapatnya jika pak Alvian adalah seorang malaikat harus ia kubur bersama kehidupan nyamannya di tpu tanah kusir. Ica mencebik kesal kembali ke dalam ruangan Jihad.
"Mau kemana Ca?"
"Mau ke ruangan mister higienis ! ruangannya diminta dibersihin satu jam sekali, kaya cewek ganti pemb4lut kalo lagi datang bulan pas banyak banyaknya !" jawab Ica mendengus. Jihad masuk ke dalam ruangan pak Muni yang bersebelahan dengan ruangannya, dari sana ia bisa melihat Ica masuk.
Roda terdengar di dorong masuk.
"Kamvreettt emang ! yang musti dibersiin tuh bukan ruangannya, tapi otaknya si bapak ! masih waras apa engga !" dumel Ica.
Ica kembali mengelap meja dan menepuk nepuk sofa, yang jelas jelas tak ada kotorannya sama sekali.
"Nih nih kotor, ini yang namanya kotor !!! aneh ! gue yang bikin kotor gue juga yang bersiin," ia menginjak injak karpet yang tergelar di bawah meja dengan sepatunya.
"Kamvreett si Ica, karpet gue diinjek injek gitu !" gumam Jihad melihat Ica dari balik pintu.
Ica mengepel kembali bagian lantainya.
"Gue taroin minyak goreng juga nih, biar pas lewat dia jatoh !" dumelnya tak habis habis, seakan stok sumpah serapahnya untuk bosnya ini tak akan pernah habis.
"Kira kira enaknya diapain nih bos, racunin aja kali ya, pake racun tikus ! pake nyebut gue tuli ! nih barang barang juga, enak aja disebut gue ga mampu beli, gue beli sama mulut loe sekalian !"
"Sat ! wahh, karyawan begini mesti dikerjain abis abisan nih, " kikik Jihad.
.
.
.
.
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 88 Episodes
Comments
DozkyCrazy
😁😁😁
2024-11-22
0
Lalisa
Daddy usil
2024-09-21
0
Lalisa
kayak mana tuh
2024-09-21
0