Perjalanan menyusuri perkampungan, berlanjut ke area perkebunan sawit.
Sebuah mes yang terlihat cukup bersih berupa kamar-kamar yang berjajar. Terlihat pegawai yang telah menyelesaikan jam kerja dan kembali ke mes untuk beristirahat. Sore sudah menjelang petang.
Anto memarkirkan kendaraan di depan mes yang terpisah di ujung area yang merupakan rumah tersendiri.
"Ayo mas masuk, aku tinggal di sini" ajak Anto kepada Johan
"Kamu tinggal sendiri di rumah rumah ini?" tanya Johan
"Tidak sih, ada beberapa teman mandor yang menempati kamar-kamar di rumah ini" jelas Anto.
"Kalau yang tadi kita lewati?" Johan timbul rasa penasaran.
"Oh, itu mes pegawai, banyak tetangga kampung kita lho nanti tahu kamu datang, mereka pasti ramai ke sini" Ujar Anto. Johan penasaran mengapa sepupunya tinggal di tempat berbeda tapi masih segan untuk bertanya.
"Pak Murti, boleh minta tambahan satu kasur ya" pinta Anto ke pengurus mes yang datang menyambut kedatangan mereka berdua.
"Baik mas, nanti saya siapkan, ditaruh di mana?" tanya pak Murti.
"Di kamarku saja" Pak Murti mengangguk dan melangkah pergi meninggalkan mereka lalu menyiapkan segala keperluan yang dipinta oleh Anto.
"Sepertinya Anto cukup dihormati di tempat ini, apakah anak bedugal ini punya jabatan?" batin Johan semakin penasaran.
Masa SMA Anto hanya terpaut satu tahun dengan Johan. Meski tidak satu sekolah, karena mereka kerabat Johan tahu betul kenakalan sepupunya yang anak orang kaya itu.
Anto melarikan diri dari rumah selepas SMA karena dituduh menghamili temannya dan dikejar orang tua si gadis agar segera menikahinya.
Anto bersumpah kepada Johan bahwa bukan hanya dia saja yang menjalin hubungan dengan gadis itu.
Sedangkan Anto sendiri juga menjalin hubungan dengan banyak gadis karena ketampanan dan kekayaan orang tuanya yang membuat para gadis menjadi tergila-gila kepadanya.
Karena peristiwa itulah Anto terdampar di perkebunan sawit di Sumatera ini, dan tidak pernah mengenyam pendidikan tinggi meski orang tuanya lebih kaya dari orang tua Johan.
"Gimana khabar Nike Mas?" Anto memecah malam dengan pertanyaan yang tidak diharapkan Johan.
Dua gelas kopi hitam kental dan dua piring nasi goreng mereka hadapi sebagai bekal nanti melampaui malam.
"Heh hhm" Johan menghela nafas dahulu setelah menelan kunyahan terakhir di di mulutnya.
"Tiga tahun kami tidak berkomunikasi" terang Johan.
"Kudengar dia bertemu mas beberapa bulan lalu" Anto menyelidik.
"Ya, aku nengok ibu, dari mana kamu tahu?" selidik Johan balik.
"Itu Suparmin pulang kampung sebulan setelah Mas balik kampung" terang Anto.
Johan hanya menghela nafas.
“Kok berasa kamu punya masalah Mas?” Anto menjadi semakin serius.
“Aku yakin kamu ke sini bukan karena ketiduran di bus yang seharusnya ke Wonosari, atau kebetulan mau pamer kepadaku bahwa kamu mau beristri, atau semacamnya?” Anto mulai ingin tahu.
“Ceritanya panjang To” keluh Johan.
“Pak Murti punya stok kopi sekarung Mas, cukup buat aku melek 3 hari buat mendengar kamu melepaskan beban” sebagai pria yang pernah lepas dari masalah remaja yang berat, Anto tumbuh menjadi sangat dewasa.
“Maafkan aku soal Nike Mas, jika itu jadi bebanmu. Aku sungguh tidak tahu kalau saat itu kamu begitu mencitai Nike sampai seperti orang gila” Anto mengungkit masa lalu.
Johan menggeleng pelan, Anto bangkit untuk menyingkirkan piring yang telah kosong ke belakang.
Melihat adik sepupu memperlakukan demikian, lamunan Johan kembali ke masa dia baru saja lulus SMA dulu……
***
“Mas Antarkan aku ketemuan ya” pinta Nike kepada Johan. Dandanannya sebenarnya tidak pantas untuk anak SMA.
Meski sejak SMP Johan mengejar cinta Nike, tetapi ia sadar status sosialnya sebagai anak pegawai rendah tak akan memenuhi selera Nike.
“Ke mana?” Johan seperti seekor kerbau saja jika sudah dihadapan Nike, apalagi ayah Johan sudah menegaskan bahwa Nike ada hubungan famili dengannya.
Johan mengambil alih kemudi motor Nike yang berpindah membonceng di belakangnya.
“Ke kota. Nanti motorku taruh dirumahmu saja ya mas” perintah Nike dalam perjalanan, Johan hanya mengangguk.
Johan faham maksud Nike agar orang tuanya mengira ia menginap di rumah Johan.
“Jemputnya besok jam dua siang di tempat yang sama ya mas” Johan hanya menggangguk.
“Anaknya ganteng lho mas, anak orang kaya” cerocos Nike tanpa perasaan.
“Anak mana?” Johan sebenarnya malas, tetapi hanya mengangguk dan menggeleng sepanjang perjalanan terasa membosankan.
“Anak kotalah, kalau anak-anak kampung kan rata-rata besok cuma bertani atau jadi kuli bangunan” cerocos Nike menghakimi.
Sampai batas kota, senja telah mulai tiba, seorang remaja yang sosoknya ia kenal menunggu Nike.
“Kenal dimana kamu Nike” Anto setengah bebisik kepada Nike.
“Ah, mau tahu saja kamu mas” Nike mengelak. Segera turun dari boncengan dan berlari menuju motor sport pria yang sudah menunggunya.
“Kamu Anto” Johan sedikit terkejut.
“Lho Mas Johan” Antopun tak kalah terkejut. Anto menjadi agak ciut.
“Kalian sudah saling kenal rupanya” Nike datar saja, seperti biasa ia tak pernah peduli perasan para pria.
“Kamu bilang gak punya pacar Nike?” tanya Anto terlihat agak jengkel mengetahui yang mengantarpria yang ia kenal baik.
“Memang tidak, Mas Johan ini masih famili denganku. Aku selalu minta tolong dia kalau sedang membutuhkan” Nike menjelaskan dengan kecentilannya.
“Ouwh tapi….” kalimat Anto dipotong oleh Johan
“Sudah... sudah sana, bersenang-senanglah, Aku pulang” ucap Johan berpamitan dengan memotong kalimat Anto.
"Kok kamu jadi sewot begitu sih Mas" Nike merajuk maja kepada Johan.
Johan tak mempedulikan dan segera meninggalkan mereka berdua.
Johan sudah bisa menduga apa yang akan dilakukan Anto bersama Nike, ia mencoba memastikan dengan mengambil jalur melingkar menuju sebuah hotel kecil di pinggir kota.
Didapatinya motor Anto terpakir agak tersembunyi di sudut hotel.
Membayang kan apa yang akhirnya sering dilakukan Anto dan Nike, Johan jadi muak kepada Nike.
Johan kecewa kepada diri sendiri yang dilahirkan sebagai anak dari pegawai rendahan dan miskin. Johan bertekad menutup rasa malu dan kecewanya dengan segera meninggalkan kampung setelah tamat SMA.
Johan tidak pernah marah ke Anto, karena ia tahu kelakuan Nike sejak masih SMP.
***
“Mas Johan masih marah ya?” kata Anto membuyarkan lamunan Johan.
“Eh, oh tidak. Aku tidak pernah marah atas kelakuanmu To” Johan sedikit tergagap
“Lantas apa yang membuatmu seperti orang enam tahun lalu. Banyak melamun seperti orang kehilangan jiwa begitu” Rupanya Anto sempat memperhatikan saat Johan dalam lamunan.
Johan menggeleng pelan. Perjalanan yang sangat memalukan ini apakah pantas ia ceritakan. Apakah tidak akan menjadi bahan tertawaan sepupunya.
“Ceritalah mas, barangkali aku bisa menebus kesalahan masa laluku” pinta Anto.
“Kenapa sampai kamu kesasar di warung kopi, di pinggir kota Lampung ini?” anto mendesak.
“Janji kamu tidak akan mentertawakan aku To?” Johan masih enggan.
“Aduh mas. Jangan pandang Anto sebagai bocah remaja lima tahun lalu” Anto meyakinkan.
“Aku kesini mencari temanku” Anto hanya mengeryit dahi menunggu kakak sepupunya nyaman.
“Namanya Leyna” lanjut Johan.
“Leyna, sepertinya nama yang tidak asing” Anto menduga-duga nama Leyna, tapi tidak percaya kakak sepupunya yang pemalu dan rendah diri punya keberanian mencari gadis itu.
Johan yang ia kenal, adalah Johan yang sederhana dan kepribadiannya agak inverior.
“Jadi Mas Johan di jalan itu… sudah dari rumah Nona Leyna” Anto penasaran apakah benar Leyna yang dimaksud.
“Pasti aku salah alamat To, temanku salah mencatatkan alamat, dia yang kasih ke aku” dengan malas Johan meraih ponsel, membuka foto yang sama yang ia tunjukan kepada satpam rumah besar tadi siang.
“Hah. Teman bagaimana ini mas? Nona Leyna?” Anto sungguh terkejut Johan memiliki foto putri bosnya. Johan semakin bingung. Kosong seperti orang kehilangan jiwa.
“Mas, Mas, ini serius ini putri pak Hartanata, pemilik perkebunan yang kami Kelola ini” Johan semakin lemas mendengar kenyataan ini. Jelas ini bukan sedang mimpi, sepupunya sendiri yang berbicara dihadapannya.
"Tolong jangan pernah ceritakan aib ini kepada siapapun To" Anto hanya menggeleng-gelengkan kepala sambil tersenyum.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 61 Episodes
Comments