Perhatiaaaan!
Ini cerita memang ada di season 1, biar pembaca baru gak bingung!
Tapi gak full kok! Hanya sekilas!
Terimakasiihh, Selamat membaca readerku sayang 🤗❤
* * *
Karena sangat khawatir dengan kondisi Indira, mereka kembali ke Pantai bersama perahu lain yang akan kembali. Sepanjang perjalanan, Indira memegangi kakinya yang kesakitan. Darahnya terus keluar begitu saja, hingga Dirga membuka bajunya untuk menutupi luka yang ada di kaki Indira.
"Ngapain buka baju sih!" ketus Indira sebab para gadis disana terpesona oleh Dirga.
"Luka kamu berdarah terus, Syafa. Kamu diem aja! Jangan protes," tegas Dirga.
Sesampainya dipantai, tanpa izin Dirga menggendong tubuh Indira. Hal itu membuat jantung keduanya berdegup kencang. Indira menutup matanya, sebab wajahnya tepat berada didada Dirga. Melihat hal itu, Dirga tersenyum bahagia.
"Andai saja kamu ini halal bagiku, sayangnya kamu tak ingin memiliki pendamping hidup seorang abdi negara sepertiku," batin Dirga.
Melihat kaki sang anak terluka, Bunda Gisya berteriak dan menghampiri mereka.
"Diraaaaaa.....!!! Kamu kenapa, Nak?" panik Bunda Gisya.
"Kakinya kena terumbu karang, sepertinya robek. Harus segera diobati, Bu," ucap Dirga.
"Riaaaaannnnn......! Afifaaaaahhhhh.......!" teriak Bunda Gisya.
"What happen, ada apa, aya naon Bunda?" panik Afifah menghampiri Bundanya.
"Obatin kaki adik kalian, takut infeksi," ucap Bunda Gisya.
"Yaa Allah, Dek! Aya-aya wae kamu mah, untung ada Aa ganteng nolongin. Mana badannya kotak-kotak lagi," sahut Afifah membuat Rian menutup matanya.
"Heh markonah! Udah punya yang buleud-buleud masih ngiler aja liat yang kotak!" ketus Rian.
Rian segera mengobati luka Indira, sedangkan Dirga pergi ke kamar mandi umum untuk mengganti bajunya. Tak lupa baju yang terkena darah Indira, dia bawa.
"Pulau Tidung, tak akan pernah aku lupakan hari ini. Indahnya Pulau Tidung seindah hariku, sebab baru kali ini aku merasa jika hari ini tak ingin berakhir," batin Dirga sambil memegang baju miliknya.
* * *
Semua orang kini berhambur menghampiri Indira yang tengah terluka, begitupun pasukan snorkeling yang tadi pergi bersama Indira. Keluarga mereka benar-benar sangat kompak, Ayah Fahri selalu mengingatkan mereka, bagaimana arti pentingnya sebuah keluarga.
"Keluarga adalah rasa bahagia yang tak akan sirna, tempat yang nyaman untuk berbagi canda tawa dan suasana terbaik yang pernah ada. Keluarga adalah kompas yang membimbing kita. Kalian adalah inspirasi untuk mencapai ketinggian yang luar biasa dan kenyamanan saat kita sesekali goyah. Keluarga adalah salah satu hal terpenting yang kita miliki, yang tak akan pernah berubah dan selalu ada ketika dibutuhkan. Tak peduli dimana pun kita berada, keluarga tetap selalu mendoakan untuk kebaikan agar kita dijauhkan dari keburukan. Ayah harap kalian akan selalu menjaga satu sama lain," ucap Ayah Fahri.
Mendengar ucapan sang Jenderal membuat Dirga pergi begitu saja. Bagi Dirga tak ada hal yang indah dalam keluarganya. Sebab hanya rasa sakit yang Dirga terima, bahkan hingga saat ini Papa Dirga masih sering memohon agar Dirga mau mengurus perusahaannya. Sebab kini, dirinya sudah mulai tua renta.
Setelah kembali ke Penginapan, Indira berjalan tertatih menuju halaman luar, dia ingin menikmati malam terakhir disana.
"Terimakasih, Pulau Tidung. Indahmu mampu membuatku bersyukur," gumam Indira.
"Malam ini indah bukan, Syafa?" celetuk Dirga yang sudah berada disana sejak tadi.
"Astaghfirulloh! Kebiasaankah membuat orang kaget?!" kesal Indira.
"Maaf, tapi saya sudah duduk disini sejak tadi," ucap Dirga.
"Makasih udah nolongin saya," ucap Indira dan Dirga hanya mengangguk.
Tanpa sadar, Indira dan Dirga duduk berdampingan. Mereka berdua menikmati langit malam itu. Malam ini, Dirga berniat mengungkapkan jati dirinya.
"Ternyata benar, pertemuan pertama itu menumbuhkan rasa penasaran, sedang pertemuan kedua menumbuhkan rasa rindu, dan pertemuan selanjutnya hanya meninggalkan rasa candu," ucap Dirga membuat Indira terenyuh.
"Pertemuan adalah takdir, dan setiap pertemuan selalu membawa kita ke takdir yang lain," sahut Indira sambil menatap langit malam.
"Apakah kamu mengingatku?" tanya Dirga membuat Indira mengerenyitkan dahinya.
"Maksudnya?" Indira benar-benar tidak memahaminya.
"Aku Dirga, sahabat Panji," ucap Dirga.
Indira terdiam mematung, dia masih belum bisa mencerna ucapan Dirga.
"Ka-kak Dirga?" Indira menutup mulutnya ketika mengingat laki-laki itu.
"Iya ini aku, bahkan di pertemuan pertama kita dulu itu karena kamu menabrakku," ucap Dirga sambil terkekeh mengingat pertemuan pertama mereka.
"Maaf, Kak! Aku bener-bener gak ngeuh kalo Kakak itu, Kak Dirga," lirih Indira.
"Gak apa-apa, aku bahagia bertemu denganmu, Syafa. Tapi mungkin ini pertemuan terakhir, sebab aku akan bertugas di Lebanon. Jika kata orang setiap pertemuan akan menyisakan luka karena perpisahan. Maka bertemu denganmu adalah luka paling manis yang kurasakan, " ucap Dirga mengelus kepala Indira lalu pergi meninggalkannya.
Sedangkan Indira terdiam mematung, sambil memegang dadanya yang berdegup kencang. Hingga tak sadar, Indira meneteskan airmatanya.
"Pada akhirnya, setiap orang adalah perjalanan bagi manusia lainnya, dan setiap perjalanan terbuat dari dua hal yaitu pertemuan dan perpisahan. Ketika angin terasa berhenti berhembus, debu debu semakin mengering dan hati yang membeku menjadi satu. Disitulah akhir dari pertemuan kita. Kadang, ada sebuah pertemuan yang akan diingat sepanjang hidup. Dan itu adalah pertemuanku denganmu," batin Indira menatap kepergian Dirga.
Kini Indira menangis sendiri, disisi lain dia bahagia bisa bertemu dengan Dirga. Yang sebenarnya dia yakini sebagai Yoga. Tapi mendengar ucapan Dirga, hati Indira kembali sakit. Sebab hanya akan ada perpisahan, dan hanya pertemuan singkat bagi mereka.
Tring tring tring
*Athaya in Calling*
Indira menatap ponselnya, berkali-kali panggilan dari Athaya dia abaikan.
"Aku hanya mampu tersenyum melihat punggungmu dari kejauhan, karena aku tahu mengharapkanmu berbalik adalah sebuah kemewahan, Dirga. Aku bingung, kita mau berjalan ke arah mana. Tampaknya semua arah adalah arah yang salah, Athaya. Dan disinilah aku, berdiri sendiri disini. Di Pulau Tidung, kegelisahan tentangmu dan pertemuan singkatku dengannya,"
* * *
Sejak malam itu, Indira tak bisa makan, tidur ataupun berpikir jernih. Sebab pikirannya tengah dipenuhi oleh Dirga dan juga Athaya. Sebenarnya pagi ini Indira berniat menemui Dirga, dia ingin memastikan satu hal. Tapi sayangnya, Dirga sudah kembali ke Bandung sejak subuh tadi. Siapa sangka, Athaya datang pagi itu. Dia khawatir karena Indira sama sekali tidak menjawab teleponnya.
Kini Indira dan Athaya sedang berjalan berdua dipinggir pantai.
"Kenapa kamu mengabaikan panggilanku, Indira?" tanya Athaya.
"Maaf, aku hanya sedang menikmati liburanku," jawab Indira.
"Please, Dira! Aku serius sama kamu, aku jauh-jauh kesini karena khawatir sama kamu. Kalo memang permintaanku tempo hari masih memberatkanmu, aku tidak akan pernah memaksa. Tapi aku mohon, jangan mengabaikan panggilanku. Kamu bikin aku bener-bener khawatir, Dira," lirih Athaya.
Sungguh, perempuan manapun yang mendengar itu akan terenyuh oleh ucapan Athaya. Begitupun dengan Indira, dia memberanikan diri menatap Athaya dan meminta maaf.
"Maafkan aku, Athaya. Tapi aku mohon, jangan pernah memaksakan kehendakmu padaku. Aku serahkan semuanya sama Allah, kalo memang kita berjodoh pasti Allah akan mempersatukan kita diwaktu yang tepat," ucap Indira membuat Athaya tersenyum bahagia.
"Makasih, Dira. Aku akan terus menyebut namamu, dalam setiap sujudku," ucap Athaya.
"Dan aku masih menyebut namanya, disetiap sujudku," batin Indira.
Hari itu sebelum pulang, Indira menulis dalam buku hariannya. Indira menulis sambil menikmati angin pantai yang menerpa tubuhnya, dan keindahan senja yang berpamitan menuju kegelapan malam.
~ Keheningan mengapungkan kenangan, mengembalikan cinta yang hilang, menerbangkan amarah, mengulang manis keberhasilan dan indah kegagalan. Senja tak pernah salah, hanya kenangan yang membuatnya basah. Jika kau tak kunjung datang, barangkali kau memang ditakdirkan sebatas kisah yang hanya layak tersimpan sebagai kenangan. Kenangan manis dalam hidupku yang dihabiskan bersamamu adalah yang terbaik. Mereka membuatku tersenyum tidak peduli apa yang terjadi dalam hidupku sekarang, dan semua kenangan bersamamu itu akan kutinggal disini, di Pulau Tidung.
Selama dalam perjalanan pulang, Athaya selalu berada disisi Indira. Hal itu membuat Ayah Fahri dan Bunda Gisya berpikir jika keduanya memang memiliki hubungan special. Terlebih ketika Athaya jauh-jauh menjemput Indira ke Pulau Tidung.
"Jadi kapan kamu akan mengenalkan keluargamu pada kami, Athaya?" tanya Ayah Fahri.
"Segera, Om. Saya dan Indira mau fokus menyelesaikan kuliah kami dulu, InshaAllah jika sudah waktunya saya akan membawa kedua orangtua saya," jawab Athaya.
"Itu bener, tapi kalo Om boleh kasih saran gimana kalo kalian tunangan aja dulu. Sebagai tali pengikat, biar ada kepastian," ucapan Ayah Fahri sontak membuat Indira tersentak kaget.
Indira menatap Athaya, tapi Athaya memberikan jawaban yang membuat Indira kecewa.
"Kalo gitu, minggu depan saya akan ajak kedua orangtua saya kerumah, Om. Kalo menurut Om bagaimana?" tanya Athaya.
"Ide yang bagus! Kalo begitu, Om dan Tante akan mempersiapkan semuanya," ucap Ayah Fahri.
Bunda Gisya bisa melihat raut wajah Indira yang kecewa, terlebihe ketika Indira pergi begitu saja keluar kapal. Athaya langsung menyusul Indira, sebab dia takut Indira marah.
"Dira! Kenapa kamu pergi?!" tanya Athaya.
"Aku kecewa sama kamu, Athaya. Kenapa kamu gak tanya pendapat aku dulu?! Kita ini baru saling mengenal! Biarkan aku mengenal kamu dulu, sebelum aku memutuskan langkah hidup aku kedepannya. Aku ingin menikah sekali seumur hidup dengan orang yang aku cintai!" jawab Indira dengan nada kesal.
"Aku minta maaf, Dira. Tapi Ayah kamu sudah setuju, dan aku yakin kalo aku bisa bikin kamu jatuh cinta sama aku," ucap Athaya dengan penuh percaya diri.
Tak ingin menanggapi Athaya, Indira pergi keatas untuk menenangkan diri.
"Jangan ikuti aku! Biarkan aku sendiri!" tegas Indira ketika melihat Athaya mengikutinya.
Sungguh Indira tidak mengerti, kenapa semuanya terasa rumit. Meskipun hatinya selalu bergetar ketika mendengar lantunan ayat suci al-qur'an yang diucapkan Athaya tapi dia belum yakin jika itu cinta. Terlebih kehadiran Dirga, membuat Indira berada disebuah persimpangan dilema.
"Bertemu denganmu adalah takdir. Berteman denganmu adalah pilihan. Tapi, Hidup bersamamu adalah impian. Aku harus berjalan maju bersama Athaya, atau aku harus mundur terlebih dahulu agar aku bisa berjalan maju bersama Kak Yoga," batin Indira.
Athaya memandang Indira dari bawah sana, dia bisa melihat jika Indira tengah benar-benar merasa kecewa. Sungguh Athaya hanya ingin menjadikan Indira pelabuhan terakhirnya, bukan ingin menyakitinya.
"Kata-kata gak cukup untuk membuatmu merasa lebih baik, Indira. Permintaan maaf sederhana gak akan pernah cukup untuk menghapus rasa sakit yang aku sebabkan. Tetap saja, dari lubuk hatiku, aku sangat menyesal. Aku berharap aku bisa menebusnya untukmu. Aku hanya takut kehilangan dirimu, aku gak pernah bisa rela melihatmu dimiliki oleh orang lain," batin Athaya.
* * * * *
Kalian dukung Indira sama siapa nih reader 🤭🤭
Semoga suka dengan ceritanya...
Jangan lupa loh buat Like, Komen, Vote dan Favorite 🥰🙏🥰
Dukung Author terus ya!
Salam Rindu, Author ❤
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 69 Episodes
Comments
Nonengsupartika
aku sm Dirga lah dira
2022-05-18
1
Dessy Al Qadrie
sama dirga aja thor😊😊
2022-02-17
0
Okie Larasati
dukung Dira sama Dirga dooong aah,,namanya aja mirip2,,yeeeekaan
2022-02-15
0