Persimpangan Dilema
SEQUEL DARI 'MENANTI CINTA SANG ABDI NEGARA'
POV INDIRA
Mentari pagi bersinar cerah, aku selalu menikmati cahaya mentari pagi dari balkon kamarku. Sambil menutup mata, aku menghirup udara sebanyak-banyaknya dan memghembuskannya perlahan.
"Satu di antara nikmat dunia dari Allah adalah masih dapat bernapas dan menghirup udara pagi. Pagi hari adalah awal baru, sebuah kesempatan baru untuk kita menuliskan cerita luar biasa ke dalam kehidupan. Pagi hari selalu mengajarkan kita bahwa ada harapan di setiap langkah kehidupan. Selamat pagi, Semesta," batinku.
Tok tok tok
"Dek! Sarapan dulu yuk," teriak Bunda Gisya.
"Iya Bun, sebentar lagi Adek turun," jawabku pada Bunda.
Haii.. Namaku Indira Myesha Kirania Syafa, aku adalah anak bungsu dari tiga bersaudara. Kedua Kakakku, kini tidak tinggal bersama kami. Kakak pertamaku tinggal bersama Oma, Kakek dan Nenek di Palembang. Sedangkan Kakak keduaku, dia baru saja diterima disalah satu Institut Pendidikan Dalam Negeri (IPDN). Sebab keinginannya untuk menjadi seorang abdi negara seperti Ayah ditolak mentah-mentah oleh Bunda.
Oh ya, Ayahku seorang Mayor Jenderal bernama Fahri Putra Pratama. Sedangkan Bundaku bernama Gisya Kayla Nursalsabila, Bunda hanya seorang pengusaha kecil. Bunda memiliki toko kue yang diturunkan dari Oma Syifa. Saat ini aku baru saja masuk jenjang Sekolah Menengah Atas. Dengan perlahan, kuturuni tangga dan kulihat Ayah dan Bunda sudah duduk manis dimeja makan.
Beginilah kebiasaan keluarga kami, tak pernah melewatkan sarapan bersama.
"Hari ini Adek diantar Om Mirda, ya! Soalnya Kak Monik mau kawal Bunda," ucap Ayah.
"Iya Ayah," jawabku singkat. Ayah memang sangat melindungi kami sebagai anak-anaknya.
"Katanya Kak Rara bakalan pulang, dia akan tinggal bareng-bareng sama kita sayang," ucap Bunda membuatku tersenyum bahagia.
"Serius Bunda? Adek udah gak sabar!" aku memang sangat merindukan Kak Rara, Kakak yang paling kami sayangi.
"Iya sayang, Om Mirda nanti yang jemput setelah nganterin kamu," ucap Bunda dan aku mengangguk.
Setelah sarapan pagi selesai, aku berpamitan untuk pergi ke sekolah. Sepanjang perjalanan aku hanya diam, membaca novel kesukaanku.
"Nona Dira, kita sudah sampai," ucapan Om Mirda membuatku tersadar.
"Kok cepet banget ya, Om!" ucapku sambil tersenyum kaku.
"Baca novelnya serius banget sih! Hati-hati nona Dira, dan selamat belajar," ucap Om Mirda.
"Terimakasih banyak, Om!" ucapku lalu bergegas pergi menuju gerbang dimana Carel sudah menungguku.
Aku hampiri Carel yang sedang asyik dengan ponselnya, aku hanya menepuk bahunya lalu berjalan menuju kelas.
"Wah kurang asem lu! Udah gua tungguin malah melengos aja pergi," kesal Carel.
"Sstt! Jangan berisik, sakit kuping!" ucapku sambil terus berjalan.
"Dasar miss introvert!" ucap Carel dan membuatku tersenyum.
Begitulah panggilanku dari Carel dan juga Fika, sahabat baik yang aku miliki hingga saat ini. Sebenarnya banyak teman yang aku miliki, tapi tak seperti Carel dan juga Fika. Mereka mendekati aku, hanya karena mereka tau jika aku ini anak seorang Jenderal. Dulu, aku pernah dimanfaatkan oleh teman-teman dekatku. Hingga aku memilih untuk menyendiri, hanya Carel yang menemaniku. Lalu tak lama kemudian aku bertemu dengan Fika, seorang gadis seusiaku. Ayahnya telah meninggal dunia, saat sedang bertugas. Ayah Fika adalah seorang Polisi, dan Ibunya seorang guru sekolah dasar.
Dengan santai aku masuk kedalam kelas, kulihat Fika tengah melamun menatap jendela.
"Ngelamun aja! Ayam tetangga mati, kalo kamu kebanyakan ngelamun," Fika menatapku dan tersenyum. Dengan menulis pada secarik kertas, Fika mengatakan jika dia menungguku.
"Tenanglah, aku sudah disini!" ucapku membuat Fika mengangguk.
Fika sebenarnya tidak bisu, hanya saja semenjak kematian sang Ayah dia sempat mengalami kekerasan fisik oleh teman-temannya. Hingga membuat Fika terkena Syndrom Disartria. Disartria (dysarthria) adalah kelainan sistem saraf yang menimbulkan gangguan bicara. Kelainan ini terjadi ketika kerusakan pada saraf memengaruhi otot yang digunakan untuk bicara.
Carel menghampiri kami berdua sambil berkacak pinggang.
"Kalian berdua emang kompak kalo bikin gua kesel," ucap Carel lalu duduk dibangkunya.
"Jangan marah-marah, nanti fans kamu pada lari semua!" Fika meledek Carel melalui tulisannya yang disertai emoticon meledek.
"Tenang aja, kamu fans nomor satu dihati aku," goda Carel membuat Fika mencebik kesal.
"Kadal buntung, kepedean!" tulis Fika membuatku menahan tawa.
"Udah diem! Bentar lagi bu Lusi dateng," ucapku membuat Fika dan Carel diam.
Pelajaran pun dimulai, meskipun memiliki kekurangan namun Fika juga memiliki kelebihan. Dia anak yang cerdas, bahkan selalu menjadi peringkat pertama. Aku tak menganggap Fika sebagai pesaing, sebab aku memang mengakui tingkat kecerdasannya. Kami sama-sama memiliki trauma dalam berteman, hal itu membuat kami dekat.
Bel istirahat pun berbunyi, aku berjalan menuju kantin sambil mendengarkan musik menggunakan I-pods. Sedangkan Carel dan Fika berjalan didepanku.
Bruk!
Aku menabrak seseorang, tampaknya dia adalah kakak kelas. Sebab dia menggunakan seragam tim Futsal sekolah kami.
"Maaf Kak, saya gak sengaja," ucapku sambil menunduk lalu mengambil buku milikku yang terjatuh kelantai.
"Lain kali hati-hati ya, manis!" bukan orang yang kutabrak yang menjawab, melainkan temannya.
"Terimakasih, Kak!" aku berlalu pergi darisana, sebab tak ingin menjadi pusat perhatian.
Fika sudah memesankanku semangkuk baso, sambil membaca buku aku menikmati makanan yang ada dihadapanku.
"Makan dulu! Baru baca buku!" Fika menuliskan itu dan mengambil buku dari tangaku.
"Baiklah Mami Fika, aku makan!" Carel tersenyum, sebab Fika memang sangat perhatian pada kami layaknya seorang ibu pada anaknya.
"Fik, boleh gak baso punya lu buat gua? Masih laper nih!" ucap Carel manja.
"Ck! Beli lagi sono, malu-maluin lu!" kesalku ketika melihat Fika memberikan bakso miliknya begitu saja.
"Syirik aja lu! Fika nya aja kagak napa-napa," dengan santai Carel memakan bakso milik Fika.
Karena jam pelajaran kosong, aku memutuskan untuk pergi ke perpustakaan sendirian. Carel dan Fika lebih memilih untuk pergi keruang musik.
"Heh cewek blagu!" langkahku terhenti ketika mendengar suara itu.
"Aku?" tanyaku sambil menunjuk diriku sendiri.
"Iyalah elo! Emang siapa lagi disekolah ini yang paling blagu," ucapnya sambil memutari tubuhku dan menatapku sinis.
"Haaah? Aku gak pernah ngerasa blagu atau apapun itu," jawabku santai.
Dia mencoba untuk menarik jilbabku, dengan cepat aku menangkis dan mengunci tubuhnya. Dia memang berniat membullyku, tapi sayangnya aku sudah memahami itu.
"Lepasin gue! Brengsek lo, sok suci!" teriaknya membuat semua orang menatap kearahku.
"Aku gak pernah ngerasa punya masalah sama kamu, dan satu hal lagi! Kamu salah sasaran kalo mau ngebully aku, bisa aja dengan mudah aku patahin kedua tangan cantik ini! Selama ini aku diem bukan karena aku takut, tapi aku males menghadapi calon sampah masyarakat seperti kamu!" ucapku lalu melepaskan tangannya dengan kasar.
Semua orang menatap kearahku, hal yang paling aku benci!
"Daripada sibuk membully orang yang lemah, lebih baik berkaca pada dirimu sendiri! Karena dengan membully orang lain, secara tidak langsung kamu memperlihatkan kelemahanmu! Jangan remehkan diamnya orang introvert sepertiku, jika sekali lagi aku melihat kamu membully orang lain maka bersiaplah kedua tangan manismu itu untuk patah!" aku pergi begitu saja meninggalkannya.
Aku memang orang yang introvert, aku lebih menyukai kesendirian. Untuk menenangkan hati, aku memilih pergi ke taman sekolah. Sambil mendengarkan musik, aku membaca novel. Tiba-tiba terlintas dalam pikiranku untuk menjadi seorang penulis, dan hal itu membuatku tersenyum sendiri.
"Dasar cewek aneh," ucap seseorang yang menatapku dari jauh.
Kini sudah waktunya jam pulang sekolah, Fika membawa motor matic kesayangannya dan berpamitan. Setiap hari, Carel dan Fika akan pulang beriringan dengan sepeda motornya. Sedangkan aku harus selalu menunggu jemputan Om Mirda atau Kak Monik.
"Huft! Andai saja Ayah ngebolehin aku bawa motor," ucap batinku.
Kulihat Kak Monik yang menjemputku, aku teringat jika hari ini Kakak pertamaku pulang. Sesampainya dirumah, aku segera berlari masuk kedalam. Rasanya tak sabar untuk bertemu dengannya.
"Bun! Kakak mana?" aku bertanya dengan sangat antusias.
"Adek! Salam dulu, dong! Kamu bikin Bunda kaget," omelan Bunda sudah biasa bagiku.
"Hehehe, maaf Bun! Assalamu'alaikum, Bunda cantik. Dimanakah keberadaan Kakakku tercinta?" tanyaku dan Bunda tersenyum mengelus kepalaku.
"Dikamarnya sayang, mungkin lagi istirahat," jawab Bunda.
Dengan segera aku pergi menuju kamar Kakak Pertamaku.
"Kakaaaaakkkkk! Dira kangen!" aku berteriak lalu memeluk Kakakku dengan erat.
"MashaAllah, Adek yang manis ini udah pake seragam SMA aja!" ucap Kak Rara padaku.
"Iyalah kan dikasih makan sama Bunda, jadi Dira cepet gedenya," jawabku sambil bergelayut manja ditangannya. Kak Elmira adalah Kakak pertamaku, meskipun kami tak sedarah. Sebab Kak Elmira merupakan anak asuh dari Ayah dan Bunda.
Kami terus saling melempar canda tawa, tanpa disadari Ayah sudah berdiri didepan pintu dengan melipat kedua tangannya didada.
"Ekhemmmmzzzz!!" deheman Ayah membuat kami menoleh.
"Ayaaaahhhhh!!" teriak Kak Elmira berhambur memeluk Ayah, aku mengerti betapa Kak Rara sangat merindukan kami.
"Anteng banget sih kalian, sampe Ayah dateng gak tau!" Ayah mencebik kesal pada kami.
"Maaf, Ayah. Kakak rindu sama Adek, Kakak juga rindu sama Ayah," Kak Elmira terus memeluk Ayah, untuk menyalurkan kerinduannya.
"Ayah juga kangen banget sama Kakak, kalian udah makan siang?" Ayah bertanya sambil mengelus kepala kami berdua seperti anak kucing.
"Belom, Yah! Tadi Adek gangguin Kakak pas mau merem," ucapku sambil tersenyum.
"Ish! Anak nakal! Yaudah yuk kita makan siang dulu, Bunda udah siapin makanan yang enak buat Kakak," ajak Ayah pada kami berdua.
Kami turun dan makan siang bersama, hanya keheningan sebab Ayah memang melarang kami untuk berbicara ketika makan. Selesai makan, aku pergi ke kamar sebab sejak tadi ponselku terus berdering. Bang Husain terus melakukan panggilan video. Aku segera masuk kedalam kamar mandi, dan dengan cepat melaksanakan sholat dzuhur.
Sebenarnya aku berniat untuk turun dan menghampiri Kak Rara, tapi semua itu aku urungkan ketika tak sengaja mendengar pembicaraan mereka. Aku kembali ke kamar dan ponselku berdering kembali.
In Video Call
"Kemana aja sih? Ditelponin dari tadi juga!" Bang Husain mengomeliku seperti Bunda.
"Baru selesai sholat! Mau apasih?!" kesalku menatap Abang.
"Abang pengen lihat Kakak!" memang kami sangat merindukan Kak Rara.
Aku berjalan menuju balkon, aku melihat Kakak yang tengah termenung sendiri. Aku mengalihkan kamera ponselku pada Kakak.
"Kenapa Kakak sedih begitu?" Bang Husain bertanya padaku.
"Biasa, Ayah kan selalu kasih Kakak pengawalan," sedihku, karena memang kami selalu mendapatkan pengawalan ketat dari Ayah.
"Semuanya demi kebaikan Kakak. Yaudah, Abang tutup telponnya. Jangan kasih tau Kakak kalo Abang mau pulang!" pinta Abang Husain lalu mematikan panggilannya.
End Video Call
Aku kembali teringat rencanaku untuk menjadi seorang penulis. Ku ambil Mackbook milikku, dan mulai menulis tentang perasaanku.
"Tentang diriku yang seorang introvert, aku tidak suka dengan keramaian. Aku berbeda dengan orang lain, sifatku cenderung dingin. Hanya dengan keluarga, aku bisa bermanja ria. Aku lebih suka sepi, aku lebih nyaman menyendiri. Keramain terlalu asing bagiku, aku akan lebih cenderung diam. Bukan berarti aku sombong, tapi aku tak tau bagaimana cara membuat topik pembicaraan. Aku hanyala seorang monokrom, aku tidak pandai berkata-kata,"
POV END
* * * * *
Haii reader..
Ini cerita baruku..
Bagi kalian para reader baru, boleh membaca dari 'MENANTI CINTA SANG ABDI NEGARA'
Semoga suka dengan ceritanya...
Jangan lupa loh buat Like, Komen, Vote dan Favorite 🥰🙏🥰
Dukung Author terus ya!
Salam Rindu, Author ❤
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 69 Episodes
Comments
Tha Ardiansyah
hadir thorr...
aahhh... aku ketinggalan banyak 😩😩😩
2022-04-07
0
Fitriyani Aulina Yunarya
mampir lagi teteh . novel paling okeh ini
2022-02-24
0
Narsi Laras
ok kak rindu br th ada cerita ini
2022-02-19
0