"Maksud kamu apa? Memangnya apa yang saya lakukan sama Cici?" aku menatapnya tajam. Apa maksud perkataannya? Apa yang Ia tahu tentangku?
Gadis berpakaian kebesaran ini menatap balik. Tak ada keraguan. Tak ada ketakutan dalam matanya. Tak gentar sedikitpun.
"Aku tau Om menyuruh Mbak Cici untuk memuaskan hasrat lelaki Om bukan?"
"Kamu-"
"Tari melihatnya, Pak! Saat Tari mengantarkan soto untuk Bu Ida bagian akuntan. Om mengedipkan mata Om pada Mbak Cici, seperti memberi kode. Saat Tari keluar dari ruang Bu Ida, Tari lihat Mbak Cici sedang berjongkok di bawah meja dan Om sekuat tenaga menahan des ahan Om."
"Kamu pasti mengarang cerita!" kubantah kebenaran yang Tari coba katakan.
Tari tersenyum sinis. "Tari mengintip dari celah kecil itu! Coba aja Om lihat sendiri dari sana pasti akan kelihatan!" Ia menunjuk celah kecil yang tidak tertempel sticker di kaca.
Gadis kecil itu berani sekali menantangku. Aku menatapnya dengan lebih tajam dari sebelumnya.
"Mau kamu apa?"
Tari kembali tersenyum. "Tolong Tari, bayarkan hutang Tari dan kembalikan rumah Ibu! Om pasti punya kuasa untuk melakukan semua itu! Tolong Tari, Om!"
Kini gantian aku yang tersenyum. Ternyata tujuan gadis kecil ini adalah memerasku! Licik juga!
"Kamu pikir aku peduli kalau kamu menyebarkan berita tentang aku dan Cici? Dengar ya, aku enggak peduli! I dont care, you know?! Aku dan Cici melakukannya atas dasar suka dan saling menguntungkan! Malah aku bisa tuntut kamu atas tuduhan fitnah karena aku yakin kamu enggak punya barang bukti!" aku berhasil membalikkan keadaan. Gantian aku yang mengancam gadis pemberani ini.
Sedetik.... dua detik.... Ia terlihat memikirkan perkataanku.
"Aku memang enggak punya bukti. Ya, aku kalah!" Ia mengakui kekalahannya. "Tapi aku mohon sama Om, kabulkan permintaanku. Aku akan menjadi istri yang baik dan aku akan melakukan apapun yang Om pinta. Tolong bantu aku lepas dari Bapak tiriku. Tolong!"
Tari kini seperti kehilangan taringnya. Ia tak lagi mengancam aku seperti tadi. Ia malah memohon padaku agar menolongnya.
Aku menatap Tari dari ujung kepala sampai ujung kaki. Kulitnya memang putih bersih, tak terlihat berasal dari keluarga susah jika pakaiannya lebih modis sedikit. Jangan berharap Ia mengenakan make-up, celana yang Ia kenakan saja kebesaran sudah pasti Ia menyematkan peniti agar celananya tidak melorot. Tak ada uang untuk penampilannya, sebesar apa hutangnya?
"Aku... Enggak butuh seorang istri! Kamu pikir kenapa aku menjadi duda? Kamu salah orang! Lebih baik kamu menawari diri kamu pada laki-laki hidung belang di luar sana! Mungkin saja harga yang mereka tawarkan lebih tinggi dari yang aku tawarkan?" kataku dengan pedasnya.
"Om... Tolong... Aku tahu Om bisa menolongku! Aku rela jika Om hanya jadikan bahan pelampiasan Om namun dengan catatan, nikahi aku dulu. Aku tak mau berbuat dosa!" Tari kini memohon padaku. Ia bahkan rela melakukan sesuatu hanya agar hutangnya dilunasi.
"Kamu menyindir aku tentang dosa? Sudah sore! Aku mau pulang! Jangan kamu pikir aku berniat menikah denganmu! Ingat ya, pernikahan bagiku hanyalah sebuah topeng untuk menutupi kebobrokan yang lain! Satu lagi, jangan pernah berharap aku akan mempertimbangkan keputusanku, status dudaku sudah yang paling bagus dan keren saat ini!" aku menyunggingkan senyum penuh kemenangan.
Kulangkahkan kakiku menuju pintu dan kubuka lebar-lebar. "Kamu bisa pergi sekarang! Bawa juga obat dan makanan yang aku belikan untukmu!"
Kutunggu Tari sampai keluar ruanganku. Ia menghapus air mata yang keluar dari pelupuk matanya. Air mata kemarahan karena sudah merendahkan harga dirinya dan aku sudah menolaknya mentah-mentah.
Tari membawa plastik berisi roti dan obat yang kuberikan. Perlahan Ia berjalan menuju pintu keluar namun berhenti tepat di depanku.
"Semoga Allah memberikan rahmat dan hidayahnya untuk Om. Aku tahu Om orang baik, dan Om akan kembali menjadi orang baik jika menemukan seseorang yang bisa menuntun Om kembali ke jalan yang benar."
"Maksudnya... kamu?" sindirku. Aku tertawa lepas. "Percaya diri sekali kamu!"
"Tari permisi. Terima kasih telah berbaik hati pada Tari hari ini."
Tari pun pergi meninggalkan ruanganku tanpa menoleh ke belakang sekalipun. Entah mengapa aku seperti tersentil dengan perkataannya.
Seseorang yang bisa menuntunku ke jalan yang benar?
Seseorang yang bisa membuatku kembali menjadi orang yang baik?
Sejahat itukah aku?
Entah mengapa perasaanku menjadi tak nyaman dibuatnya. Aku butuh kenyamanan, dan kenyamananku berada diantara dentum musik yang memekakan telinga dan minuman yang memabukkan.
"Gue mau ke tempat biasa sekarang! Mau ikut enggak lo?" aku menghubungi Riko yang tak pernah berkata tidak untuk kata bersenang-senang.
"Malam ini?"
"Iyalah! Butuh belaian nih! Mau nyari yang baru!" jawabku. Aku memasukkan mobilku dalam garasi rumah lalu masuk ke dalam rumahku yang sepi tak ada yang menyambut kedatanganku.
"Ketemuan disana aja ya! Gue masih ada meeting nih. Sebentar doang kok!" jawab Riko.
"Oke. Gue juga mau mandi dulu. Gerah. Harus siap-siap buat nanti malam. Cari yang permainannya oke punya! Jangan yang abal-abal biasa main sama tukang becak! Harus yang high class. "
"Beda kelas kalau Duda Nackal sih! Maunya yang kelasnya long bukan short. Tuh cewek bakalan ah...ih...ah...ih... semalaman sampai lemes gara-gara lo!" goda Riko.
"Iya dong! Biar dia minta ampun karena udah enggak kuat melayani Duda Nackal ini ya ha...ha...ha..." aku tertawa menimpali omongan Riko. Setelah saling meledek akhirnya aku mematikan sambungan telepon.
Aku mengambil kaos warna putih dan celana jeans warna gelap. Penampilan simple dan terkesan cool.
Setelah mandi aku menyemprotkan banyak parfum ke seluruh tubuhku. Sambil berpikir malam ini enakkan bayar atau gratisan ya?
Aku sampai di tempat biasa lebih cepat daripada Riko. Memang rencananya hanya kami berdua saja mencari mangsa malam ini, tak perlu yang lain.
"Mau gratis apa bayar nih?" tanya Riko sambil berbisik di telingaku.
"Terserah. Dua-duanya tak masalah. Asal bisa dibawa pulang." jawabku.
"Kalau itu gimana?" Riko menunjuk seorang gadis mungkin seorang mahasiswa yang sedang asyik menikmati musik. Baju dress hitam yang dikenakan membuat penampilannya terkesan seksi dan menggoda.
"Boleh juga sih. Udah enggak bersegel juga. Asal jangan nuntut hubungan jangka panjang aja!"
"Ya lo bilang aja buat senang-senang. Mau dia pasti. Liat aja mukanya. Haus belaian om-om kayak kita!"
Aku tersenyum. Benar juga yang Riko bilang. Masih segar. Ranum. Siap untuk dipetik.
"Yaudah gue yang itu! Gue deketin dia dulu!" kuputuskan malam ini mendekati anak mahasiswa itu.
"Gue hunting yang lain dulu! Jangan lupa sewa supir kalau mabok!" pesan Riko.
"Siap!" kutinggalkan Riko dan berjalan mendekati targetku.
Tubuhku mulai mengikuti alunan musik dari DJ yang melirik ke arahku seraya mengerling minta kulirik. Tidak, jangan dulu. Hari ini aku punya target sendiri.
Mahasiswa berbaju hitam seksi itu kini di sampingku. Ia berjoged dengan seksi mengikuti alunan musik.
Aku tersenyum ke arahnya. Ia balas tersenyum kepadaku. Yup, jaring sudah kutebar.
"Hi!" sapaku.
"Hi juga, Om!" kini Ia menghadap ke arahku sambil meliukkan tubuhnya dengan penuh menggoda.
"Mau minum?" kutawari dia minum dulu, basa-basi sebelum mendapatkan apa yang kubutuhkan.
"Boleh." Ia tersenyum, mengiyakan ajakanku dengan mudahnya. Ini yang aku suka, mudah mendapatkan apa yang aku inginkan.
Kupesankan minuman untuk, ah aku belum berkenalan dengannya. "Agas. Nama kamu...." Kuulurkan tanganku untuk berkenalan dengannya.
"Vira!" Ia membalas uluran tanganku.
Aku tersenyum menggodanya. Ia pun balas tersenyum. Ya, ikan sudah memakan umpan dan siap mengangkat jaring.
"Mau senang-senang sama Om?"
****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 180 Episodes
Comments
Borahe 🍉🧡
istigfar Gas
2024-02-20
0
Borahe 🍉🧡
Haha menjijikkan Salli Kamu Gas. Kasian Mata Polos Tari
2024-02-20
0
Queen Mother
Koq gw jadi ketawa bacanya
2023-07-15
0