"Suka, Om?" tanya Cici dengan suara menggoda. Ia merapihkan rambutnya yang agak kusut karena tadi aku sedikit menjambaknya. Maklum, lagi on fire.
"Not bad lah. Oh iya, aku lapar. Tolong pesankan soto ayam di depan ya! Kamu pesan saja kalau kamu lapar." aku mengambil Hp milikku dan membuka mobile banking salah satu bank.
"Iya, Om." Cici mengancingkan kemejanya, Ia sengaja membukanya agar aku semakin berhasrat untuk menidurinya. Sayangnya, aku tak mau dan Ia agak kecewa sedkit.
"Nomor rekening kamu yang belakangnya 214 bukan?" aku memasukkan nominal 3 juta rupiah dan siap menekan enter.
"Betul, Om. Masih sama kok." Cici berjalan menuju tempat sampah dan membuang tisu bekas kesenanganku.
"Udah aku transfer ya. Jangan lupa pesanin sotonya!" pesanku.
"Siap. Nanti malam mau lagi enggak, Om?" goda Cici.
Aku mengulum senyum. Masih penasaran rupanya anak itu. Masih usaha ingin aku tiduri.
"Nanti malam aku ada party. Next time sajalah!" tolakku. "Sotonya suruh antar kesini aja ya!"
Cici terlihat agak kecewa karena aku kembali menolaknya. "Enggak ngajak Cici ke party juga, Om?"
Cici salah satu karyawanku yang agak ambisius. Ditolak satu, akan mencari celah yang lain.
"Enggak, Sayang! Aku udah janji sama temanku. Hmm... Pesan sotonya kapan ya Ci? Aku lapar nih!" kuusir Ia dengan cara halus.
"Iya... Iya... Ini Cici mau pesankan!" dengan malas Cici berjalan keluar dari ruanganku.
Cici adalah salah satu anak buahku yang bisa memenuhi kebutuhan biologisku. Ia adalah mahasiswa yang bekerja paruh waktu sebagai sales.
Sangat jarang perusahaan yang mau menerima anak mahasiswa bekerja paruh waktu. Cici saat itu begitu memohon padaku agar diberi pekerjaan.
Cici adalah mahasiswa perantauan yang jauh dari orangtua. Butuh uang dan rela melakukan apapun demi uang. Ia kuterima kerja karena melihat sorot matanya yang menunjukkan kegigihannya. Ijazah tak penting bagiku, yang penting bisa bekerja.
Aku menerima Cici bekerja. Ia biasanya datang ke showroom kalau tak ada kelas atau pada weekend. Tak masalah selama Ia bisa menjual mobil dan targetnya tercapai.
Cici bertubuh seksi, Ia sering menggodaku. Menurut orang kepercayaanku, Ia menyukaiku dan merasa berhutang budi atas kebaikanku menerimanya bekerja.
Cici mulai menawariku kesenangan saat orangtuanya di kampung tak lagi mengiriminya transferan dikarenakan gagal panen. Cici tak tahu bagaimana mendapatkan uang untuk membayar uang kost dan uang semesteran.
Ia pun mendatangiku dan rela memberikan dirinya padaku. Aku memang nakal, aku bejat dan brengsek, namun aku tak mau merusak anak yang masih baik dan suci.
Aku hanya ingin dipuaskan tanpa harus merusak Cici. Entah dia sudah memberikan dirinya pada laki-laki lain atau belum. Yang pasti bukan aku yang merusaknya.
Cici begitu ingin aku tiduri. Namun aku terus menolaknya. Cici bilang kalau aku butuh dirinya, kapanpun aku bisa memanggilnya.
Aku menyalakan komputer dan mulai memeriksa laporan show room. Laporan penjualan selama seminggu dan membandingkannya dengan minggu lalu. Mengecek laporan keuangan yang dibuat bagian akuntan dan meihat keuntungan yang terus bertambah setiap bulannya.
Aku tersenyum melihat deretan angka yang berarti makin banyak cuan yang aku miliki. Aku sudah mengganti modal yang Papa berikan, kini saatnya menikmati hasil kerja kerasku dua tahun ini.
Tok...tok...tok...
Pintu ruanganku diketuk. Pasti soto yang aku pesan sudah datang. "Masuklah!"
Seorang gadis berpakaian sederhana dan cenderung tertinggalan jaman datang membawakan pesanan sotoku.
"Permisi, Pak. Sotonya ditaruh dimana?" tanya gadis itu dengan suara pelan dan halus.
"Sini bawa ke saya! Mau langsung dimakan." aku melambaikan tanganku menyuruhnya mendekat.
Dengan menundukkan wajahnya Ia berjalan mendekat. Aku tak pernah memperhatikan dirinya selama ini. Gadis ini berdandan bak gadis kampung lain. Rambut panjangnya dikepang dengan anak rambut yang berantakan.
Pakaian yang dikenakan seperti layaknya pakaian jaman dulu. Kaos kebesaran dengan rok rampel panjang. Menutupi lekuk tubuhnya.
Ia mengenakan sandal jepit yang terlihat sudah tipis karena terlalu sering dipakai. Suaranya yang pelan kadang seperti tikus yang berdecit.
"Cici pesan soto juga enggak?" tanyaku.
"Enggak, Pak." jawab gadis pengantar soto yang sedang menghidangkan soto pesananku diatas meja kerja.
Aku mengeluarkan selembar uang kertas lima puluh ribu rupiah. "Nama kamu siapa? Nanti saya bilang sama security untuk mengembalikan mangkok dan piring sama kamu."
"Utari, Pak."
Tari? Kenapa hanya beda satu huruf saja dengan Tara mantan istriku?
"Ini uangnya, kembaliannya ambil saja buat kamu." aku menyerahkan selembar uang lima puluh ribu pada Tari.
Ia akhirnya mengangkat sedikit wajahnya. Terlihat wajahnya yang putih dan cantik. Lumayan juga.
"Terima kasih, Pak." jawabnya malu-malu.
"Jangan Pak. Panggil Om saja! Yang manggil Pak cuma karyawan disini saja. Itu pun hanya formalitas. Ulangi lagi!" aku menarik uangku sebelum Ia sempat mengambilnya.
"Te-terima kasih, Om!" jawabnya agak terbata.
Aku tersenyum. Ada ya gadis pemalu seperti ini di jaman sekarang? Kuberikan uang di tanganku dan Ia langsung pamit pergi.
Aku menyantap soto yang masih hangat. Rasanya enak. Aku suka beli soto dan beberapa kali Tari yang mengantarkan hanya saja aku tak begitu memperhatikannya.
Selesai makan kutaruh mangkuk di depan ruangan dan menelepon security agar menyuruh Tari mengambilnya. Aku kembali berkutat dengan laporan yang kuterima.
Aku sempat melirik saat Tari datang mengambil mangkok bekas aku makan lalu kembali fokus dengan pekerjaanku.
Sambil memeriksa laporan, aku juga terus memperhatikan layar Hpku yang menampilkan pergerakan harga saham. Jika terus turun maka aku langsung jual. Tak apalah untung hanya puluhan juta saja.
Ting
Ting
Beberapa pesan masuk ke dalam Hp milikku. Semua dari teman-teman tongkronganku.
"Jangan lupa nanti malam!" pesan dari Ricko.
"Lo mau gue kenalin yang baru enggak?" pesan dari Sony.
"Lo dateng jam berapa? Gue masih ada meeting nih! Bos gue ngasih kerjaan dadakan!" pesan dari Bastian.
Kuputuskan membalas pesan mereka satu persatu dan menghentikan pekerjaanku,.
"Siap! Jangan ngaret lo ya!" balasku pada Ricko.
"Nanti aja gue liat sendiri. Biar bisa pilih mana yang oke. Kadang selera lo enggak okem!" balasku untuk Sony.
"Udah resign aja! Ngapain jadi kacung kampret terus? Mending jualan cilok aja sana! Bisa jadi bos lagi ha...ha...ha..." aku sambil tersenyum membalas pesan untuk Bastian.
Kutaruh Hp milikku dan kembali fokus bekerja. Aku harus pulang ke rumah dulu sebelum ke party.
Jam setengah lima kuputuskan untuk pulang. Cici dan para marketing sedang sibuk menawarkan mobil pada calon pembeli. Rupanya promo free cicilan 1x lumayan menarik minat pembeli.
Cici menitipkan calon pembelinya pada Grace dengan alasan aku memanggilnya, padahal aku hanya memberi kode kalau aku mau pulang.
Ia setengah berlari menghampiriku. "Mau kemana, Om?"
Aku memelototinya. Panggilan Om hanya boleh Ia ucapkan saat memuaskan hasratku aja. Saat bekerja Ia harus bersikap sopan .
"Ups... Maaf Pak. Bapak udah mau pulang?" tanya Cici.
"Iya." jawabku singkat.
"Enggak bisa nunggu setengah jam lagi, Pak? Biar Cici bisa bareng sampai kostan Cici." Cici lalu berkata sambil berbisik agar tak ada yang mendengarnya. "Bapak bisa Cici service nanti kalau nganterin Cici."
****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 180 Episodes
Comments
Borahe 🍉🧡
huhuhu Mamannya Bangor OTw
2024-02-20
1
Queen Mother
Eits jangan nackal!! 😂😂
2023-07-15
0
Queen Mother
Ternyata, ini dia…
Lepas dari Tara, datanglah Tari 🤭🤭
2023-07-15
0