"Aku akan membelikan lagi kalau kamu suka. Makanlah yang banyak!" ujarku sambil menyodorkan piring berisi ayam goreng berpotongan besar-besar itu.
"Wah makasih, Om!" mata Tari berbinar-binar hanya karena ayam goreng yang kubelikan. Semudah itu Ia bisa bahagia, lantas kenapa aku sulit merasa bahagia dan puas akan apa yang aku punya?
Tari tersenyum dan senyumnya begitu tulus. Senyum di wajah yang terbiasa menangis itu adalah senyum terindah dan paling sulit dilakukan.
Tanpa sadar aku hanya memperhatikannya makan dan menyudahi makanku. Melihatnya makan ayam goreng dengan lahap membuatku kenyang.
Tari merapikan piring bekas makan dan mencucinya. Aku sudah melarangnya dan berkata akan ada yang mencucinya esok hari namun Ia bersikeras.
"Takut ada tikus Om kalau enggak langsung dicuci." begitu alasan Tari. Tak tahukan dia justru yang ada di rumah ini adalah kucing garong dan bukan tikus?
Aku pergi ke lantai atas tempat aku menaruh alat-alat olahraga milikku. Aku sedang malas berolahraga dan malah duduk di teras untuk menghirup udara segar.
Kunyalakan sebatang rokok dan mulai menyesapnya. Mengepulkan asap rokok ke udara seraya melihat bintang yang berkelipan di langit yang cerah ini.
"Maaf, Om. Tari buatin kopi buat Om." Tari datang membawa secangkir kopi untukku. Harum kopinya membuatku tak kuasa menolak pemberiannya.
"Makasih." jawabku seraya menerima cangkir kopi yang Tari berikan."Kamu enggak tidur?"
Tari menggelangkan kepalanya. "Belum ngantuk." tanpa sungkan Ia lalu duduk di kursi sebelahku.
"Maaf aku lagi merokok." tak sopan rasanya merokok di samping seorang wanita, namun aku tak mau mematikan rokokku. Biar Tari saja yang pergi dan meninggalkanku dengan kesenanganku.
"Enggak apa-apa, Om. Asap rokok dan bau minuman keras sudah seperti makanan sehari-hari dalam hidup Tari." ujarnya dengan suara getir.
Aku menghisap dalam-dalam rokok dan menghembuskan asapnya ke udara. "Kamu enggak punya sanak saudara lagi?"
Tari menggelengkan kepalanya. "Hanya Ibu yang Tari punya. Itu pun bukan Ibu kandung."
Aku mengambil cangkir kopi dan meminumnya. Kopi tubruk khas warkop. Aku suka. Wangi kopi lebih terasa dan rasa manisnya lebih alami. Beda dengan kopi di Mall yang banyak variasinya.
"Jadi Ibu yang kamu perjuangin selama ini bukan Ibu kandung kamu?" tanyaku.
Tari mengangguk. "Kata Ibu, Tari dulu Ia ambil dari panti asuhan saat menikah dengan suami pertamanya. Lalu Ayah sakit dan meninggal. Ibu menikah lagi dengan Bapak yang sekarang mau menjual Tari."
Benar-benar getir kisah hidupnya. Bagai kisah di sinetron-sinetron yang kebanyakan menjual mimpi.
"Bagaimana rasanya sendirian di dunia ini?" tanyaku, lebih kepada diriku sendiri...
"Rasanya... Kosong. Tak ada yang melindungi. Tak ada teman berbagi. Tak ada teman untuk tertawa bersama. Semua kosong." jawab Tari sambil menatap bintang di langit.
"Kamu tau siapa saya kan? Bagaimana kehidupan bebas saya? Kenapa kamu masih memilih untuk menikah dengan saya dan menggantungkan hidup kamu pada saya?" aku mematikan puntung rokok dan lebih memilih menikmati kopi buatan Tari yang harus kuakui rasanya memang enak.
"Karena bagi saya, menikah dengan Om lebih baik daripada harus melayani lelaki hidung belang."
"Aku adalah lelaki hidung belang kalau kamu lupa." kataku menyela perkataannya.
"Lebih baik melayani seorang lelaki hidung belang daripada banyak bukan? Jadi, kalau Om setelah menikahiku masih mau hidup bebas, aku tak akan melarang. Perlakukan aku seperti apapun yang Om mau, tapi tolong selamatkan aku dari keharusan melayani banyak lelaki hidung belang lainnya." ujar Tari dengan tegas.
Aku diam. Aku memikirkan perkataannya. Rasa kasihan menguasaiku. Ia akan dijual dan dipaksa melayani lelaki hidung belang yang akan memperlakukannya bagaikan wanita tak bermoral. Ia akan menerima uang dari bisnis lendir yang Ia tak mau masuki.
Aku jadi teringat dengan mukena yang Ia minta aku belikan. Pantas Ia tak mau menjadi wanita malam. Keimanannya yang melarangnya menjual dirinya.
"Aku seorang duda dan kamu lihat rumah tepat di depan rumah ini?" aku menunjuk rumah Tara yang terang benderang. "Disana mantan istriku dan selingkuhannya tinggal."
"Kenapa Om tidak pergi saja? Aku kira Om punya uang yang cukup untuk membeli rumah baru."
Aku tersenyum. Lugu sekali anak ini. Enggak suka tinggal pindah.
"Iya. Aku memang punya uang, namun kalau aku pindah bukankah aku menunjukkan pada mereka kalau aku lemah?"
"Oh... Jadi karena alasan ego makanya Om tak mau pergi. Iya sih. Aku kalau jadi Om juga enggak akan pergi. Aku akan tunjukkan kalau aku tidak lemah."
Kali ini aku setuju dengan perkataannya. Tanpa sadar aku tersenyum. Senyum pertama di hari yang berat ini.
"Sudah malam, tidurlah!" kataku.
"Tapi Om belum memberikan keputusan tentang masa depanku. Aku harus merencanakan rencana cadangan kalau Om tak mau menikahiku."
"Rencana cadangan? Seperti apa?"
"Hmm... Pergi jauh dari Jakarta, mungkin?"
"Mau kemana? Memangnya kamu punya uang untuk pergi?" cibirku.
"Enggak punya uang sih. Minjem sama Om. Nanti aku kembalikan kalau aku sudah punya uang."
"Optimis sekali. Kalau di kota yang baru kamu bakalan ketemu dengan orang yang lebih jahat dari Bapak tirimu gimana?"
"Ya aku bakalan kabur lagi. Kabur terus sampai yang mengejarku adalah malaikat pencabut nyawa baru aku tak bisa berlari lagi."
Deg... Perkataannya terlalu dewasa untuk gadis seusianya.
"Tidurlah! Aku akan menutup pintu nanti!" aku tak memberikannya jawaban. Aku menyalakan lagi puntung rokok dan menikmati malam seorang diri.
****
Aku ke showroom setelah kemarin gagal karena hampir menabrak Tari. Terjadi keributan di showroom.
"Dimana pemilik showroom ini?" teriak seorang bapak-bapak yang tercium bau alkohol dari mulutnya.
Security dengan sigap mengamankan bapak-bapak tersebut saat aku datang. Bapak-bapak tersebut malah berteriak-teriak di depan karyawanku yang berkumpul karena ingin tahu.
"Bilang sama bos kalian, kembalikan anak gadis saya! Atau saya akan melaporkannya ke polisi!" ancam bapak-bapak itu sebelum digeret oleh security keluar dari showroom.
Kini semua pasang mata menatap ke arahku. Untunglah hari masih pagi, belum ada pengunjung yang datang.
"Ada apa? Kembali bekerja!" kataku dengan tegas.
Karyawanku pun bubar dan kembali ke pekerjaannya masing-masing. Aku menaiki anak tangga dan menuju ruanganku.
Baru saja mendudukkan diri di kursi kebesaranku, terdengar suara seseorang mengetuk pintu ruanganku.
Tok...tok...tok....
"Masuklah!" kataku agak kencang agar terdengar sampai luar.
Cici yang masuk dengan senyum menggoda di wajahnya. "Hi Om! Tadi siapa?"
"Bukan urusan kamu!" jawabku ketus.
"Om judes banget sih. Mau Cici service enggak biar lebih rileks?" masih pagi dan Ia menggodaku.
"Enggak usah!" jawabku seraya menyalakan komputer milikku.
"Kenapa sih Om? Biasanya kalau Cici service enggak pernah nolak? Apa mungkin yang dikatakan bapak tadi benar kalau Om udah membawa kabur anak gadisnya?"
"Terserah kamu mau mikir apa. Keluarlah! Aku banyak pekerjaan!" usirku dengan ketus.
Cici tak lagi protes. Ia tahu kalau aku lagi bad mood, jangan ditambah kesal. Bisa hilang ladang uangnya nanti.
Sekarang Bapak tirinya Tari sudah ke kantorku. Laki-laki pemabukan itu akan menjual Tari. Kenapa aku merasa tak tega ya? Lalu apa aku harus menikahinya?
****
Done ya 2 bab setiap hari. Besok kita satu bab lagi. Makasih yang udah dukung Om Agas masuk 3 besar! Tetap dukung Om Agas dengan like, komen dan vote ya. Maacih 🥰🥰🥰
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 180 Episodes
Comments
anonim
Cici yg pantang menyerah nawarin nakenak ma omdud nackal😁😁
2023-10-24
0
Try Aemonthh
author hebat nih. kosakata ringan, ga alai tapi kena dihati ♥️
2023-07-10
0
bungaAaAaA
hwaaa tariii, 😭
2023-06-12
0