Aku membayar pesanan soto dan hendak kembali ke showroom setelah selesai makan. Terik matahari membuatku malas menyebrang untuk sampai ke showroom.
Aku memutuskan ke IndoFebruari untuk membeli es krim dan teringat rokok milikku yang sudah hampir habis. Lumayan AC di dalam IndoFebruari yang adem membuatku betah berlama-lama.
Aku mengambil es krim sebanyak jumlah karyawanku beserta security dan OB. Aku kalau jajan biasanya membelikan mereka semua, karena itu karyawanku sangat loyal padaku.
Perhatianku kini teralihkan pada seorang perempuan yang aku rasa aku mengenalnya. Pakaiannya yang ketinggalan jaman dan agak kebesaran mengingatkanku pada Tari, karyawan warung soto yang katanya tidak masuk karena sakit.
"Mas, saya beneran dapat hadiah nih. Coba dong Mas. Kenapa Mas-nya enggak mau nyoba sih? Ini rejeki saya loh Mas!" perempuan itu terlihat memaksa kasir melakukan yang Ia mau.
Tanpa aku sadari, aku berjalan mendekat ke arah gadis tersebut dan menyimak percakapannya dengan kasir minimarket.
"Mbak, ini tuh penipuan. Kalau saya tetap jalanin, nanti Mbaknya harus membayar transaksinya. Banyak Mbak yang sudah kena tipu kayak Mbaknya. " kasir tersebut berusaha menjelaskan namun gadis ini masih teguh dengan keputusannya.
"Yaudah coba aja dulu jalanin."
"Memangnya Mbak punya uang untuk membayarnya?" kasir itu kini melihat gadis itu dari ujung kepala sampai ujung kaki. Melihat penampilannya yang terlihat sebagai gadis yang tak mampu membayar.
"Kalau udah dicoba kan tahu Mas. Saya menang undian. Hanya saya yang beruntung dari sekian banyak orang. Nanti Masnya saya kasih tip deh. Saya janji."
"Ehem!"
Aku berdehem untuk menghentikan ketegangan diantara mereka berdua. Gadis itu menoleh dan benar saja dia adalah Tari, gadis pengantar soto yang kemarin aku pesan.
"Mm... Tari?" tebakku.
Tari mengangguk dan langsung mengingat siapa aku. "Oh... Om yang di showroom ya?"
Aku tersenyum. Rupanya Ia masih mengingatku. "Dari yang saya dengar sedikit percakapan Tari dan Mas kasirnya, boleh tau Tari dapat undiannya dari mana ya?"
Meski terlihat ragu, namun Tari menjawab pertanyaan yang kuajukan. "Dari pesan sms."
"Sebelumnya, Tari ikut kuis yang diadakan aplikasi tersebut tidak? Atau Tari ikut giveaway dan akhirnya nama Tari diumumkan sebagai pemenangnya?"
Tari menggelengkan kepalanya. "Enggak pernah ikut, tapi Tari dapat pesan kalau Tari termasuk salah seorang yang beruntung dan bisa mengambil hadiahnya di mini market terdekat." jawab Tari dengan lugunya.
"Itu udah pasti penipuan, Mbak! Untung saja saya enggak iya-in. Kalau Mbaknya enggak mampu bayar, bisa saya yang dituntut sama perusahaan untuk menggantinya!" sahut petugas kasir dengan kesal.
Tari terlihat menunduk, matanya kini memerah dan terlihat menahan tangis.
"Tari katanya lagi enggak enak badan ya? Mau obat apa? Biar saya bayar sekalian pesanan saya." kataku menawarkan.
Tari terdiam. Kupegang keningnya yang memang demam.
"Mas, tolong obat penurun panas dan rotinya juga sekalian. Satu lagi, rokoknya satu!" aku menunjuk rokok yang biasa aku hisap.
"Tari tunggu sebentar ya!" pesanku.
Tari hanya mengangguk dan masih menundukkan kepalanya.
Setelah membayar semua pesanan, aku mengajak Tari menyebrang dan ikut ke dalam kantorku.
Aku memberikan kantong berisi es krim pada salah seorang marketingku dan menyuruhnya membagikan pada karyawan yang lain.
Semua menatapku heran. Jelas saja, aku membawa gadis berpenampilan lusuh dan terus menunduk ke dalam ruanganku. Biasanya yang masuk ke dalam ruanganku adalah Cici yang cantik dan sexy atau wanita yang kencan denganku.
"Ayo ikut saya!" ajakku.
Tari menurut dan mengikutiku ke ruanganku. "Duduklah!" perintahku.
Aku mengambil gelas kertas dan menuangkan air hangat untuk Tari. "Makan dulu rotinya lalu minum obat!"
Kuberikan roti, air minum dan obat lalu kutaruh di depannya.
Lagi-lagi Tari menurut. Ia mengambil roti dan mulai memakannya dengan rakus. Apa dia memang belum makan seharian?
"Pelan-pelan makannya. Kalau tau kamu lapar, tadi saya belikan dua."
Tari mengambil minum lalu kembali memakan roti miliknya.
"Terima kasih, Pak." jawab Tari yang kini berani menatap mataku.
Selama sepersekian detik pandangan kami bertemu. Matanya terlihat bening dan menyimpan kesedihan. Apakah hidupnya sangat berat? Aku jadi penasaran dibuatnya.
"Tadi katanya Tari enggak kerja di warung soto karena lagi sakit? Kenapa Tari malah jalan-jalan dan bukan istirahat di rumah?" tanyaku.
"Aku... Tadi mau menukarkan hadiah." kembali Tari menundukkan wajahnya.
"Kamu percaya kalau hari gini ada yang mau memberi uang gratis? Tari, kalau sampai tadi kamu berhasil transaksi, maka penipu itu akan mendapatkan uang dan kamu yang harus menangung kerugian di mini market tersebut. Apa kamu mau?"
Tari menggelengkan kepalanya, roti yang kuberikan sudah habis Ia makan. Benar rupanya kalau Ia sangat lapar.
"Kamu belum makan sejak kapan?" tanyaku.
Tari tak langsung menjawab. "Sejak... Kemarin siang."
Pantas Ia begitu lapar. 24 Jam lebih belum makan, bagaimana tidak sakit.
"Enggak punya uang untuk makan?" tebakku. Tari kembali menjawab dengan anggukan tanpa kata.
"Kamu tinggal sama siapa?" tanyaku lagi.
"Aku... Tinggal sama Bapak... tiriku." jawab Tari dengan suara berdecit pelan.
"Hanya berdua saja?" tanyaku.
Tari mengangguk.
"Lalu kalau menang undiang itu, uangnya mau buat apa?" tanyaku lagi. Rasa penasaran yang begitu besar dalam diriku membuatku mengorek keterangan lebih dalam lagi tentang Tari.
"Buat... Buat bayar utang Bapak."
"Kenapa kamu yang harus membayarnya? Bapak kamu sakit dan harus berada di atas tempat tidur sampai tidak bisa membayar hutang-hutangnya sendiri?" tanyaku lagi.
Tari memainkan jari-jemarinya, terlihat begitu gugup dan agak takut untuk menjawabnya.
"Bapak sehat dan baik-baik saja."
"Lalu kenapa harus kamu yang membayarnya?" tanyaku lagi dengan gemas. "Jangan bilang kalau hutang judi lagi, yang harus kamu bayar!"
Tak disangka, Tari mengangguk.
"Hah? Beneran kamu harus membayar utang judi Bapak tiri kamu? Jangan mau lah! Itu utangnya dia! Ngapain juga kamu yang bayar! Kalau sampai kamu tadi nekat nukerin undian, memangnya Bapak tiri kamu akan membayarnya untuk kamu? Jangan mau!" aku mulai tersulut emosi. Kenapa ada cewek sebodoh Tari yang mau-mauan membayar utang judi Bapak tirinya?
"Karena... Karena Bapak mengancam akan menjualku ke seorang mucikari." air mata yang sejak tadi Tari tahan akhirnya jatuh juga.
Aku menatap Tari tak percaya. "Kamu mau dijual? Kabur! Lari sejauh mungkin! Kenapa kamu masih bertahan?!"
"Aku bertahan demi Ibuku! Demi rumah milik Ibuku yang dijadikan jaminan hutangnya! Aku bisa saja pergi! Bapak pikir kenapa aku mau membiayai laki-laki jahat sepert dia? Aku bertahan karena aku tak mau rumah Ibuku Ia jual!" jawab Tari dengan berapi-api. Aku berhasil menyulut emosinya. Aku berhasill membuatnya marah dan meluapkan semua kemarahannya.
Kini aku terdiam. Tari menatapku tanpa berkedip. Matanya terus meneteskan air mata kepedihan. Membuat aku merasa bersalah karena sudah mendesaknya mengatakan seluruh permasalahannya.
"Sorry! Aku... Lebih baik kamu minum obat kamu dahulu! Jangan sampai kamu pingsan nanti di kantorku!"
"Bapak bisa menolong saya? Bapak bisa membantu saya melunasi utang Bapak? Saya janji, saya akan lakukan apapun untuk Bapak. Termasuk yang Bapak sering lakukan pada Mbak Cici."
Deg...
Apa maksud perkataannya?
Apa yang dia tau tentangku?
****
Done ya, 2 Bab untuk hari ini.....
Gong xi fa cai semuanya... semoga di tahun ini banyak berkah dan rejeki melimpah untuk kita semua aamiin 🤲🥰🥰
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 180 Episodes
Comments
Modish Line
kasian bgt Tari 😭😭😭😭
2024-04-05
0
siti yanti
nah loh bang duda ketauan kan nackalnya,suwe tuh kan siCici embyerrr
2023-11-14
0
Jenn
gw mah yakin tari ga tau yg dilakuin Cici sama agas🤣
2023-05-31
0