Setelah lama berbicara dengan Gendis dan meminta dipijat pundaknya sebentar, Ozge buru-buru berpamitan. Tiba-tiba Sevket menghubunginya dan menyuruh Ozge, segera kembali ke kantor.
Entah mengapa perasaan Ozge menjadi tidak enak. Sepertinya, hal yang serius sedang menanti. Dia pun mengendarai mobilnya dengan kecepatan yang cukup tinggi.
Seperti biasa, Ozge meninggalkan mobil begitu saja. Dia segera menuju ke ruangannya yang ada di lantai 24.
Sampai di sana, Ozge mendapati Sevket duduk santai di kursi kebesarannya sembari menghisap cerutu yang tergapit diantara dua jemarinya.
"Darimana saja kamu? bukankah ini waktunya bekerja?" Pria berumur 60 tahun lebih itu membuka suara dengan sangat tegas.
"Ada urusan penting di luar," jawab Ozge dengan santainya.
"Jika kamu serius pada gadis itu, mulai sekarang menjauhlah."
Pernyataan Sevket barusan, membuat Ozge terlihat kesal.
"Aku tidak mau perjodohan itu. Lagi pula, Claudia sudah mempunyai kekasih." Ozge menghubungkan ucapan papinya dengan perjodohan sebelumnya.
"Papi memang akan membatalkan perjodohanmu dengan Claudia atau perempuan manapun."
Ozge tersenyum lega. Setidaknya dia bisa memilih sendiri gadis yang akan dinikahinya. Dua hari lagi, dia akan memperkenalkan Gendis pada keluarganya dengan bangga.
"Kamu tidak akan bisa menikah dengan siapapun, sebelum kamu mempertanggung jawabkan kesalahanmu, Oz. Keluarga itu kembali kemarin, kita tidak pernah tahu tujuan mereka ke sini apa. Mereka pasti mempunyai rencana."
"Aku tidak salah, Pi. Sudah berapa kali, Aku katakan. Aku tidak salah!" teriak Ozge, langsung emosi dan membanting pajangan singa yang terbuat dari keramik di atas mejanya.
Sevket hanya diam, membujuk Ozge hanya akan membuat putra keduanya itu semakin menjadi. Ozge selalu emosional jika diingatkan pada kesalahannya itu.
"Berhentilah menjadi kekanak-kanakan, jika gadis itu begitu berarti. Tinggalkan, dia! Jangan libatkan orang lain dalam urusan keluarga kita, apalagi jika gadis itu hanya bisa menjadi benalu," cecar Sevket.
Ozge menatap papinya dengan tajam. "Gadis yang sedang dekat denganku sekarang bukan benalu. Aku akan membawanya ke rumah segera. Aku akan menikahinya, apapun yang terjadi."
"Lakukan sesukamu, Oz. Kalau ada apa-apa, Papi tidak akan ikut campur. Papi sudah mengingatkan. Selesaikan masalahmu dulu, atau kita semua akan terkena imbasnya," tegas Sevket.
"Kenapa harus aku yang disalahkan? Semua bukan hanya salah aku?" Ozge keluar meninggalkan Sevket begitu saja. Dia ingin mendatangi Eser.
Sevket hanya menggelengkan kepalanya. Kenyataan tidak sesederhana yang ada dipikiran Ozge. Mau tidak mau dia harus bertindak. Sebelum reputasi dan keluarganya hancur berantakan.
******
Di ruangan, bukannya bekerja, Eser malah seperti kecanduan memperhatikan segala yang dilakukan Gendis melalui layar monitornya.
Tanpa sepengetahuan siapapun, Eser sudah memasang cctv di beberapa sudut, tepatnya di kamar Gendis, ruang tengah hingga ruang tamu.
Untung saja, Gendis tidak terbiasa berganti baju di kamar. Biasa seruangan berdua dengan Damar, membuat gadis itu terbiasa ke kamar mandi saat melakukannya.
Memang bukan untuk melihat tubuh polos Gendis, cctv itu dipasang. Eser hanya ingin mengetahui kebiasaan dan keseharian gadis itu lebih banyak. Dia bukan Ozge yang bisa bersikap sangat manis, tapi Eser akan membuktikan kesunggungguhannya pelan-pelan.
Ozge masuk ke dalam ruangan Eser tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu, wajahnya terlihat kesal. Kini amarahnya bercampur dengan ucapan Sevket, yang menyuruhnya meninggalkan Gendis.
"Berapa uang yang kamu keluarkan untuk Gendis? katakan sekarang? apa kamu ingin semua sahamku? atau kamu ingin posisi di lantai 26? silahkan ambil, tapi jangan ikut campur masalah Gendis dan menjauh darinya," Ozge mengatakan serambi menggebrak meja kerja Eser. Membuat benda ringan yang ada di atasnya beberapa melayang dan bergeser sesaat.
Eser mengambil monitor yang ada di sana, lalu menaruhnya di dalam laci. "Apa berbicara denganmu baik-baik itu memang sulit? bukankah sudah aku katakan, urusan kami bukan hanya tentang uang. Jika Gendis tidak bercerita padamu, ada rahasia apa di antara kami. Berarti dia belum sepenuhnya, menganggapmu," ucapnya dengan santai.
"Karena kamu pasti mengancamnya, Es. Kamu membuat Gendis mau tidak mau menurutimu. Aku tidak akan mundur, Es. Sampai kapanpun, Gendis milikku. Aku akan mengikatnya dalam sakramen pernikahan."
Ozge hendak berjalan ke luar pintu, tapi tangan Eser menahan lengannya. "Benarkah? lakukan saja, tapi pastikan dulu keluarga orang yang menunggu pertanggungjawabanmu tidak akan menyentuh Gendis. Jangan membuat ini rumit, Es. Selesaikan urusanmu yang tertunda. Jika beruntung, Gendis akan menjadi milikmu. Jika tidak, dia akan menjadi kakak iparmu, meski hanya TIRI," ucap Eser. Gayanya sangat angkuh dengan menekankan kata tiri di ujung kalimat.
"Kita lihat saja nanti. Kali ini, Aku tidak akan mengalah Es. Aku tidak peduli kalaupun kamu mendapatkan dukungan dari papi." Ozge meninggalkan ruangan Eser, lalu membanting pintu dengan keras.
Sama seperti Sevket, Eser hanya bisa menggelengkan kepala. Tidak banyak yang tahu, betapa tempramentalnya Ozge saat sedang emosi.
Pada kesehariannya, Ozge memang tampil lebih kalem dan lebih manusiawi ketimbang Eser. Tapi dia juga tak kalah tempramen dengan Eser.
Berbeda dengan Eser yang memang mengalami gangguan pengaturan emosi, Ozge lebih pada sifat asli yang memang sangat keras dalam kondisi tertekan.
*****
Sementara itu di apartement yang di tempati Gendis dan Damar. Keduanya duduk santai di ruang tengah.
"Mbak, Damar merasa, Pak Eser itu sebenarnya baik. Meskipun bapak hutangnya banyak, setidaknya dia tidak membeli Mbak Gendis begitu saja," ucap Damar.
"Iya sih, Mar. Mbak juga mikirnya begitu. Tapi Mbak merasa, dia agak licik. Lain sama Tuan Ozge. Dia baik dan lembut." Gendis memegang bibirnya, teringat kejadian tadi bersama Ozge.
"Mbak jatuh cinta pada Tuan Ozge?" selidik Damar.
Gendis tersenyum mau menjawab apa, rasanya terlalu cepat untuk mengatakan sedang jatuh cinta. Tapi nyatanya, setiap berada di dekat Ozge dia merasa nyaman sekaligus salah tingkah dalam waktu yang sama.
"Mungkin," jawab Gendis, akhirnya.
"Mbak, bukannya Damar mengecilkan hati, Mbak. Tapi kita ini kan bukan siapa-siapa. Apa pantas kita mencintai orang yang derajatnya lebih tinggi?" tanya Damar, kali ini sangat hati-hati, karena takut kakaknya itu tersinggung.
"Kita boleh mencintai siapapun tanpa memandang derajatnya. Yang tidak boleh kita lakukan adalah menyakiti dan memaksa orang lain untuk menerima cinta kita," ujar Gendis.
"Damar hanya tidak ingin Mbak tersakiti atau kecewa. Karena kalau sampai itu terjadi, Damar akan membalas mereka. Tidak peduli Damar masih kecil atau tidak punya apa-apa. Hanya Mbak Gendis yang Damar miliki." Adik Gendis itu menatap lembut kakaknya.
"Itu tidak akan terjadi, Mar. Mbak tidak akan membiarkan luka apapun sampai ikut menggores hatimu. Mbak pastikan itu. Mbak hanya minta, belajar dan berusahalah yang terbaik. Jadi Dokter Gigi seperti impianmu." Gendis menepuk bahu adiknya.
Saat Dia ingin memeluk Damar, ponsel Gendis berdering. Dia pun segera menerimanya.
"Iya, Beg ...."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 162 Episodes
Comments
ainatul hasanah
kembali jadi tim Eser.
plin-plannya Ana 🤣🤣🤣
2022-11-16
0
???
ya tetep aja lah dua-duanya punya gangguan mental, jangan2 bapaknya juga punya😳
memang nya dulu bebeg ngapain, hamilin anak orang ya🤨
2022-10-20
0
ℤℍ𝔼𝔼💜N⃟ʲᵃᵃ࿐ⁿʲᵘˢ⋆⃝🌈
ya ampun jadi dia kaka beradik sm2 punya tempramen tinggi🤦♀️🤦♀️🤦♀️
Gendis bener2 harus diluaskan lg sabarnya😆😆😆
2022-09-10
2