Mansion utama keluarga Sevket terlihat sibuk. Mereka sedang bersiap menerima tamu. Tanpa diketahui oleh anak-anaknya, pasangan suami istri itu juga mengundang keluarga lain, yang putrinya akan dijodohkan dengan Eser dan Ozge.
"Kenapa kamu memakai baju seperti itu, Son. Pakailah kemeja yang rapi," Mutia--mami dari Ozge, menatap heran pada anaknya yang hanya mengenakan kaos santai.
"Kita hanya makan malam, Mi. Lagi pula ini di rumah. Mami jangan mulai berlebihan," jawab Ozge dengan ketus.
Mutia tidak ingin berdebat lagi. Semakin Ozge besar, semakin jauh anaknya itu dengannya. Kebencian Eser yang ditujukan pada Mutia, seolah menular pada Ozge.
Mansion yang cukup besar, mewah dengan fasilitas yang sangat lengkap. Nyatana tidak membuat dua putra Sevket, betah di mansion.
Baik Eser maupun Ozge, memilih untuk tinggal di apartemen masing-masing. Kebencian Eser pada Mutia sangat mendarah daging.
Selama ini hanya Sevket yang membuat mereka segan. Bukan segan yang didasari rasa hormat, tapi lebih kepada tidak mau kehidupan mereka dipersulit oleh laki-laki yang mereka panggil papi itu.
Sevket bisa sangat kejam dan bersikap semena-mena kepada siapapun. Banyak mafia yang menjadi teman baik Sevket, mereka bersedia melakukan apa saja untuk membantu memuluskan apa yang menjadi keinginan Sevket.
"Ke mana kakakmu" tanya Sevket, pada Ozge.
"Mulai kapan aku harus tahu keberadaannya."
"Oz ...." Mutia mengingatkan anaknya untuk bersikap sopan.
Ozge tidak peduli, karena hanya ada mereka bertiga. Tidak perlu pura-pura menjadi keluarga harmonis dan ideal seperti yang sering diberitakan oleh media.
Eser memasuki ruang keluarga utama dengan rambut yang masih basah, tatapan penuh kebencian dia lemparkan pada Ozge. Esar semakin kesal dengan adik tirinya itu, karena sejak Gendis ke kantor SVK, Ozge terus menguasai Gendis. Bahkan gadis itu tidak diberikan kesempatan untuk melayani tamu lain.
"Ada apa menyuruh kami datang?" tanya Esar tanpa basa basi sembari menghempaskan bokongnya di sofa single.
"Papi ingin kalian menikah." Sevket menjawab dengan santai.
Esar dan Ozge sama-sama kaget, tapi ekspresi mereka begitu datar. Jangankan menikah dalam waktu dekat, kekasih saja mereka tidak ada.
"Kalian tidak perlu khawatir ataupun pusing soal pasangan. Papi sudah memilihkan untuk kalian."
Seketika Eser berdiri dari duduknya. "Tidak! Papi boleh mengatur apapun dalam hidupku, kecuali masalah kehidupan pribadiku. Biarkan aku sedikit merasakan menjadi manusia normal, Pi."
Ozge hanya diam. Dia sedang enggan berdebat. Bukan berarti dia menerima, tidak akan. Meakipun belum jelas arahnya akan bagaimana, dia sudah mengintai Gendis untuk menjadi jodohnya.
Bersamaan dengan itu, datanglah dua keluarga yang sudah ditunggu-tunggu oleh Sevket dan Mutia.
Drama pun mau tidak mau, harus dimulai. Wajah Ozge dan Eser yang tadinya sangat tidak ramah mendadak hangat. Meskipun tidak selalu menebar senyuman, tapi keduanya seolah menunjukkan kalau mereka adalah kakak adik yang sangat akrab.
Kedua keluarga itu pun memperkenalkan putri mereka bergantian. Dua perempuan itu, tentu saja langsung tertarik dengan Eser dan Ozge.
Satu perempuan berambut hitam panjang lurus sepinggul, dengan body yang sangat menggoda bernama Jane. Yang satu lagi berambut Curly berwarna burgundy, tinggi langsing bak model bernama Claudia.
"Kalian berempat mengobrollah dulu, kami akan membicarakan sesuatu dulu." Sevket mengajak para orangtua menuju ruang tamu kedua yang letaknya lebih dekat dengan ruang keluarga.
Mengetahui papinya sudah tidak terlihat, Esar pun langsung berniat membuat perempuan yang ada di depannya sekarang, mundur dengan sukarela tanpa diminta.
"Jadi kalian yang akan dijodohkan denganku?" tanyanya dengan tatapan tajam.
"No, aku dijodohkan dengan Ozge bukan denganmu." Claudia menjawab dengan sangat berani.
Eser mencebikkan bibirnya, lalu menatap Jane dengan liar. "Jika kamu berhasil membawaku keluar dari rumah ini sekarang, aku akan mempertimbangkan perjodohan kita."
Jane pun menerima tantangan Eser dengan senang hati, dia tahu persis orangtuanya tidak akan menolak permintaannya. Dengan berani dia berbisik pada Eser. Setelah laki-laki itu mengangguk setuju. Keduanya berjalan ke tempat di mana para orang tua berada.
Sedangkan Ozge malah mengacuhkan keberadaan Claudia. Jangankan menyapa, melihat pun tidak. Ozge malah sibuk berbalas pesan dengan Gendis.
Keduanya sekarang memang sudah lumayan akrab. Gendis tidak berpikiran buruk lagi pada Ozge.Karena beberapa hari ini, Ozge menunjukkan kesungguhannya kalau memang hanya ingin dekat dengan Gendis.
"Oz, apa kamu sudah mempunyai kekasih?" Claudia memulai pembicaraan terlebih dahulu.
Ozge tidak langsung menjawab, dia tersenyum sinis melihat Eser dan Jane berjalan menuju pintu utama. Rupanya Eser berhasil membodohi gadis itu.
"Sudah," jawab Ozge dengan singkat.
"Sama sih, aku juga sudah punya. Jadi tidak ada masalah kalau kita dekat saja. Kita pura-pura saja ngobrol biasa, malam ini." wajah Claudia terlihat semakin lega.
"Baguslah kalau begitu."
"Apa kamu tidak ingin keluar? kalau mau aku akan mengajakmu berpetualang malam ini. Kamu pasti tidak pernah merasakan nikmatnya menjadi orang biasa." Claudia menatap Ozge penuh harap.
Ozge berpikir sejenak, sepertinya tidak ada salahnya menerima. Karena dia juga tidak ingin terjebak dengan pembicaraan orang tua yang pastinya berat dan memaksa.
Sama sepertu Eser dan Jane, mereka pun meminta izin terlebih dahulu. Dengan mudah, mereka langsung mendapatkan anggukan kepala. Sepertinya, orang tua juga bisa salah menilai. Mereka tidak peka, kalau sedang dipermainkan oleh anak-anaknya.
Berbeda dengan Jane dan Eser yang akhirnya memanfaatkan pelarian mereka di sebuah bar salah satu hotel berbintang.
Claudia malah mengajak Ozge ke taman kota, perempuan itu terlihat sangat biasa berada di sana. Meski penampilannya menjadikan dirinya sebagai pusat perhatian. Tapi dia tetap terlihat santai.
"Kita tunggu di sini sebentar. Kekasihku akan mengajak temannya ke sini. Setelah ini kita akan makan sate di sana. Satenya sangat enak." Claudia menunjuk pedagang sate yang sangat ramai pemeli.
Ozge terlihat sangat canggung, beberapa kali dia menutup wajahnya dengan satu tangan. Karena tidak nyaman saat banyak orang yang memperhatikannya.
Claudia menunjuk sebuah bangku taman yang berhadapan langsung dengan air mancur di tengah taman. "Ke sana, yuk!"
Eser mengukuti saja langkah Claudia, sesekali dia melihat layar ponselnya. Dia sedang meninggu jawaban dari Gendis, tapi tidak satu pun ada pesan masuk di sana.
Ozge mulai mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Senyumnya mengembang, manakala melihat seorang anak dengan bahagianya bercengkrama manja dengan sang ayah dan ibu.
"Sesederhana itu kebahagiaan mereka. Kita berdua mungkin tidak sebahagia itu semasa kecil." Claudia menyadari arah tatapan Ozge.
"Ternyata banyak hal yang tidak bisa ditukar dengan uang," ucap Ozge.
Claudia melemparkan senyuman termanis diikuti lambaian tangan, saat melihat kekasihnya datang.
Ozge sendiri kembali sibuk menatap layar ponselnya. Dia kembali mengetikkan pesan unuk Gendis.
Claudia langsung memberikan ciuman hangat pada kekasihnya itu, menyapa teman kekasihnya dengan senyuman. Menyadari sudah ada orang lain, Ozge pun mendongakkan kepalanya.
Matanya seketika berbinar terang.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 162 Episodes
Comments
???
pasti Dayang Sumbi yg datang 😉
2022-10-20
0
ℤℍ𝔼𝔼💜N⃟ʲᵃᵃ࿐ⁿʲᵘˢ⋆⃝🌈
apa temennya itu Gendis?? sampai bisa membuat mata Ozge bersinar terang🤣🤣🤣🤣 dah mirip lampu aja😆😆😆😆
2022-09-09
2
Ayahnya Putra Fajar
apa yg membuatnya berbinar
2022-09-06
0