Ozge tersenyum sinis. "pulang."
"Siapa suruh kamu ikut campur dengan urusan pribadiku? ingat, Oz, jika ada cara agar darahku ini tidak sama denganmu. Aku akan melakukan apapun untuk mengubahnya," ucap Eser tepat di depan wajah Ozge.
"Aku pun sama,Es," timpal Ozge, tak kalah sinis.
"Jangan campuri urusanku dengan Gendis," tegas Eser.
"Dia bukan siapa-siapamu, Es. Juga bukan siapa-siapa ku. Jika kita memang sama-sama tertarik, peluang kita masih sama," Ozge membalikkan badan, berjalan beberapa langkah lalu menghempaskan bokongnya ke sofa.
"Dasar, anak perebut suami orang. Jelas kelakuanmu tidak jauh berbeda dengan perempuan perampas itu," sindir Eser.
"Terserah apa katamu. Aku hanya ingin menyampaikan pesan Papi, besok akhir pekan kita harus berkumpul di mansion utama. Tidak diperkenankan untuk datang terlambat, atau lantai 26 akan jatuh di tanganku." Ozge kembali berdiri, melempar senyuman sinis lalu keluar meninggalkan Eser.
Sepeninggalan adik tirinya, emosi Eser semakin meledak. Dia memukul meja kerjanya yang terbuat dari kaca dengan stick golf. Serpihan kaca pun berhamburan ke mana-mana.
Tidak banyak yang tahu, jika Eser mengalami Gangguan emosional (emotional behavioral disorder/EBD), di mana dalam kondisi tertentu, dia sulit mengendalikan perilakunya sendiri. Hal ini disebabkan oleh traumanya di masa kecil. Yang sering kali melihat papi dan maminya bertengkar dengan hebat.
Perabot melayang, tamparan, tendangan dan pukulan adalah makanan sehari-hari baginya saat itu. Perlakuan papi dan maminya sama-sama kasar.
Eser tidak mau melakukan pengobatan intensif ke psikiater, dia hanya mengandalkan obat penenang yang baru dikunyahnya kini.
Laki-laki itu menelpon seseorang dengan raut wajah yang masih tegang, Eser benar-benar butuh pelampiasan saat ini.
Tapi emosinya semakin memuncak begitu tahu malam ini Gendis akan bersama dengan Ozge. Rupanya, dia tadi menghubungi Alika.
Lemari kaca pun kini menjadi sasarannya. Tidak lagi menggunakan stick golf, tapi dengan kepalan tangannya. Hingga darah segar pun mengalir dari sana.
Seolah tidak merasakan nyeri dan juga perih, Eser hanya menyiramnya dengan kucuran air dingin di kran wastafel, lalu membalutnya dengan dasi yang selalu ada di laci meja kerjanya.
Eser mengeluarkan sebotol minuman beralkhohol dari dalam lemari pendingin. Dia langsung meneguk dari mulut botol tanpa menuangnya ke gelas.
Kadar kebenciannya pada Ozge kini semakin bertambah. Setiap apa yang dimiliki dan diinginkannya selalu saja ada Ozge yang menghalangi.
Sementara itu, Gendis terus mengeluarkan isi tasnya untuk mencari dompet miliknya. Untung saja saldo taksi online yang dia tumpangi tadi menggunakan pemabayaran melalui aplikasi.
Kini di kontrakan, saat ingin membeli telur dia baru menyadari dompetnya tidak ada.
"Nyari apa, Ndis?" tanya Surti yang baru saja bangun.
"Dompet, Mbak. Tadi Gendis taruh tas."
"Mungkin jatuh. Uangnya banyak?"
"Mbak nanya, apa ngeledek? Kayak Gendis begini, uang belum sempet anteng di dompet. Owh, ya, Mbak. Uang tip tadi sudah Gendis kembalikan. Keduanya tidak ada tuh, basa basi ngejar buat maksa Gendis nerima lagi uangnya. Mungkin, mereka khilaf saja kemarin," cerocos Gendis.
"Makanya, jangan sok-sokan tidak butuh. Ingat uang kuliah Damar nanti, tidak bisa dibayar dengan gengsi. Manfaatkan kelebihanmu, tapi tetap jaga dirimu. Cukup aku yang remnya blong." Surti mengambil air putih melalui pompa galon.
"Iya, Mbak. Gendis mau tidur sebentar. Nanti biar seger pas kerja," pamit Gendis langsung menuju kamarnya.
"Damar pulang jam berapa, Ndis?" teriak Surti.
"Jam lima, Mbak. Dia bantuin di tempat les mas Bayu dulu." Gendis menjawab dengan mata yang sudah terpejam.
'Owh, aman kalau begitu,' batin Surti.
*********
Rasanya baru sebentar Gendis memejamkan matanya, tapi ketenangan tidurnya terusik dengan suara-suara aneh dari kamar sebelah.
Gendis merapatkan telinganya pada triplek yang menyekat kamarnya dengan kamar Surti. Memastikan ini bukan bagian dari mimpinya.
"Ko, pelan dong, ini baru aku beli kemarin. Kalau sobek, awas kalau tidak diganti."
Suara manja Surti setengah berbisik, tapi tetap tertangkap di telinga Gendis.
"Hustttt, pelankan suaramu,Ti. Katanya ada adikmu tidur. Kalau nanti dia bangun bagaimana."
Kini suara seorang laki-laki yang menyahut. Menurut Gendis tidak berbisik. Karena suaranya sangat jelas.
"Iya, lupa, Ko. Pelan-pelan maju mundurnya. Sosismu jumbo, bisa muntah aku nanti."
Suara Surti kembali terdengar.
"Rasa leci saja, kemarin kamu coba rasa strawberry katanya terlalu kecut."
Setelah itu tidak ada suara lain, selain suara decapan dan bunyi ranjang tua yang khas saat terkena guncangan atau gerakan mendadak.
Tapi beberapa menit kemudian, d3sahan dan lenguhan bersautan memenuhi gendang telinga Gendis.
"Ya Allah, dosa apa hamba. Kenapa harus mendengar siaran langsung seperti ini." Gendis menepok jidatnya. Buru-buru, keluar kamar dan duduk di bawah pohon rambutan milik tetangga sebelah.
Suara klakson mobil, kini terasa lebih indah di telinganya, ketimbang suara di dalam kontrakan sana.
Gendis pun mulai berpikir harus pindah ke kontrakan sendiri, kali ini untung dia yang mendengar. Bagaimana kalau Damar? pasti akan lebih panjang ceritanya. Bagaimanapun, pasti adiknya itu juga pasti sudah paham masalah seperti itu.
Seelah berada di bawah pohon hampir satu tajam, akhirnya Surti ke luar bersama seorang laki-laki. Seumuran dengan Darto, matanya sipit, perutnya buncit dan genitnya kelihatan amit-amit.
Gendis menunduk dan menutup wajahnya dengan rambut, tidak ingin disapa apalagi menyapa. Rupanya Surti pun terlalu fokus hingga dia tidak menyadari keberadaan Gendis di bawah pohon rambutan.
Saat Surti, mengantar laki-laki itu ke dalam mobil yang di parkir di seberang jalan, Gendis pun segera berlari ke dalam dan kembali meneruskan tidurnya yang terjeda.
Lebih baik, Gendis pura-pura tidak tahu. Meski dia yakin, kalaupun dia tanya, Surti tanpa rasa malu pasti akan tetap menceritakannya.
*******
Sampai di tempat kerja, suasana tidak sesunyi kemarin. Gendis menemui beberapa teman sesama Terapis yang sedang menunggu dan rumpi santai di ruang khusus untuk berkumpulnya para Terapis.
"Enak ya, anak baru. Langsung dapat duo suket. Kalau nggak pakai guna-guna, mana mungkin langsung begitu." sindir seseorang, sembari melirik sinis pada Gendis.
"Bukan lagi guna-guna, ceu ... tapi susuk kantil terkewer-kewer. Buktinya, suket dua sudah tidak mau tuh dipegang sama Ane," sahut perempuan yang lain.
"Kelihatannya saja, polos. Ternyata berbahaya Teh. Jaga baik-baik lahan, teteh. Jangan sampai diserobot juga." timpal perempuan berambut jagung berkulit pucat.
Gendis bukannya bodoh dan tidak menyadari kalau yang sedang dibicarakan adalah dirinya. Tapi dia sengaja tidak membalas apapun ucapan mereka. Membela diri seperti apapun, tidak akan berguna jika dihadapan pembenci.
Niat untuk berkenalan dengan sesama teman seperjuangan, sepertinya harus dibatalkan. Gendis pun beranjak, tapi baru beberapa langkah dia berjalan. Seorang perempuan cantik bertubuh sintal dengan ukuran dada penuh, menyiram wajah Gendis dengan air yang sudah diwarna merah.
Bukannya menolong Gendis, semua yang ada di sana malah menertawakan gadis itu.
"Mbak, saya salah apa?" tanya Gendis dengan polosnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 162 Episodes
Comments
ainatul hasanah
Esar ? atau Ozge ?
aku dukungnya Esar saja, kasihan . mungkin memang Gendislah obat luka dan sakitnya. Esar pasti bisa berubah.
2022-11-16
1
???
mata sipit perut buncit genitnya amit-amit mulut komat-kamit jalannya jinjit-jinjit lewat digang sempit wkwkwk🤣🤣
2022-10-20
0
Rissa Audy
seketika bayangan fiesta chicken nugget melewati kepalaku🤣🤣
2022-09-23
0