"Aku tidak minta macam-macam. Tinggallah bersama Damar di tempat yang aku sediakan. Bekerjalah menjadi sekretarisku. Biarlah Damar home schooling sampai dia lulus nanti. Sesederhana itu." Eser berjongkok agar bisa beradu pandang dengan Gendis.
Gendis terdiam. Mengambil nafas dalam. Tidak ingin terburu-buru mengambil keputusan, tapi tidak banyak pilihan yang dia punya. Eser benar, saat ini kemungkinan hanya ada dua. Menghadapi Bapak Gendis yang tidak akan ada ujungnya atau menata masa depan dengan mengorbankan diri sendiri dulu.
"Bagaimana? aku tidak punya banyak waktu. Aku tidak mrnyuruhmu melakukan sesuatu yang dosa. Jika kamu melihatku tidak seburuk pikiranmu selama ini. Seharusnya kamu berterima kasih padaku. Ingat Ndis, tidak hanya masalah ini yang mengikatmu denganku ada foto-foto kita. Kamu bisa mengacuhkan pandangan seluruh dunia. Tapi bagaimana dengan Damar? dia terlalu membanggakanmu." Lagi-lagi Eser menyerang Gendis melalui Damar.
Pria itu berdiri, lalu menghubungi seseorang untuk segera mempersiapkan dua mobil.
"Ambil barang kalian di kontrakan. Lalu ke tempat kalian yang baru. Hari ini manfaatkan waktu istirahatmu. Mulai besok kamu akan bekerja menjadi sekretarisku. Pakailah pakaian yang sudah disediakan di tempat barumu nanti. Kamu terlalu lama berpikir, jadi aku anggap kamu setuju." Eser langsung meninggalkan Gendis di ruangan itu sendiri.
"Tuhan, jika ini memang jalan yang harus kami lalui. Kami ikhlas, tapi tuntun kami. Rangkul kami dalam kuasamu. Kami tidak akan sanggup jika sendiri." gumam Gendis.
Gadis itu memejamkan matanya sejenak, sengaja ingin merasakan keberadaan Tuhan di hatinya. Mencari damai dan tenang untuk mendapatkan kembali sebuah kekuatan.
Gendis bangkit dan berdiri, berharap keputusan untuk mengikuti kemauan Eser adalah langkah yang benar. Dia lalu melangkahkan kaki ke tempat di mana tadi Damar berada.
Dari jauh dia melihat Eser dan adiknya itu malah berbincang hangat dan akrab. Tidak terlihat mengintimidasi, seperti saat berbicara dengannya.
"Tidak perlu menjelaskan apapun pada Damar, dia sudah paham. Kamu dan Damar akan diantar oleh driver. Ini Siti, dia akan menjaga, mengurus dan bersama kalian selama di apartemen." Eser memperkenalkan perempuan yang membukakan pintu tadi.
Eser hanya mengantar ketiganya hanya sampai masuk ke dalam mobil. Senyuman licik kembali mengembang di bibirnya.
Baru saja dia mau melangkahkan kakinya kembali ke dalam rumahnya, sebuah pukulan keras tepat mengenai rahang pipi kananna.
Pukulan mendadak dan sangat keras, sukses membuatnya sedikit kehilangan keseimbangan.
Sambil memegangi pipinya yang terasa ngilu, Eser menoleh pada sosok yang sudah berani menyentuh pipinya dengan kasar. Yang tidak lain adalah adik tirinya sendiri.
"Apa maumu?!" bentak Ozge sangat emosi.
Eser hanya menjawab dengan senyuman sinis, lalu masuk ke dalam rumah begitu saja.
"Es, lepaskan Gendis dan adiknya. Berapapun uang yang kamu keluarkan, akan aku kembalikan berlipat-lipat?!" teriak Ozge.
"Aku tidak butuh uangmu. Aku tidak butuh apapun, dan aku tidak akan membuat kesepakatan denganmu. Kita lihat, dengan siapa dia akan memilih menikah pada akhirnya," ucap Eser, dengan santai.
"Tapi caramu salah, Es. Kamu menekan Gendis dan memanfaatkan kelemahannya. Sungguh kamu sangat licik."
Ozge kembali ingin melayangkan satu pukulan pada Eser, tapi kakak tirinya itu berhasil menangkisnya. Kini, Eser berbalik arah yang menyerangnya dengan satu pukulan yang tidak kalah keras. Tepat mengenai ujung bibir Ozge, hingga berdarah.
"Jika memang, Gendis menyukaimu. Kamu tidak perlu sekawatir ini. Kita lihat saja, seberapa jauh kalian akan bertahan." Eser meninggalkan Ozge sendirian. Dia sendiri menuju sebuah kamar, dan membanting pintunya dengan begitu keras.
Sembari mengumpat, Ozge berjalan keluar menuju motor sport yang di parkir di luar pagar. Lalu melajukannya dengan kecepatan tinggi, menuju sebuah apartemen yang dia yakini, Gendis dan Damar pasti akan berada di sana.
*****
Surti baru saja ke luar dari dalam kamar mandi, saat melihat Damar dan Gendis masuk ke dalam kontrakannya.
Adik kakak itu langsung masuk ke dalam kamar masing-masing. Lalu tak lama kemudian sudah ke luar membawa semua barang-barangnya.
"Loh ... Loh ... apa-apa'an ini. Kalian mau ke mana?" Surti terlihat sangat kaget melihat Gendia dan Damar seperti sudah bersiap untuk pergi.
"Mbak, kami harus pergi. Terimakasih atas semua kebaikan, Mbak Titi selama ini. Tidak akan pernah, kami melupakan, Mbak. Suatu saat nanti, kalau hidup kami sudah lebih baik. Mbaklah, oramg pertama yang akan kami cari dan temui." Gendis menggenggam tangan Surti.
"Kalian mau ke mana? jangan membuat aku khawatir. Kalau untuk menghindari bapak kalian, biar mbak carikan tempat dulu. Jangan sampai kalian menjadi gelandangan begitu ke luar dari sini." Surti menatap Gendis dengan penuh kekhawatiran.
"Mbak tidak perlu khawatir, kami di tempat yang aman dan terjamin. Gendis juga berhenti bekerja. Tapi maaf, Gendis belum bisa memberi tahu, kami tinggal di mana. Nanti kalau sudah jelas, pasti kami kabari. Terimakasih ya, Mbak." Gendis memeluk Surti dengan erat.
"Hati-hati. Eh, tunggu dulu ... jangan-jangan kamu bersama, Tuan Ozge?" Surti menerka-nerka.
Mendengar nama Ozge, membuat perasaan Gendis menjadi dilema. Bagaimana nanti dia akan menghadapi pria yang baru semalam menjadi kekasinya itu.
Harusnya dia memang tidak menjalani sebuah hubungan. Hidupnya sudah cukup rumit, meskinya tidak menambah beban dengan mengagumi dan berkomitmen dengan orang lain.
"Ndis?" tanya Surti sembari menepuk pundak Gendis, seketika menyadarkan gadis itu dari lanunannya.
"Bukan, Mbak. Bukan Tuan Ozge. Ya sudah, kamu sudah di tunggu di luar. Pamit ya Mbak. Semoga Mbak Titi, segera ketemu jodoh." Gendis mencium pipi kanan dan kiri Surti.
Damar hanya menjabat tangan Surti. Lalu bersama kakaknya melangkah bersama, meninggalkan tempat pelarian mereka yang pertama.
*******
Menginjakkan kaki di sebuah Apartemen yang lumayan mewah bagi Gendis. Memang masih jauh dari kemewahan Aparement Ozge dan Eser. Tapi baginya ini sudah sangat berlebihan.
Damar terlihat tidak sanggup mengatupkan bibirnya, binar kekaguman dan rasa takjub jelas terlihat di matanya. Seumur hidup, inilah kali pertama dia berada di tempat semewah ini.
Rasa kekaguman Damar semakin menjadi-jadi dan tidak terbendung ketika memasuki room mereka. Perabotan yang ada di sana sungguh modern, lengkap dan mewah.
Wastafel, toilet semua tidak menggunakan kran yang diputar. Hampir seluruh perabotan menggunakan sensor sentuh atau gerak.
"Jika dunia saja senikmat ini, bagaimana di surga ya, Mbak?" tanya Damar dengan kepolosannya.
"Nikmatnya dunia hanya sementara, Mar. Kita nikmati yang di sini, selagi ada. Karena kita tidak pernah tahu, apakah tempat ini adalah tempat pelarian kita yang terakhir atau bukan. Mbak, sama sekali tidak tahu." Gendis menatap Damar dengan Sendu.
"Selama bersama, Mbak Gendis. Di mana pun adalah surga bagi Damar."
Kedua kakak adik itu pun saling berpelukan hangat.
"Jadilah kebanggaan buat Mbak. Apapun yang Mbak lakukan untuk kebaikan Damar. lakukan yang terbaik, angkatlah derajat keluarga kita. Buktikan, Kita bukan keluarga J4l4ng yang menyedihkan," bisik Gendis, sekuat tenaga menahan air matanya.
Tiba-tiba terdengar suara deheman seseorang di dekat mereka. Kedua kakak beradik itu pun segera melepaskan pelukannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 162 Episodes
Comments
???
sabar ndis sabar..
2022-10-20
0
ℤℍ𝔼𝔼💜N⃟ʲᵃᵃ࿐ⁿʲᵘˢ⋆⃝🌈
aq bingung mau mendukung Eser yg licik ata Ozge yg baik😌😌😌
tp biasa yg nyebelin itu malah yg jodoh
2022-09-10
1
ℤℍ𝔼𝔼💜N⃟ʲᵃᵃ࿐ⁿʲᵘˢ⋆⃝🌈
yang mukul,,, Ozge😆😆😆 cocok lah sudah kakak beradik ini🤣🤣
2022-09-10
1