"Salah apa katamu? jelas kamu sangat salah? gara-gara kamu, aku kehilangan Ozge Sevket. Keluar kamu dari tempat ini, atau kami akan membuatmu menyesal karena berani datang bekerja di sini," jawab perempuan bernama Ane itu.
"Bukan saya yang mau, Mbak. Kalau, Mbak tidak terima, silahkan bicara dengan bu Alika. Meskipun kalian semua menertawakan saya, menghina, menuduh dan menyiram saya dengan air selokan sekalipun, Saya tidak peduli. Saya di sini bekerja, kalian pun sama. Yang membedakan Saya dan kalian hanya lama sebentarnya waktu berada di sini. Bukan yang lain," Gendis menjawab dengan tegas. Lalu dia berjalan menuju kamar gantinya.
Gendis berpapasan dengan Alika.
"Kamu kenapa, Ndis? siapa yang melakukan ini?" tanya Alika.
Hal yang dialami Gendis memang pernah terjadi pada beberapa Terapis baru yang langsung melejit di kalangan pelanggan. Baru saja Alika ingin memeberi peringatan, tapi rupanya sudah terlambat.
"Hanya tersiram air, Miss. Tidak masalah. Tidak perlu diperpanjang, saya tidak mau dianggap pengadu. Ini tidak seberapa, Miss. Saya sudah terbiasa dengan cacian," ucap Gendis.
Alika tersenyum, ternyata dia memang tidak salah pilih. Gendis memang pribadi yang kuat.
Setelah berganti baju dan merapikan kembali riasan tipis di wajahnya, Gendis pun memilih menunggu di dalam kamar gantinya saja.
****
Tidak seperti sebelum-sebelumnya, kali ini Ozge seperti tidak percaya diri dengan penampilannya. Berkali-kali dia berkaca, sekedar memastikan penampilannya sudah sempurna.
Dia tidak ingin pijat kali ini, malam ini dia akan memanfaatkan waktu sebaik mungkin agar bisa membuat Gendis tertarik padanya.
Ozge memegangi dadanya yang mendadak berdegup sangat kencang. Baru kali ini dia merasakan perasaan seperti ini.
Mungkin terlalu dini untuk menyimpulkan kalau dirinya sedang jatuh cinta, tapi nyatanya memang itulah yang Ozge rasakan.
Gendis membuka pintu room di mana Ozge berada. Room yang berbeda dengan kemarin, kali ini dia memasuki sebuah ruangan yang lebih mewah dengan fasilitas yang sama seperti ruangan saat dia melayani Eser.
Gadis itu mencoba menenangkan diri dan berpikir positif.
"Selamat malam, Tuan Ozge." Gendis menyapa sembari menundukkan wajahnya.
"Malam, Ndis. Malam ini, aku hanya ingin di pijat pundakku. Tapi sambil duduk saja," pintanya.
"Baik, Tuan."
Gendis berjalan mendekati Ozge, yang duduk di sofa panjang. "Kita mulai sekarang, Tuan."
Ozge melepas kemeja yang melekat di badannya, lalu menggeser tubuhnya hingga membelakangi Gendis.
"Permisi, Tuan." Gadis itu mulai menempelkan jemarinya di pundak Ozge. Memberikan tekanan dengan kuat, melemaskan otot yang memang tersentuh sangat kaku. Padahal baru kemarin malam dipijat.
"Ndis, boleh aku bercerita pada kamu?" tanya Ozge tiba-tiba.
"Silahkan, Tuan." Gendis menjawab dengan formal.
"Kehidupanku terlihat sempurna ya, Ndis. Aku tampan, postur tubuhku sempurna dan berkelimpahan harta. Sempurna bukan?" tanyanya.
Gendis tersenyum. Entah kenapa dia merasakan, Ozge terdengar seperti orang yang sedang butuh pengakuan.
"Ada yang kurang dari diri, Tuan." jawab Gendis dengan hati-hati.
Ozge seketika menoleh pada Gendis. "Apa itu?"
"Teman." Gendis menjawab dengan singkat.
"Sok tahu," tukas Ozge.
"Kalau, Tuan banyak teman. Tentu Tuan tidak sampai mengajak seorang seperti saya bercerita."
"Teman? siapa yang mau berteman dengan aku apa adanya? mereka jelas mendekati aku karena asas manfaat. Kemudahan dalam bisnis atau sekedar ingin ikut menikmati keloyalanku. Pada akhirnya, aku ingin mempunyai teman yang bisa mengingatkan aku jika aku salah."
"Tuan, pura-pura bangkrut saja. Biar tahu mana yang tulus dan mana yang cuma lihat fulus," saran Gendis. Tangannya masih bergerak lincah menekan punggung Ozge.
"Tidak perlu seperti itu juga. Kalau aku pura-pura bangkrut, Eser pasti bahagia."
Gendis tidak berani menanggapi. Mendengar nama Eser saja mampu membuat jantungnya berdebar. Laki-laki itu sungguh membuatnya harus memasang alarm sebagai pengingat tanda bahaya di tubuhnya.
"Kamu tahu, Ndis. Aku ini hanya anak dari selingkuhan papiku. Mamiku tidak lebih baik dari kamu. Bisa dikatakan lebih buruk. Dia pekerja malam yang beruntung dinikahi seorang Sevket." Ozge memutar badan, lalu menyandarkan dirinya di sandaran sofa. Membuat pijatan Gendis terhenti.
"Belum selesai, Tuan."
"Tidak mengapa. Aku hanya sedang ingin mengeluh. Aku manusia biasa, yang sedang bosan terus berpura-pura. Aku sedang tidak baik-baik saja," keluhnya.
Gendis memberikan senyumannya. "Masing-masing dari kita punya cerita, Tuan. Kehidupan yang sempurna itu mungkin hanya sebatas apa penilaian kita. Bagi kami, yang kesulitan ekonomi. Memiliki banyak uang, mungkin adalah kesempurnaan."
"Tapi kalian pasti dikelilingi banyak cinta."
"Cinta? cobalah menjadi miskin. Agar, Tuan bisa merasakan bisa makan dan bertahan hidup jauh lebih penting dari sekedar perhatian yang diatas namakan cinta." pandangan Gendis menerawang jauh.
"Ndis, mau tidak jadi temanku?" Ozge menatap Gendis dengan lembut.
"Saya bisa berteman dengan siapa saja, Tuan."
Ozge pun terlihat sangat senang dan lega, dia ingin memulai hubungan bersama Gendis dengan baik. Dalam hati, dia sangat yakin bahwa gadis yang ada di depannya sekarang adalah jodoh yang dikirim Tuhan untuknya.
Keduanya pun terus bercerita akrab, sungguh malam yang benar-benar hangat. Pembicaraan mereka mengalir begitu saja, sedikit saling membuka cerita sendu mereka masing-masing. Serupa tapi tidak sama. Setidaknya Ozge jauh lebih beruntung soal materi ketimbang Gendis.
Sementara di tempat lain, tepatnya masih di gedung kantor SVK lantai 25. Eser masih berada di sana, tapi kini dia tidak sendiri. Ada seorang perempuan bayaran yang menemaninya.
Perempuan itu tidak sesenang biasanya saat menemani Eser, kali ini dia terlihat sangat ketakutan. Laki-laki itu hanya menyuruhnya menanggalkan semua yang dikenakannya, lalu membiarkan begitu saja. Tidak menyentuh ataupun mengajak bicara.
"Pijat pundakku," perintah Eser dengan suara dinginnya yang khas.
Perempuan bernama Dela itu memberanikan diri untuk mendekatii Esar. Sedikit lega, karena akhirnya kedatangannya dianggap juga.
Baru saja menyentuh pundak, tapi Esar sudah menghempas tangannya.
"Sentuhanmu tidak mantap sama sekali," ucap Esar dengan sinis.
Dela mulai berusaha menggoda Esar dengan cara yang lain. Dia juga tidak ingin menyia-nyia kan kesempatan.
Esar sangat terkenal dengan keloyalannya, jika dia sudah puas dengan servis yang diberikan. Maka dia tidak segan memberikan rupiah dalam jumlah yang fantastis untuk ukuran pekerja seperti Dela.
Aroma alkohol yang keluar dari mulut Esar begitu menyengat di indera penciuman Dela. Tapi memang pria itu cukup kuat, dia masih sangat sadar meski lima botol vodka sudah dia teguk hingga kandas.
Esar pun mulai membuka kemeja dan juga celana, lalu melemparnya sembarangan. Dia menyerang Dela dengan sangat kasar. Tidak ada sentuhan yang lembut. Hingga dari bibir perempuan itu yang keluar hanyalah lenguh kesakitan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 162 Episodes
Comments
kalea rizuky
katanya masih perjaka hadeh lah ini
2024-08-05
0
ainatul hasanah
et et et sudah diaku jodoh saja sama Ozge.
2022-11-16
0
ainatul hasanah
Gendis berdebar denger nama Eser. sama Eserkan Thor?!!
2022-11-16
0