Nyatanya yang dihadapi saat ini, bukanlah mimpi. Gendis memundurkan langkahnya. Kalau seperti ini, sama saja dengan keluar dari mulut buaya, lalu masuk ke mulut singa.
"Gendis?!" Ozge tak kalah terkejut melihat keberadaan Gendis di tempat kakak tirinya itu.
"Tu--Tuan." Gendis menjawab dengan perasaan tidak menentu.
"Kenapa bisa di sini? Hei ... lihat aku? jangan takut. Maaf, kalau kejadian semalam membuatmu takut. Aku hanya menguji kamu. Apakah kamu sama dengan yang lain atau tidak," ucap Ozge, seperti tahu apa yang ada dipikiran Gendis.
Perlahan, Gadis itu memberanikan diri mendongakkan kepalanya. Laki-laki yang di depannya saat ini, seperti orang yang berbeda dengan yang ditemuinya semalam.
Ozge membatalkan niatnya untuk memicarakan masalah pekerjaan dengan Esar.
"Tolong, saya keluar dari sini, Tuan. Tapi jangan bawa saya ke ruangan Tuan. Saya mau pulang. Saya lapar." pinta Gendis, sedikit konyol tapi sangat memelas.
Ozge mengangguk dan langsung mengajak Gendis masuk ke dalam lift. Dia sengaja menjaga jarak dari gadis itu agar Gendis bisa menghilangkan pikiran buruk yang terlanjur melekat untuknya, gara-gara kejadian semalam.
Ozge mengajak Gendis ke kantin yang ada di lantai terbawah gedung perkantoran SVK. Tentu saja keduanya langsung menjadi pusat perhatian, beberapa orang yang ada di sana.
Wajah ayu penuh pesona dan sangat menggoda. Namun tampilan yang sederhana pada diri Gendis, begitu kontras dengan Ozge, yang head to toe melekat barang branded dengan harga yang fantastis bagi kalangan biasa.
Ozge baru pertama ini berjalan di area umum bersama lawan jenis. Tentu saja hal itu menimbulkan bisik-bisik di sana.
Sementara itu, Eser belum menyadari kalau Gendis sudah tidak ada di tempatnya. Dia terlalu fokus dengan pekerjaannya, sampai tidak menyadari kalau tawanannya sudah keluar dari penjara yang sengaja dia buat.
"Kenapa kamu bisa berada di ruangan kakakku?" tanya Ozge, tidak bisa lagi menahan perasaannya.
Tapi rasa lapar membuat Gendis mengacuhkan pertanyaan itu, dan memilih untuk memesan makanan langsung. Sedangkan Ozge, hanya mengambil sebotol air mineral saja.
"Saya boleh makan dulu, Tuan. Otak saya tidak terhubung dengan baik saat lapar. Saya takut apa yang saya ucapkan jadi berbeda dengan apa yang ada di otak saya," pinta Gendis, lumayan panjang.
Ozge mengangguk dan tersenyum. Matanya berbinar, memandangi Gendis. Entah keistimewaan apa yang dimiliki gadis di depannya ini, hingga membuat otaknya terus menanti jam malam tiba lebih cepat daripada biasanya.
Ya, malam ini, Ozge sudah membuat appointment dengan Alika, dia akan menggunakan jasa Gendis sepanjang 6 jam. Hanya sekedar ingin berbicara dan mengenal gadis itu lebih dalam. Tapi sepertinya, keberuntungan sedang ada di pihaknya. Gendis muncul lebih awal di tempat yang sama sekali tidak terduga.
Saat makanan yang di pesan datang, tanpa basa basi, gadis itu langsung memakannya dengan lahap.
"Pelan-pelan, Ndis." Ozge mengingatkan Gendis yang cara makannya seperti sedang diburu hantu.
Gendis hanya mengangguk dan tersenyum.
Tidak butuh lama, Gendis pun menyelesaikan makannya. Gadis itu bersendawa dengan menutup mulutnya, tapi suara itu tetap saja terdengar di telinga Ozge.
Laki-laki itu menggelengkan kepalanya. Pada umumnya, seorang gadis akan menjaga gerak tubuh, tutur kata dan image dirinya saat bersama dirinya. Tapi Gendis, begitu apa adanya.
Ozge mengambil ponselnya, membuka fitur kamera depan. Bukan untuk mengambil foto dirinya, tapi untuk berkaca. Saat ini, dia sedang mempertanyakan ketampanannya. Hingga seorang Gendis sama sekali tidak berniat mengeluarkan pesona di depannya.
"Sekarang ceritakan, kenapa kamu ada di lantai dua lima?" tanya Ozge.
Gendis menarik nafasnya terlebih dahulu, lalu menghembuskan perlahan. Karena yang diucapkan nantinya adalah fiktif belaka. Tentu saja dia tidak akan menjawab dengan jujur, apa jadinya kalau Ozge tahu semalaman dia tidur bersama Eser.
"Saya disuruh bu Alika menemui pak Eser, katanya beliau sakit kepala. Saat saya datang, saya malah disuruh pulang. Karena beliau mau istirahat. Tadinya ada yang mengantar saya ke atas, tapi dia pergi duluan. Jadilah saya terjebak di sana," tutur Gendis begitu meyakinkan.
"Eser tidak membantumu?" tanya Ozge, lagi.
"Tidak, karena beliau langsung istirahat. Untunglah Tuan datang," Gendis langsung menutup mulutnya di ujung kalimat. Teringat sayembara bodoh yang diucapkan tadi.
Dia memandangi Ozge dari atas ke bawah. Lalu menggelengkan kepalanya. Menepuk pipi berkali-kali. 'Tidak-tidak, jangan mimpi, Ndis. Kamu bukan cinderella yang punya sepatu kaca. Jika kamu meninggalkan sepatumu sebelah, yang ada sepatu itu akan dibuang ke tong sampah.' Gendis berbicara dalam hati.
"Ndis ... Ndis?!" Ozge melambaikan telapak tangannya di depan mata Gendis yang terlihat melamun.
"I--Iya, Tuan. Maaf, saya permisi dulu. Terimakasih sudah menolong saya." Gendis buru-buru merogoh tasnya, mencari amplop dan dompet miliknya untuk membayar makanannya.
"Berapa, Bu" tanya Gendis pada ibu penjaga kantin.
Melihat Ozge memberikan isyarat dengan menggelengkan kepalanya, si penjaga kantin pun langsung paham.
"Tidak usah, Bu. Di sini kantin Karyawan, jadi semua sudah menjadi tanggung jawab perusahaan yang bayar." ucap bu Kantin, sama pintar berbohongnya dengan Gendis tadi.
"Tapi saya bukan karyawan di sini, Bu."
"Tidak mengapa, tamu perusahaan pun dapat sesuka hati makan di sini," sahut bu kantin dengan cepat.
Gendis mengangguk dan tanpa melihat langsung melepaskan dompet begitu saja hingga terjatuh, dia mengira dompet itu sudah masuk ke dalam tasnya.
Ozge melihat dompet itu terjatuh, tapi sengaja membiarkannya.
"Tuan, ini uang tip dari Tuan. Ini terlalu banyak. Saya sudah mengambil sebagian. Jadi saya mengembalikan sisanya." Gendis langsung menggenggamkan amplop itu ke tangan Ozge.
"Terimakasih, silahkan bapak datang kembali kalau memang cocok. Tapi sekali lagi, bapak ingin menguji saya, maka saya akan memasukkan bapak ke daftar hitam." Gendis memerikan senyuman terbaiknya, lalu segera berlari kecil menuju lobby untuk keluar dari kantor SKV.
Ozge memandangi Gendis hingga punggung gadis itu tidak lagi terlihat di bola matanya, dia pun segera mengambil dompet milik gadis itu. Lalu membuka isinya.
"abu-abu semua," gumam Ozge, saat melihat deretan uang dua ribuan di sana.
Saat hendak menutup kembali dompet itu, dia melihat kartu tanda mahasiswa univeraitas tempat kakak tirinya mengajar, setelah melihat keterangan fakultasnya, Dia menjadi tidak yakin dengan cerita Gendis tadi.
"Aku harus cari tahu," Ozge melangkahkan kakinya kembali menuju pintu lift yangakan mengantarkannya ke ruangan Eser.
Di dalam ruangan, Eser sudah membuat meja kerjanya berantakan. Sesaat setelah tahu Gendis sudah berhasil keluar dari lantainya, Eser melihat CCTV. Dia semakin kesal setelah tahu siapa yang membantu Gendis ke luar dari tempatnya.
Eser tidak pernah suka dikalahkan oleh Ozge.
Dengan santai dan tanpa rasa bersalah, Ozge memasuki ruangan Eser. "Ada badai rupanya," ucapnya.
"Di mana Gendis?" Eser menatap tajam penuh kebencian pada adik tirinya itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 162 Episodes
Comments
ainatul hasanah
abu-abu juga duit Ezge...
2022-11-16
0
???
isi dompetnya sm dgn isi dompet ku😳 gpp abu-abu drpd zonk 😅
2022-10-20
0
AN1R
isinya kaya dompet anak saya😄
2022-10-12
0