Gendis merasakan beban yang sangat berat di bagian perut dan pahanya. Ingin mengeliat, tapi tubuh serasa dikunci. Bokongnya merasakan sesuatu yang dingin dan lembut menempel di sana. Perlahan dia pun membuka kedua matanya.
Gadis itu terperanjat. Lalu menarik selimut lebih tinggi, agar mampu menutupi tubuhnya yang kini tidak berbaju. Hanya ada segitiga dan kacamata merah polos yang menempel di sana.
Dia menggelengkan kepalanya dengan kuat. Kecewa pada diri sendiri, merasa bodoh dan sangat murahan. Hal itulah yang kini dirasakan. Dia bergeming, badannya mendadak terasa tidak bertulang dan tidak ada kekuatan untuk bergerak.
Bola mata kecoklatan Gendis menatap tajam pria di sampingnya. Bagaimana bisa, seorang Dosen yang terkenal dingin dan angkuh bisa melakukan hal sekotor ini pada mahasiswinya.
Gendis menyingkirkan tangan kekar berbulu halus dari atas perutnya. Lalu menarik kasar pahanya yang dikungkung kaki telanjang milik Eser. Dia beringsut turun dari ranjang.
Gadis itu memunguti bajunya yang berserakan di lantai, lalu segera memakainya. Gendis berhenti sejenak, dia tidak melihat darah di area int*imnya. Dia juga tidak merasakan nyeri, perih ataupun keluhan lain yang pernah dibacanya di artikel tentang malam pertama.
Otak pintar Gendis mulai berpikir. Mencoba mengingat kembali semua yang terjadi semalam. Sejauh yang dia ingat, seharusnya tidak ada adegan dia membuka baju kimononya.
Diliriknya Jam dinding yang sudah menunjukkan pukul lima pagi. Gendis harus pulang, karena Damar pasti khawatir kalau sampai tahu dia tidak pulang semalaman.
"Sudah bangun, Ndis ...." Suara berat khas bangun tidur terdengar dan mengagetkan Gendis.
"Apa yang sudah Bapak lakukan semalam pada tubuh saya?" tanpa menunggu berlama-lama, Gendis mencari jawaban langsung untuk meyakinkan diri. Bahwa memang tidak terjadi apa-apa semalam.
Eser turun dari ranjang tanpa rasa malu dan risih. Padahal, tidak ada sehelai benang pun yang menempel di tubuhnya. Bahkan, bagian menggantung yang ada di sela-sela kedua paha itu dibiarkan terombang ambing begitu saja saat dia berjalan mendekati Gendis.
Gadis itu seketika menutup matanya dengan satu telapak tangan. "Pak ... Bisakan, Bapak memakai celana Bapak dulu? Saya bisa melaporkan ke KPAI karena Bapak sudah melecehkan saya."
Suara tawa Eser seketika meledak. "Kamu sudah bukan anak-anak lagi, Ndis. Kamu bekerja di tempat seperti ini juga. Siapa yang percaya kamu dilecehkan." Dia mengambil ponselnya, lalu membuka galeri foto.
"Pegang ini dan buka matamu. Aku mau ke kamar mandi dulu," Eser menggenggamkan ponsel itu di tangan Gendis, lalu buru-buru pergi ke kamar mandi, naganya sudah mengeliat bangun begitu dia menatap intens gadis itu.
Gendis menurunkan telapak tangannya, membuka mata perlahan, tidak ada Eser di sekitarnya. Dia pun mulai melihat layar ponsel yang diberikan pria itu untuknya.
Mulutnya kembali ternganga, wajah memucat dan tubuh semakin gemetaran. Gendis mencoba menghapus, tapi tidak bisa. Karena selalu diminta memasukkan kata sandi untuk mengkonfirmasi penghapusan data.
Air mata yang jarang keluar pun, mendadak ingin berjatuhan. Tapi Gendis buru-buru menyekanya. 'Jangan sekarang, aku tidak boleh lemah. Jangan menangis di depan pria atau dia akan lebih menginjakmu,' batin Gendis. Memberikan semangat dan kekuatan pada dirinya sendiri.
Tanpa berfikir panjang Gendis membanting benda pipih seharga puluhan juta itu ke lantai. Tenaga Gendis yang kuat, tidak membuat ponsel itu hancur berkeping-keping. Hanya layarnya saja yang retak parah.
Eser yang sudah menduga Gendis akan melakukannya, hanya tersenyum sinis di kamar mandi. Suara bantingan ponsel memang terdengar di telinganya. Sedikit mengganggu klima*ks yang baru saja akan dinikmati. Dengan terpaksa, Pria itu kembali mengulang nikmat yang tertunda. Tangan kanannya kembali bergerak naik turun dengan lincah.
Gendis terus mengumpat, sudah dibanting dua kali, ponsel itu masih bisa berfungsi dengan sempurna. Hanya layarnya saja yang membuat tampilannya mengganggu penglihatan.
'Berpikir cerdas, Ndis. Jangan lemah! Dari matamu, yang keluar hanya air mata, bukan berlian yang bisa menjamin hidupmu dan Damar menjadi lebih baik.' Lagi-lagi Gendis menyemangati dirinya sendiri.
Gadis itu mondar mandir, menunggu Eser yang baru selesai memuntahkan lahar hangat berwarna putih susu di lantai kamar mandi.
Gendis menatap pintu kamar mandi dengan tajam, tidak sabar dengan penjelasan yang akan diberikan oleh Eser padanya. Tapi satu keyakinan kini tersemat di hatinya. Tadi malam memang tidak terjadi apa-apa. Keperawanannya masih utuh terjaga. Gendis sangat yakin akan hal itu.
Eser keluar dengan menggunakan bathrobe berwarna coklat tua. Rambutnya terlihat basah, wajah terlihat segar, senyum sinis menyungging dan berjalan santai mengambil dua botol air mineral di lemari pendingin.
"Minumlah, sebelum sikat gigi sangat bagus meminum air putih terlebih dahulu." Eser menyodorkan satu botol untuk Gendis.
Meski bibir gadis itu mencebik, dia tetap menerimanya dan meneguk isi botol itu hingga habis. Gendis memang haus, dia harus membasahi tenggorokan agar bisa mengeluarkan suara yang lantang pada pria licik di depannya.
"Saya harus segera pulang. Jadi katakan saja apa maksud Anda." Gendis menatap Eser dengan tajam.
Eser melirik ponselnya yang masih tergeletak di lantai. "Tahu berapa harga ponsel itu? Bahkan gajimu di sini satu tahun tidak akan sanggup menggantikannya."
"Saya tidak tahu dan saya tidak berniat menggantikannya. Bukan Anda yang sedang dirugikan saat ini. Tapi saya." Gendis menunjuk dirinya sendiri dengan telapak tangan ditepuk-tepukkan ke dada.
Eser mengernyitkan keningnya. "Rugi? Hei! Ndis, tanya terapis-terapis lain di sini. Menyentuh tubuhku ibarat puncak karir bagi mereka," ucapnya, dengan angkuh.
"Sayangnya saya, Gendis. Bukan mereka!" tegas gadis itu.
Eser kembali tersenyum licik, sepagi ini berdebat dengan Gendis membuat harinya akan lebih bersemangaat. Apalagi gadis itu memang sudah lama menyita perhatiannya di kampus. Penampilan Gendis memang lugu, bahkan cenderung biasa. Tapi kemampuan akademik yang bisa dikatakan istimewa, parasnya cantik menggoda, membuat Eser berniat merekrut gadis itu untuk bekerja di perusahaannya saat lulus nanti.
"Saat kamu bekerja di sini, jangan salahkan pikiran orang, kalau mereka menganggap kamu sama dengan terapis yang lain."
"Saya tidak peduli dengan tanggapan orang. Saya melakukan apapun, tidak untuk mendapat pujian. Saya di sini, bukan hanya untuk sekedar bertahan hidup." Gendis berdiri, berniat keluar karena merasa sudah banyak membuang waktu sia-sia.
"Saat ini aku tidak tahu, aku menginginkan apa darimu. Tapi ingat! Aku menyimpan foto-foto mesra kita. Satu foto tersebar, pasti akan sangat menghebohkan. Kamu ingin headnews seperti apa? Seorang mahasiswi merelakan tubuhnya demi memperoleh nilai sempurna. Atau Gendis, Massage girl plus-plus seharga dua juta. Ckkkck ... murah sekali." Eser menahan tangan Gendis. Merapatkan tubuh keduanya dengan tatapan menggoda.
"Bapak, ternyata memang tidak waras." Gendis menghempaskan tangan pria itu. Keluar ruangan menuju kamar gantinya dengan sangat emosi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 162 Episodes
Comments
???
setahu saya semua tokoh-tokoh di novel nya othor kebal ancaman, gak gampang ditindas
2022-10-20
0
ℤℍ𝔼𝔼💜N⃟ʲᵃᵃ࿐ⁿʲᵘˢ⋆⃝🌈
pak dos,, klo naksir bilang aja napa jd ngancem2,,, g dpt hatinya malah Gendis benci lah sma pak dos😅😅😅
2022-09-09
2
ℤℍ𝔼𝔼💜N⃟ʲᵃᵃ࿐ⁿʲᵘˢ⋆⃝🌈
jahat banget ,,, awas aja etr jatuh cinta 😆😆😆
2022-09-09
2