"Mbak Titi, bangun mbak?!" Gendis menepuk-nepuk pipi Surti.
Ozge menyuruh orang-orang untuk bubar, agar Surti bisa bernapas dengan lega dan segera siuman. Mereka pun menurut saja, tatapan dingin dan tajam milik Ozge, membuat mereka bergetar. Meski dengan ketampanan tak terelakkan, tapi matanya serasa ingin membunuh saat memberi perintah.
Surti yang berbaring di sofa panjang dari kulit oscar murahan yang sudah bergaris-garis karena retakan, perlahan membuka matanya kembali.
'Astaga, bukan malaikat ternyata,' batinnya.
Surti lagi-lagi memilih kembali pingsan. Tapi kali ini, dia hanya pura-pura, berharap ada nafas buatan dari Ozge untuknya.
"Mbak Ti, ayo bangun! Di mana Damar?" kali ini Gendis benar-benar cemas.
Ozge memberi isyarat pada Gendis untuk diam. Lalu dia membungkukkan badannya mendekati Surti. Seketika tubuh perempuan itu mengejang, wangi Ozge benar-benar mahal.
Reflek Surti merapatkan kedua matanya, hingga terlihat sedikit kerutan di dahi. Jemari tangannya kini mencengkram tepian baju atasannya. Bibir merah merekah karena gincu yang dikenakan perempuan pesolek itu pun reflek maju satu senti.
Seketika Ozge memundurkan wajahnya dan menyambar botol air mineral yang ada di atas meja. Menuangkan sedikit di tangan, lalu juga memasukkan air ke dalam mulut, layaknya orang yang berkemur. Pipi ozge mengembung menahan air agar tidak tertelan. Lalu dengan cepat, Ozge menyemburkan air dimulutnya ke wajah Surti dan air di tangannya, dia percikkan ke bagian dada perempuan yang masih tampak menor itu.
Surti langsung terperanjat dan duduk terengah-engah karena semburan air itu ada yang tepat masuk ke dalam hidung. Dadanya yang berlimpah naik turun seiring pernapasannya yang tidak teratur. Bayangan dicium salah satu Sevket seketika buyar karena air yang mengenai wajahnya. Dia pun mendengus, mencebik lalu mendumal pelan tanpa suara. Hanya mulutnya yang sedikit komat kamit.
"Siapa yang membawa Damar, Mbak?" Gendis langsung bertanya begitu melihat Surti sudah benar-benar sadar.
Perempuan itu menurunkan kakinya dari atas sofa dengan perlahan. Lalu berdiri perlahan dengan anggun, seolah tidak peduli dengan Gendis yang sedang menunggu jawabannya.
"Bisakah Bapak membangunkan orang pingsan dengan cara yang lebih layak? lihat baju saya basah, dan air yang bapak semburkan itu justru membuat saya jatuh cinta sama bapak." Surti sengaja menempelkan dua bagian kenyalnya di lengan Ozge.
Laki-laki itu bergidik dan segera bergeser, beralih posisi di belakang Gendis sembari mengusap lengannya.
"Dada ini memang bisa membatalkan wudhlu, tapi ini bukan najis," dengus Surti, merasa ditolak mentah-mentah.
"Mbak!! Mana Damar?" Gendis kembali bertanya.
Siapa yang membawa Damar? sampai, Mbak Titi pingsan begini." tambahnya, jelas sekali sedang tidak sabar.
Surti menunduk. Sebenarnya dia bingung harus memulai bercerita dari mana. Mana ada Sevket dua di depannya, padahal tadi juga ada Sevket 1 yang datang bersama Darto.
"Mbak?!" ucap Gendis, antara bertanya dan sedikit membentak.
"Damar, di bawa bapakmu dan orang yang katanya meminjamkan uang ke bapakmu. Sudah waktunya membayar, tapi Darto tidak punya uang. Jelas lah tidak punya, mana ada orang bisa bayar hutang dengan judi. Damar dijadikan jaminan. Entah dibawa ke mana." Akhirnya Surti bercerita dengan lancar.
"Kenapa Mbak tidak menghubungi Gendis? Kenapa Mbak biarkan mereka membawa Damar?" mata Gendis mulai berkaca-kaca.
"Mbak tadi sudah menghalangi, tapi ada preman dua, badannya sangat besar. Kali ini dadaku tidak mempan membuat laki-laki tergoda, mereka tetep mendorong aku dengan kasar. Ramai sekali tadi, tetangga juga sampai berdatangan. Mendadak dan tidak terkendali. Bagaimana bisa kepikiran untuk telepon," kilah Surti.
Ozge hanya diam, dia tidak paham sama sekali kehidupan Gendis sebelumnya. Ingin membantu, tapi dia pun harus menunggu langkah Gendis.
"Mbak, bisakah Gendis minta tolong ditemani ke rumah Bapak?" tanya Gendis, penuh harap.
"Sama Aku saja, kamu tunjukkan saja jalannya. Kamu bisa mengandalkanku, Ndis. Apapun urusanmu akan menjadi urusanku. Siapa pun yang mencari masalah denganmu, berarti dia sedang menantangku. Kita akan membereskannya sama-sama." ozge merengkuh pundak Gendis, seolah tahu kegalauan kekasih hatinya.
Surti menutup mulutnya yang menganga dengan telapak tangan. Mendengar ucapan Ozge pada Gendis. Membuatnya semakin yakin, kalau hubungan kedua orang berbeda status sosial itu bukan sekedar pemijat dan pelanggan.
Mengabaikan Surti yang masih terbengong-bengong. Gendis keluar rumah bersama Ozge untuk mendatangi kembali rumah neraka.
Sepanjang perjalanan, tidak ada kata yang terucap selain petunjuk arah yang diberikan oleh Gendis.
Ozge menghentikan kendaraan tepat di samping gang kecil yang tidak bisa dimasuki oleh mobil.
"Terimakasih, Beg. Pulanglah, Saya bisa mengatasi sendiri." Gendis langsung turun dari mobil.
Ozge mematikan mobilnya, lalu segera turun dari mobil, mengejar Gendis yang sudah berjalan dengan terburu-buru.
"Jangan sendirian!" Ozge langsung menggenggam tangan Gendis dengan erat.
Setelah melewati beberapa gang, akhirnya sampailah Gendis di depan rumah neraka yang nampak sepi. Sudah lebih dari tengah malam, rumah tetangga pun sepi bak tidak berpenghuni. Sebagian besar lampu tengah rumah mereka sudah tidak nyala.
Perlahan, Gendis membuka pintu rumahnya. Tidak terkunci seperti biasa, dia segera menuju kamar Damar tanpa melepas genggaman tangan Ozge.
Mereka tidak menemukan Damar di sana. Gendis, segera menuju kamar satunya lagi, kamar milik bapak dan ibu tirinya. Memang hanya dua kamar yang ada di rumah itu. Di sana juga tidak ada siapa pun.
Gendis melepas genggaman tangan Ozge. Dia terus berlarian dari satu ruangan ke ruangan lain. Memang tidak ada siapapun di sana.
Sedikit lelah, Gendis pun menyerah. Dia menjatuhkan dirinya di lantai yang tersusun dari keramik seadanya.
"Apa mau, Bapak? kenapa harus Damar? rusak saja masa depan Gendis, Jangan Damar!" Gendis merutuki Darto yang bahkan tidak ada di depannya.
"Tuhan, selama ini aku tidak pernah mengeluh. Aku terima apapun jalan yang engkau tetapkan. Aku jalani meski berat, tapi tidak bisakah Engkau sedikit adil padaku. Jika kebahagiaan dan kemudahaan itu memang tidak ada untukku, aku ikhlas. Tapi jangan turunkan jalan hidup kami yang berat ini pada Damar." Gendis memejamkan matanya, menyatukan ke dua tangan dalam genggaman dan berdoa dengan begitu khidmat.
Hati Ozge serasa teriris mendengar ucapan Gendis. Entah beban apa yang selama ini ada pada gadis yang berhasil membuatnya terpesona pada pandangan pertama itu.
"Tuhan, kuasa seperti apa yang sebenarnya ingin Engkau tunjukkan. Jangan mengulur waktu lagi. Tunjukkan sekarang! mumpung aku belum terlena dengan kemudahan dunia. Berikan saja padaku, semua ujian yang ingin Engkau timpakan pada keluargaku. Tidakkah cukup Engkau menggariskanku menjadi anak seorang j4l4ng?"
Ozge merasa tertampar, hatinya berdenyut saat mendengar kata j4l4ng. Kata-kata itu, sering dia dengar dari mulut Sevket dan juga Eser, saat mereka sedang menghina dan memarahinya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 162 Episodes
Comments
ainatul hasanah
Esar kerjasama sama bapaknya Gendis ?!! what the....
2022-11-16
0
ainatul hasanah
Surti...Surti.... dasar bisa saja
2022-11-16
0
???
Surti ngarep ya😂 inget loh jodoh nya Surti itu si Tejo 😅
2022-10-20
0