"Iya, Tuan." Gendis menjawab dengan lembut.
"Bisa tidak malam ini, manggilnya jangan Tuan?!" pinta Ozge, tatapan matanya semakin sayu karena nafsoe.
"Terus manggilnya apa?" tanya Gendis dengan polosnya.
"Bebegim."
"Bebegim? apa itu?" tanya Gendis, karena benar-benar tidak paham.
"Itu panggilan pertemanan biasa," Ozge berbohong, karena arti bebegim sebenarnya adalah cintaku.
"Bebegim ... Hai bebegim ... Hai gim ... Hai Beb ... Hai bebeg ... terdengar aneh." gumam Gendis, mencoba melafalkan agar tidak belibet di lidahnya.
Ozge tergelak melihat wajah heran Gendis yang menggemaskan. Sepertinya saat ini memang waktu yang tepat untuk menagih janji Gendis yang tidak sengaja. Dia tidak mau menyia-nyiakan kesempatan.
"Ndis, jika ternyata aku yang menemukan dompet kamu, apa yang akan kamu lakukan?"
Gendis tidak langsung menjawab, dalam hati berharap jangan sampai. Karena tidak ada dua kali kebetulan. Ingkar janji sekali mungkin tidak masalah, tapi kalau sampai dua kali, itu akan menjadi masalah.
"Saya cukup bilang terimakasih." Gendis menjawab enteng.
"Bagaimana dengan janji kamu?"
"Janji?" Gendis pura-pura lupa.
"Jika yang menemukan laki-laki akan dijadikan kekasih."
"Saya tidak akan mengingkari janji yang sudah saya ucapkan, tapi laki-laki itu bebas menolak," ucap Gendias dengan yakin.
Senyum pun mengembang di bibir Ozge. "Baiklah, kamu ikut aku sekarang."
Laki-laki itu berdiri, menghempas pasir yang menempel di celananya lalu menarik tangan Gendis.
"Clau ... Bay ... aku dan Gendis balik dulu. Kalian tidak asik. Ngajak pergi bareng. Cuman suruh denger kalian ceplak cepluk," pamit Ozge.
"Ndis, kamu tidak mengapa pulang sama Ozge?" tanya Bayu, pura-pura tidak enak.
"Lebih tidak enak, kalau lama-lama di sini," sahut Gendis sembari melangkah meninggalkan Claudia dan bayu yang masih anteng duduk.
Ozge melebarkan langkahnya agar posisinya sejajar dengan Gendis.
"Bebeg, nganter saya pulang kan?" Gendis berhenti tepat di samping mobil Ozge.
"Bebegim, Ndis?!" protes Osge.
"Terlalu panjang ... Lebih akrab dan manis kalau bebeg saja. Yang penting bebeg pakai G, bukan pakai K." Gendis semakin berani mengajak Ozge becanda.
"Jangan sampai bebeg pakai K, nanti aku jawabnya kwek kwek kwek ...." Ozge menirukan suara bebek.
Keduanya sama-sama terkekeh. Entah bagaimana caranya, keakraban Ozge dan Gendis menjadi sangat mengalir seperti sudah kenal lama.
Ozge mengendarai mobil menuju apartemen miliknya, Gendis tentu saja bingung. Karena menyangka dia akan diantar pulang.
"Beg, kita mau ke mana sih? ini bukan jalan ke kontrakanku."
"Kita ke apartemen sebentar, mengambil milikmu yang ada di aku. Malam ini kita akan mengukir sejarah." Ozge meboleh sebentar sembari memberikan tatapan nakal pada Gendis.
"Jangan macam-macam. Meskipun sekarang kita dekat, bukan berarti, Saya bisa diperlakukan sembarangan." Gendis mulai memasang alarm untuk hati-hati.
"Percaya sama aku, Ndis. Please ...." Ozge melempar senyumnya sekilas, lalu kembali fokus pada jalanan di depannya.
Setelah menempuh perjalanan kurang lebih 30 menit. Ozge menghemtikan mobilnya di lobby apartemen mewah.
Hunian apartemen yang benar-benar exclusive, untuk memasuki lobby saja harus menunjukkan kartu pass kepemilikan unit di sana.
Di saat yang bersamaan, mobil milik Eser juga berhenti tepat di belakang mobil Ozge.
Eser tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya, ketika melihat Gendis turun dari mobil Ozge. Padahal Eser sendiri juga tidak sendiri, Eser bersama dengan Jane. Gadis itu sudah sedikit sempoyongan, karena terlalu banyak minum tadi.
Gendis yang mengetahui keberadaan Eser, berusaha untuk cuek. Pura-pura tidak mengenal. Dia pun berjalan mengikuti Ozge yang terlihat buru-buru, begitu mengetahui kedatangannya bersamaan dengan Eser.
Gadis itu mengira, kalau Eser dan Ozge tinggal di dalam satu apartemen. Makanya Gendis memilih untuk berlindung di belakang Ozge.
Mereka menaiki lift yang sama. Aroma permusuan jelas nampak di mata kakak beradik tiri itu. Gendis menutup hidungnya, karena bau alkhohol merebak cukup kuat dari mulut Jane yang meracau tidak jelas dengan suara pelan.
Ternyata dugaan Gendis, salah. Ozge dan Eser tinggal di lantai dan room yang berbeda. Sang adik berada di satu lantai lebih tinggi daripada kakaknya.
Eser membiarkan Jane yang hampir menabrak lemari pajangan begitu memasuki apartemen miliknya. Dia langsung membuka lemari pendingin dan menuangkan segelas air dingin ke dalam gelas.
Bukan untuk Jane, tapi Eser mengambil untuk dirinya sendiri. Dia meneguknya hingga habis.
Eser membuka ponselnya, memandangi kembali fotonya di atas ranjang bersama Gendis. Besok adalah hari penentuan, gadis itu akan menerima penawarannya atau memilih fotonya akan menyebar ke media.
Mengetahui Gendis semakin dekat dengan adik tirinya, semakin membuat Eser berani nekat dan melakukan apa saja. Dia bertekad untuk memiliki Gendis. Kali ini, dia harus menang dari Ozge.
Jane dengan sempoyongan mendekati Eser. Setelah jarak keduanya hanya menyisakan setengah langkah, tangan perempuan itu sudah mulai bergerak nakal ingin meraih sesuatu yang tersembunyi di balik celana chinos Eser.
Tapi dengan cepat, Eser menggeser tubuhnya menjauhi Jane. Dia tidak mau bertindak bodoh. Melakukan hubungan badan dengan Jane, jelas akan membuatnya menyerahkan diri pada perjodohan gila yang disiapkan orangtuanya.
"Tidurlah! Jangan macam-macam, atau aku akan melemparkanmu ke luar," ancam Eser, dengan wajah dan suara yang sama dinginnya.
Eser memilih mencari udara segar di balkon apartemennya. Dari sana dia bisa melihat room adik tirinya dengan jelas. Meski harus sedikit mendongakkan kepala.
Entah kebetulan atau memang disengaja oleh Ozge. Kini dia juga sedang berdua bersama Gendis di balkon.
"Beg ... ini sudah malam. Sebenarnya, Bebeg mau ngapain?" selidik Gendis sedikit curiga.
Ozge merogoh kantong celana belakangnya. Sesaat setelah masuk apartemen tadi, dia langsung mengambil dompet Gendis yang tersimpan rapi di laci nakasnya.
Mata Gendis seketika berakomodasi maksimal saat melihat dompet yang ada di tangan Ozge. "Tidak mungkin," gumamnya.
"Bagaimana?" Ozge mengulurkan dompet itu pada Gendis.
Gadis itu menyambar dengan cepat dompetnya. Tapi dia tidak berniat untuk membuka dan mengecek isinya. Tentu saja dia yakin, Ozge tidakbakan mengambil apapun dari sana.
"Terimakasih," ucap Gendis, buru-buru.
"Hanya terimakasih?" tanya Ozge.
Gendis berpikir sejenak. Dia tidak mungkin memberikan uang pada seorang Ozge, bahkan isi dompetnya sekarang mungkin tidak cukup untuk membayar ongkos valey di apartemen ini.
Sebuah ide, terlintas begitu saja di kepalanya. "Saya akan memijat gratis, dua jam. Bagaimana?" tanyanya.
Ozge menggeleng kuat. "Kamu tidak akan mengingkari janji, kecuali orang itu menolaknya bukan?"
Pertanyaan Ozge, sungguh membuat Gendis merinding. Kenapa dua janji konyol yang diucapkan tanpa rencana dan tanpa berpikir panjang, jatuhnya malah pada satu orang yang sama.
Kalau saja orang itu bukan seorang Ozge Sevket, Gendis akan menganggap bahwa ini adalah restu alam yang menandakan laki-laki ini adalah jodohnya.
"Ndis ...." Ozge meraih satu tangan gadis di depannya itu.
Alam sadar Gendis, memberi signal agar dirinya segera menarik tangannya itu. Tapi, dia seperti tidak mempunyai daya dan tenaga untuk menggerakkan anggota tubuhnya sendiri. Tulangnya seketika melayang.
Ozge mendekatkan tubuh dan wajahnya pada Gendis. Hidung keduanya kini tak berjarak, begitu juga dengan dada keduanya. Satu tangan Ozge, kini menahan tengkuk leher perempuan itu.
"Ndis, aku ...."
Dari bawah, mata Eser tidak berkedip memandangi mereka. Rahangnya mengeras. Beberapa rencana, kini semakin tersusun matang di otaknya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 162 Episodes
Comments
Crystal
Ga sekalian bebek, Ndis?? 😂😂
2022-11-21
0
Me ☺
bebeg.. susah banget diucapin nya, artinya apa thor?
2022-10-20
0
Rissa Audy
jadi pengin makan rujak🥰
2022-09-23
0