Gendis sudah memakai baju pemberian Surti kembali. Kini dia hanya menunggu kemunculan wanita menor itu.
"Ngapaian saja? lembur?" tanya Surti yang tiba-tiba berada di belakang Gendis.
"Ketiduran, Mbak. Sumpah demi Allah, Gendis tidak aneh-aneh." Gadis itu terlihat sangat salah tingkah.
"Mau aneh-aneh juga tidak masalah, menyentuh Eser Sevket dan Ozge Sevket adalah impian para terapis. Kamu beruntung di hari pertama malah langsung bisa menyentuh keduanya. Berapa yang mereka kasih?" selidik Surti.
"Mereka tidak ngasih apa-apa, Mbak," jawab Gendis dengan jujur.
"Astaga! Ndis, kamu ini be9o apa polos? kamu pikir kenapa terapis-terapis ingin memijat mereka? tentu saja karena tips nya besar. Apalagi Ozge itu, dia tidak macem-macem. Cuman butuh kepiawaian tangan dan mulut. Milikmu tetap utuh, tapi kalau dia puas, tipsnya buat satu bulan cicilan mobilku ini," cerocos Surti, sedikit merutuki kebodohan Gendis.
Gendis mengernyitkan keningnya, masih tidak paham dengan apa yang dibicarakan oleh Surti. "Sudahlah, Mbak. Bukan rejeki, kita pulang. Damar harus sekolah, Gendis juga harus ke kampus. Mau urus cuti kuliah dulu." Gendis menarik tangan Surti dari kamar gantinya.
Melewati meja resepsionis, yang pastinya sudah berganti shift, langkah Surti dan Gendis dihentikan oleh perempuan muda yang berjaga di sana.
"Gendis, ya?" tanya perempuan bernama Ninda itu.
"Iya, Mbak."
"Ini ada titipan," Ninda memberikan dua amplop tebal berwarna coklat pada Gendis.
Gadis itu ragu-ragu untuk menerima, tapi tidak dengan Surti. Dia menyambar begitu saja dari tangan Ninda.
"Jangan lupa bagi-bagi rejeki ya, Ndis." Ninda senyum-senyum ke arah Gendis.
Surti mengintip isi amplopnya, lalu tersenyum tipis, meski wajahnya tidak bisa menyembunyikan raut bahagia yang teramat sangat. Dia mengambil tiga lembar seratus ribuan dari sana, lalu memberikannya pada Ninda tanpa mengucap sepatah kata pun.
"Terimakasih, ya. Ndis. Sering-sering begini." Ninda langsung melipat dan memasukkan uang itu ke kantong bajunya.
"Yang ngasi aku, Nin. Bukan Gendis," sahut Surti, yang merasa dicampakkan begitu saja oleh Ninda.
"Tapi itu uangnya Gendis, Ti. Kamu sudah kayak mami-mami saja," dengus Nindi.
"Saya pulang dulu, kak," pamit Gendis, menghentikan perdebatan tidak penting antara Surti dan Nindi.
Nindi mengangguk dan tersenyum. 'boleh juga anak baru itu, pakai susuk di mana kira-kira,' batinnya dengan pikiran negatif.
******
Sesampainya di rumah, Damar sudah bersiap untuk ke sekolah. Karena lokasi kontrakan Surti tidak terlalu jauh dari rumah neraka mereka. Damar maupun Gendis tidak akan kesulitan untuk mengetahui angkot mana yang bisa digunakan untuk mengantar ke tempat yang mereka tuju.
Surti memberikan dua lembar pecahan uang sepuluh ribuan pada Damar.
"Ini terlalu banyak, Mbak. segini cukup." Damar mengembalikan satu lembar pada Surti.
"Kalau dikasih, langsung bilang terimakasih. Jangan ngucapin yang lain. Jangan sombong, cukupmu pasti cuman buat bayar angkot saja. Sesekali jajan, biar kamu tau rasanya cilok dan siomay itu bikin nagih. Kalau kamu merasa lebih, ya disimpen," nasehat Surti dengan gayanya yang ceplas ceplos dan logat jawa timuran yang khas.
Tidak ingin mendengar ocehan lebih lama lagi, Damar pun langsung berpamitan pada Surti dan Gendis.
Baru saja, Gendis melangkahkan kaki ke kamar mandi, Surti malah menahan lengannya.
"Ini uangmu, simpen baik-baik." Surti memberikan kedua amplop tadi pada Gendis.
"Mbak saja yang simpan. Memang berapa, Mbak? banyak banget ya?" tanya Gendis dengan polosnya.
Surti mengeluarkan isi dari kedua amplop tersebut. Ternyata di masing-masing amplop, ada kertasnya. Ada nomer ponsel yang tertulis di sana, dengan pesan singkat di bawahnya 'Save.'
"Jumlahnya sama, Ndis. Segepok semua. Rupanya mereka puas sekali sama pijatanmu. Ini tapi nomernya tidak ada namanya lho, Ndis. Jadi mana yang nomernya Eser, mana yang Ozge, kita tidak tahu." Wajah Surti terlihat sangat bingung.
"Sudah, Mbak. Tidak usah dipikirin. Wajarnya, memang orang-orang kaya kasih tipnya berapa?" tanya Gendis, akirnya memilih untuk menunda sebentar mandinya.
"Setahuku, tidak sebanyak ini. Jujur sama Mbak, Kamu ngapain mereka?" desak Surti, tatapannya seperti seorang penyelidik.
"Mbak Surti?! Gendis, hanya memijat mereka seperti normalnya tukang pijat lain. Tidak lebih dan tidak kurang. Kalau memang itu kebanyakan, nanti Gendis kembalikan saja. Itu kan ada nomer teleponnya, nanti biar Gendis hubungi."
"Sayang, Ndis. Jangan dikembalikan. Yang penting kamu tidak minta dan ini halal. Simpan saja." Surti menyodorkan uang itu.
Gendis berpikir sejenak, menimbang-nimbang apa yang akan dilakukan dengan uang itu. Dia mengambil uang itu dari tangan Surti, lalu mengambil masing-masing beberapa lembar. Tidak lupa menghitung juga bagian yang tadi di ambil untuk Nindi.
"Ini, Mbak Surti, pegang saja. Buat bayar kontrakan. Yang ini, Gendis kembalikan. Biar kesannya, Gendis ini tidak sembarangan. Tapi kalau mereka memaksa, apa boleh buat. Kita terima dengan senang hati saja." Gendis memberikan uang yang diambilnya pada Surti. Lalu memasukkan lagi yang lain ke masing-masing amplop.
"Jangan, Ndis. Ini uang hasil kerjamu pertama." Surti pura-pura tidak enak dan menolak.
"Sudah, Mbak. Tidak perlu sok nggak butuh gitu. Gendis, sudah terimakasih sekali boleh tinggal di sini sementara. Nanti, kalau kerjaan sudah mapan. Gendis pindah, kalau perlu langsung beli rumah."
"Aku tidak tahu, doaku akan dikabulkan apa tidak. Tapi Mbak, doakan apa keinginanmu dan Damar bisa tercapai." Surti mengatakan dengan raut wajah serius.
Gendis membalasnya dengan sebuah senyuman, lalu langsung berjalan ke kamar mandi, tetap dengan membawa amplop coklat tadi.
Seusai mandi dan bersiap-siap, dia langsung berangkat menuju kampusnya. Sedangkan Surti langsung kembali tidur. Jam kerja di malam hari, membuatnya harus mengisi daya di siang hari.
Dengan berbagai pertimbangan, setelah berdiskusi dengan beberapa dosen. Gendis akhirnya tidak jadi mengambil cuti. Karena sebenarnya, dia hanya sedang bingung menentukan judul skripsi yang tepat. Akan sangat disayangkan memang, kalau cuti disaat sudah sampai di tahap skripsi.
Gendis pun meninggalkan kampus dengan perasaan lega. Dia menghentikan langkah kakinya di halte tak jauh gedung kampus.
Tiba-tiba mobil Tesla hitam metalik berhenti tepat di depannya, driver turun dari sana dan berjalan menghampirinya.
"Silahkan naik, Nyonya. Tuan saya, ingin berbicara dengan Nyonya, " ucap driver pada Gendis.
Gadis itu menatap driver dengan pandangan penuh curiga. Badan laki-laki itu begitu tegap, warna kulitnya sawo matang, dan berbaju safari dengan sepatu hitam mengkilat.
"Maaf, saya tidak bisa. Saya menunggu bus saja," tolak Gendis dengan sopan.
"Mohon, jangan membuat saya dimarahi,Nyonya," ucap Driver itu, lagi.
"Memang siapa atasan, Bapak?" tanya Gendis dengan ketus.
Driver menoleh ke arah mobil, bersamaan dengan itu kaca pintu mobil terbuka separuh. Mengetahui siapa yang berada di dalam mobil, membuat nyali Gendis menciut.
"Bagaimana, Nyonya?"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 162 Episodes
Comments
Me ☺
wah ketemu lagi 😆😆😅
2022-10-20
0
𝕸y💞🅰️nny🌺N⃟ʲᵃᵃ🍁❣️
salah satu sevket ya, eh apa td?
2022-09-07
1
Ayahnya putra fajar ㊍㊍
siapa ini ngeres ya yg didalam mobil wkwkwkwkwkwk
2022-09-06
0