"Ndis, aku menolak menjadi kekasihmu ...."
Ucapan Ozge seketika membuat Gendis lega sekaligus sedikit sedih. Lega karena memang sudah seharusnya janji konyol itu dihapuskan. Sedikit sedih karena dia tidak bisa berbohong kalau dia tertarik dengan sosok Ozge.
Tapi Gendis buru-buru tersadar. Tidak sepantasnya dia sedih. Jangan sampai dia menjadi punguk merindukan bulan. Cukup mengagumi, tidak perlu berharap lebih untuk memiliki. Lagipula terlalu cepat untuk memutuskan perasaaan yang ada di hatinya sekarang adalah cinta.
"Aku tidak mau kalau kamu hanya sekedar kekasih. Aku ingin kita menikah," tambah Ozge.
Kini tak hanya tulang Gendis yang serasa melayang. Pikiran dan perasaannya pun juga ikut terbang. Gadis itu bergeming, Tidak tahu harus berbuat dan berkata apa.
Sapuan hangat nafas Ozge tepat di depan hidungnya, bahkan seperti tidak terasa. Tubuh Gendis serasa seperti manekin.
Ozge mengecup bibir Gendis sekilas. "Menikahlah denganku,"
Gadis itu benar-benar seperti patung, entah dia melamun atau terpana. Kecupan Ozge bahkan tidak mampu menyadarkannya.
"Ndis ...." bisik Ozge tepat di samping telinga Gendis.
Tidak mendapatkan jawaban, Ozge terpaksa menggendong Gendis masuk ke dalam room. Barulah gadis itu tersadar dan meronta.
"Turunkan aku, Beg! Jangan macam-macam?!" teriak Gendis dengan tegas.
Eser memejamkan matanya, kepalan tangannya semakin erat. Buku-buku tangannya memucat seperti tidak ada darah yang mengalir di sana. Giginya menyatu rapat hingga sedikit menimbulkan bunyi gemerutuk, pertanda kemarahannya sedang menuju puncak.
"Apa yang ingin aku miliki, tidak boleh menjadi orang lain. Bagaimanapun caranya," gumam Eser, sembari masuk ke dalam roomnya kembali.
Sementara itu, Gendis sedang bergulat dengan hati dan pikirannya. Berkali-kali dia mencubit pipinya sendiri, tapi ternyata sakit. Berarti Gendis memang sedang tidak bermimpi.
"Ndis, bagaimana? Janji harus ditunaikan atau kamu akan mendapatkan kutukan." Ozge mencoba menakut-nakuti Gendis.
"Tapi kan menjadi kekasih saja, Beg. Bukan istri." perlahan kesadaran Gendis pulih kembali.
"Jadi kamu pikir menjadi kekasih seseorang itu hanyalah main-main?"
"Bukan begitu, Beg. Menjadi kekasih dulu dan saling mengenal. Kalau cocok ya menikah. Kalau tidak, ya putus. Lalu mencari kekasih lagi," jawab Gendis, selalu konyol.
"Kamu salah! tujuan memiliki kekasih ya untuk menikah. Lagian buat apa lama-lama kalau jodoh sudah di depan mata," tegas Ozge.
Gendis terdiam, dia tidak percaya dengan yang namanya kebetulan. Dua kali mengucap janji atau sayembara konyol, ternyata yang menolongnya adalah orang yang sama.
Mungkin Ozge memang jodohnya. Tapi status sosial mereka berjarak sangat lebar. Pria itu terlalu sempurna untuknya.
"Ndis, aku serius. Aku sudah jatuh cinta padamu sejak pandangan pertama. Aku tidak peduli siapa kamu, menikahlah denganku dan mulai besok. Berhentilah bekerja di tempat itu," pinta Ozge.
"Tidak, Saya harus tetap bekerja. Karena adik Saya masih membutuhkan banyak biaya untuk mengejar cita-citanya."
"Bekerjalah di kantorku. Kamu cukup pintar. Jadilah sekretarisku," Ozge terlihat sangat berharap.
Mendengar kata sekretaris membuat Gendis teringat juga permintaan Eser. Dia juga tidak lupa, kalau besok adalah kesempatan terakhirnya untuk menentukan.
Gadis itu mengajak otaknya untuk berpikir keras sekarang. Dia harus mengambil keputusan dengan cepat dan tepat. Jangan sampai salah mengambil langkah apalagi timbul penyesalan yang teramat panjang.
"Boleh, Saya berpikir sebentar?" Gendis bertanya dengan hati-hati.
"Jangan terlalu lama. Aku serius. Jika kamu mengatakan iya, aku akan mengajakmu bertemu dengan orangtua dan aku juga akan menemui orangtuamu."
Gendis terdiam. Bukannya ingin menjadi anak durhaka, tapi jika Darto tahu Gendis sedang dekat dengan Ozge, pasti bapaknya itu akan memanfaatkan keadaan habis-habisan.
"Kalau begitu, biar sekarang saya pulang sendiri saja. Saya bisa naik taxi online," pinta Gendis.
Ozge mengerutkan keningnya. "Kamu pikir taxi online boleh masuk ke lobby? Aku antar. Aku harus memastikan calon istriku, selamat sampai di rumahnya."
"Berlebihan," dengus Gendis.
Ozge melirik jam dinding, satu jam lagi sudah tengah malam. Padahal dia masih ingin berlama-lama dengan Gendis.
"Beg, antar Saya pulang," pinta Gendis.
"Bukan begitu, ngomongnya. Ingat! kita sekarang adalah kekasih. Janji harus ditunaikan. Kamu hanya berpikir untuk mau menjadi istriku atau tidak. Sebagai kekasih, kita sudah resmi sejak dompet kembali ke tanganmu." Ozge kembali mendekati Gendis.
Gadis itu memundurkan badannya, hingga punggungnya menabrak pintu. Ozge semakin mudah merapatkan tubuhnya pada gadis itu.
"Mau apa, Beg? jangan macam-macam." Gendis menjinjitkan kakinya. berada di kungkungan Ozge, membuat tubuhnya seperti tenggelam.
"Melakukan seperti apa yang dilakukan pasangan kekasih lain. Bukankah tadi kamu sudah melihat Claudia dan Bayu?" Ozge menelan lidahnya dengan kasar.
Sungguh gerak tubuh dan wajah Gendis memang sangat menggoda. Memancing sesuatu milik Ozge menjadi tegak dan mengeras.
"Jangan sekarang!" Gendis ingin sekali mendorong dada Ozge, tapi tangannya tidak bisa terangkat sama sekali karena kungkungan laki-laki itu begitu kuat. Nafasnya sedikit tersengal, karena dada keduanya yang saling menghimpit.
"Hanya di sini, aku janji! tidak akan lebih jauh. Aku akan menahannya sampai kita menikah. Please!" suara parau Ozge terdengar s3ksi, pria itu menunjuk bagian bibir Gendis.
"Saya masih belum pernah." Gendis berkata jujur.
"Rasakan saja, ikuti pelan-pelan, jangan dipikirkan dan jangan ditahan." Ozge memiringkan wajahnya.
Gendis kembali seperti manekin, tubuhnya tidak ada yang bergerak sama sekali. Hanya bola matanya yang memutar ke kanan kiri, merasakan bibir Ozge yang kini sudah bersentuhan dengan bibirnya.
Ozge, memainkan bibir Gendis yang mengatup sempurna. "Buka sedikit, Ndis," bisiknya, seperti sudah tidak sabar.
Gendis tidak langsung menurut, karena dia sedikit cemas. Dia teringat cerita salah satu teman di kampusnya, yang mengatakan mengalami hal memalukan saat ciuman pertama. Bukan bibir yang beradu, tapi malah gigi. Mana bibir temannya itu sampai luka dan bengkak.
Merasa tidak ada respon dari Gendis, Ozge pun memundurkan badannya. Dia tidak ingin terlalu memaksa. Jangan sampai Gendis yang sudah ada genggaman, malah terlepas karena dirinya yang tidak sabaran.
"Aku antar kamu pulang," Ozge berjalan terlebih dahulu ke luar pintu roomnya diikuti Gendis di belakangnya.
Gadis itu terlihat sangat senang. Kini dia merasa, Ozge adalah laki-laki yang tidak suka memaksa dan tidak menjadikan dirinya sekedar untuk mendapatkan kesenangan semata.
Ketika mereka sudah berada di dalam mobil, Gendis menjadi semakin sadar perbedaan dirinya dan Ozge terlalu besar. Harga mobil yang dinaikinya saat ini, bahkan tidak mungkin akan terbeli olehnya meskipun sepuluh tahun bekerja tanpa henti.
"Beg, kenapa bebegim menginginkan Saya menjadi istri?" tanya Gendis tiba-tiba.
"Tidak ada alasan untuk cinta, Ndis. Dia tidak butuh penjelasan atau logika. Karena Cinta cuma bisa dirasakan di sini." Ozge melepas satu tangan dari setir mobil, lalu meletakkan telapak tangan itu di dadanya.
"Bagaimana dengan orangtua, Bebegim?" desak Gendis.
"Hidup kita, hanya kita yang boleh menentukan," sahut Ozge dengan cepat.
Keduanya lalu sama-sama terdiam, tidak ada pembicaraan lagi sampai mobil itu berhenti epat di depan halaman kontrakan Surti yang terlihat sangat ramai. Kerumunan orang menutup pintu masuk rumah.
Gendis segera turun dan berlari, menyibak keramaian, orang-orang punl langsung memberikannya jalan untuk masuk.
Ozge yang penasaran sekaligus khawatir, langsung ikut melakukan hal yang sama seperti yang Gendis lakukan.
Kini keduanya terpaku, melihat sosok Surti yang sepertinya sedang pingsan. Tetangga sebelah kontrakan, terlihat mengoleskan minyak kayu putih di bawah hidung Surti.
"Mbak, Ti ... apa yang terjadi, Mbak?" tanya Gendis, terlihat panik.
"Mar ... Damar!" teriak Gendis, mencari sosok adiknya.
"Ndis, Damar dibawa ...." belum sampai selesai bicaranya, Surti sudah kembali pingsan setelah membuka mata dan melihat sosok Ozge di kontrakannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 162 Episodes
Comments
ainatul hasanah
ini foto-foto Gendis yg ada di Eser pasti jadi senjata buat ngancurin hubungan Ezge ma Gendis ini. Jadi ke Ezge dukungnya. sama siapapun deh ...asal Gendis bahagia.
2022-11-16
0
Me ☺
dibawa Eser ya kan?!
2022-10-20
0
ℤℍ𝔼𝔼💜N⃟ʲᵃᵃ࿐ⁿʲᵘˢ⋆⃝🌈
duh first kiss,,, 🥰🥰🥰 bukan cuma di tembak tp lsng d lamar ,,, say yes ndis🤭🤭🤭
2022-09-10
1